Di sebuah rumah dekat Jalan Pantura, seorang remaja ditinggal sendiri oleh keluarganya. Usianya 16 tahun. Siang itu, ia hendak menonton televisi. Namun, televisi tersebut dalam keadaan rusak. Ia lantas memperbaiki televisi berukuran 21 inch merk Toshiba. Padahal, ia tidak mempunyai keterampilan memperbaiki alat elektronik.
Tangan kanannya mengambil kabel lalu mencolokkannya ke sumber listrik. Sementara, tangan kirinya memegang mesin televisi yang sudah dibongkar. Ia tidak sadar, kabel yang ia pegang terkelupas. Tembaga kuning terlihat jelas menyembul dari dalam kabel. Tak beberapa lama kemudian, kematian datang menjemput. Ternyata siang itu ia hendak menonton acara favoritnya di televisi, guna mengenang acara favorit mendiang nenek yang amat dikasihinya. Ironis.
Selang beberapa hari kemudian, 500 meter dari rumah remaja tersebut, kakek berusia 78 tahun mengalami stroke. Menurut kepercayaan setempat, kakek tersebut sudah memasuki fase awal kematian. Dalam adat kematian, orang Jawa mempunyai tata cara sendiri menurut perhitungan penanggalan Jawa atau Petungan. Petungan ini sudah ada sejak dulu, sebagai hasil dari rangkaian perjalanan leluhur tentang baik buruknya kehidupan.
Jelaslah kematian ada di sekitar kita. Ungkapan ini tidak mengada-ada. Setiap detik terjadi kematian, entah di belahan dunia mana. Bagaikan udara di sekitar, kematian mengintai dari segala arah.
Kian hari, pesta kematian kian ramai. Ini bisa terjadi pada siapa saja;orang asing, sahabat, keluarga, bahkan diri sendiri. Di balik riak tawa dan canda, kematian bersembunyi mencari mangsa. Seringkali ia menciptakan kesedihan tiada tara. Ia hadir dan melenyapkan semua tawa di wajah. Bagaimanapun menyakitkan kematian tetap adalah sesuatu yang alami. Tak ada yang bisa mencegahnya. Kita bisa berupaya lari darinya. Namun hanya soal waktu, sebelum ia merengkuh kita ke dalam pelukannya, bagaimanapun caranya.
Seorang filsuf jerman, Martin Heidegger menyebut kematian jenis ini sebagai off-liven, sebuah kematian yang niscaya akan datang dan tak bisa dihalangi oleh apa pun dan siapa pun. Dalam konteks ini, manusia mati karena Tuhan sudah menentukan ajalnya sampai usia tertentu. Bahkan, semuanya sudah ditentukan pula tempat di mana ia akan mati.
Sepanjang sejarah kemanusiaan, kematian telah menggerakkan orang untuk berpikir tentang apa itu kehidupan dan bagaimana menjalaninya. Kita ingat bahwa awal kemunculan pemikiran di Yunani, mengapa Thales, Socrates, Plato dan bahkan Epicurus menghabiskan waktu untuk menceritakan apa itu esensi kehidupan kalau bukan karena ketakutan akan datangnya kematian?
Ketakutan itu disebabkan oleh mitos-mitos dalam Yunani akan suramnya kematian yang menghantui tiap detik napas yang silih berganti mengisi paru-paru kemanusiaan mereka. Fakta kematian adalah gerak jarum jam yang menyadarkan tentang kemanusiaan dan membuatnya mencari makna.
Mengingkari kematian berarti menentang alam. Dan itu adalah upaya yang sia-sia. Tak menerima kematian sebagai fakta kehidupan adalah bagian dari delusi yang tak berguna.
Penulis: Agus