
Minggu, (20/10) menjadi hari di mana Prabowo dan Gibran resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) menggantikan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Satu hari pasca menjabat, Presiden Prabowo juga resmi mengumumkan susunan kabinetnya sekaligus memberi nama dengan kabinet Merah Putih.
Isu konsep kabinet Zaken yang santer dibicarakan belakangan ini, ternyata benar adanya diadopsi oleh Presiden Prabowo. Dengan memecah beberapa kementerian menjadi kementerian tunggal, seperti Kementerian Pendidikan, Budaya, dan Riset Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi Kementerian Pendidikan Dasar, dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, serta Kementerian Kebudayaan.
Kementerian yang dipecah tersebut kemudian diisi oleh tokoh-tokoh yang dianggap kompeten di bidangnya. Dengan dipecahnya kementerian ini juga akan menambah jumlah kementerian yang awalnya 34 menjadi 48 dan juga menambah posisi jabatan, seperti halnya satu menteri akan didampingi oleh satu sampai tiga wakil menteri.
Sejarah Kabinet Zaken
Kata Zaken sendiri berasal dari bahasa Belanda yang memiliki arti urusan, usaha, ataupun pokok. Kabinet Zaken sendiri merujuk kepada kabinet yang tersusun oleh orang-orang yang dipilih karena kompetensi atau keahliannya di suatu bidang, tanpa memandang latar belakang politiknya.
Dalam konsep kabinet Zaken, seorang menteri akan dipilih karena kemampuannya dalam suatu bidang bukan karena dirinya yang merupakan perwakilan dari partai politik atau bentuk balas budi karena telah mendukung di masa pemilihan.
Menurut Modul Sejarah Indonesia Kelas XII Kemdikbud (2019) dalam laman CNNIndonesia, dapat dikatakan konsep kabinet Zaken pertama kali muncul pada masa kepemimpinan Perdana Menteri Natsir di September 1950-Maret 1951. Kemudian, dilanjutkan di kabinet Wilopo pada April 1952-Juni 1953, dan diulangi kembali di kabinet Djuanda Prawiranegara pada April 1957-Juli 1959.
Kabinet Zaken sendiri muncul pada tahun 1950-an di mana politik Pemerintahan Indonesia kala itu masih bergejolak dan belum stabil. Koalisi partai yang ada masih memiliki pengaruh yang besar dalam penyusunan kabinet, hingga sebuah kementerian harus diisi oleh orang-orang koalisi partai tanpa memandang kemampuannya pada bidang tersebut.
Di masa Perdana Menteri Natsir lah kabinet mulai diisi dengan orang-orang teknokrat tanpa merepresentasikan sebuah partai politik, kabinet ini yang kemudian dikenal dengan kabinet Natsir.
Kabinet Zaken juga pernah dibentuk kembali pada masa awal kepemimpinan Presiden Soeharto. Setelah tumbangnya Orde Lama, Soeharto menghadapi warisan kondisi ekonomi yang carut-marut karena tingginya inflasi. Sebagai upanya penanggulangan, Soeharto menunjuk akademisi bidang ekonomi lulusan Universitas Berkley dan non-partai. Hingga akhirnya mereka dapat menuntaskan permasalahan tersebut dan dikenal dengan julukan “Mafia Berkley”.
Keberhasilan konsep kabinet Zaken ini kemudian ditiru oleh Presiden Prabowo untuk membantu dirinya selama menjabat di lima tahun ke depan. Bukti Presiden Prabowo mengadopsi Zaken kabinet adalah dengan mengundang orang-orang non-partai untuk masuk ke dalam kabinetnya, seperti Taufik Hidayat mantan atlet badminton Indonesia yang dipilih menjadi Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga (Wamenpora).
Namun, ada situasi yang perlu digaris bawahi, di mana persentase anggota partai dan non-partai yang mengisi kabinet Merah Putih Presiden Prabowo masih di dominasi oleh orang-orang partai ataupun orang-orang yang berkutat di politik praktis. Di mana orang-orang politik ini termasuk ke dalam orang partai yang sebelumnya menjalin koalisi untuk mendukung Prabowo-Gibran di Pilpres lalu.
Kedua masa di mana ketika kabinet Zaken dilaksanakan ternyata terlampau berbeda. Pada masa kabinet Djuanda misalnya, sistem politik yang digunakan adalah parlementer dan era Orde Baru dengan presidensial tanpa multipartai. Sedangkan, saat ini sistem politik yang ada di Indonesia adalah presidensial dengan multipartai.
Sistem multipartai yang ada saat ini akhirnya menghasilkan sistem koalisi, contohnya koalisi besar yang mendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Jika dikaitkan dengan kondisi sekarang, Prabowo memiliki koalisi yang gemuk. Hampir semua partai besar telah bergabung dalam pemerintahannya.
Selain sinyal bagi-bagi kekuasaan kepada tim koalisi, penambahan kursi kementerian juga menimbulkan pro dan kontra. Di mana keefektivitasan kabinet ini dipertanyakan, ditambah dengan adanya kementerian baru juga akan berdampak pada anggaran yang membengkak karena harus memberikan gaji sekaligus tunjangan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pada akhirnya, anggaran negara yang sudah terbebani oleh hutang 800 triliun dengan jatuh tempo di tahun 2025 mendatang akan kian membengkak.
Penulis: Hikam Abdillah
Editor: Gojali