Ilustrasi: Doc.google.com |
Di zaman pasca-modern ini, common enemy mahasiswa tidak seperti angkatan 28, 45, 66, atau 98. Jika musuh angkatan 28 dan 45adalah kolonialisme, kemudian musuh angkatan 66 dan 98 adalah rezim otoriterianisme, lalu musuh mahasiswa sekarang siapa? Pergerakan dinamika mahasiswa yang tidak jelas hanya akan mengaburkan visi mahasiswa itu sendiri dalam eksistensinya. Atau kita malah masih menggunakan visi lama yang tidak kontektual dengan zaman?
Penjajahan memang telah berakhir.Namun, perlu disadari bahwakekuatan asing mengalihkan strategi dan taktik untuk tetap menjaga esensi kolonialisme. Pengerukan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di Indonesia, lalu dibawa ke negeri penjajah merupakan tujuan utama kolonialisme. Oleh sebab itu setelah negeri ini merdeka, Indonesia seolah menjadi ‘lahan basah’ bagi negara-negara maju.
Presiden Soekarno sudah mengingatkan ancaman itu setelah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Ia menyadari bahwa kolonialisme bermetamorfosa ke bentuk baru. Karenanya, ia berdiri berdiri pada gerakan politik non-blok supaya tidak dihegemoni negara-negara maju. Ia juga memeloporiadanya poros Asia-Afrika sebagai kekuatan baru di dunia.
Namun kekhawatiran Soekarno ternyata dikaburkan presiden ke-dua Soeharto. Pada tahun 1967, muncul undang-undang PMA (Penanaman Modal Asing). Setelah itu, modal asing mulai membanjiri negeri, menguasai SDA dalam berbagai sektor dengan legitimasi undang-undang.Salah satunya adalah PT Freeport Indonesia (1967), pertambangan raksasa asal Amerika Serikat yang bermukim di Irian Jaya. UU tersebut membolehkan penguasaan SDA di Indonesia selama 30 tahun.
Meskipun Soeharto telahdilengserkan, sistem yang diwariskan telah mengakar kuat di negeri ini. Membutuhkan tenaga yang mungkin sebanding dengan tenaga rakyat Indonesia dalam memproklamirkan kemerdekaan. Terlihat kini alotnya perundingan antara pemerintah dengan Freeport setelah dibuatnya PP No. 1 tahun 2017—padahal tidak sedikit pertambangan di pelosok negeri ini yang dikuasai asing.
langkah pemerintah untuk merubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Pertambangan Usaha Khusus (IUPK) terhadap PT Freeport Indonesia (FI) merupakan kebijakan yang tepat. Penyerahan 51 persen saham FI kepada pemerintah atau swasta nasional adalah hal yang wajar karena pertambangan tersebut ada di Indonesia. Negara memang harus mempunyai kuasa yang lebih terhadapa SDA yanga ada.
Selama penguasaan SDA Indonesia mayoritas di tangan asing, sampai kapanpun bangsa ini akan menjadi negara miskin. Ke-jahiliyah-an tesebut harus segera diakhiri jika rakyat menginginkan sejahtera dan berdikari secara ekonomi di kancah dunia.
Refleksi Malari
Malapetaka15 Januari 1974 yang dikenal sebagai peristiwa Malarimerupakan demonstrasi terbesar mahasiswa sejak didirikannya Orba.Tindakan mahasiswa pada waktu itu adalah penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang membuka jalan bagi investor asing menguasai SDA Indonesia.Peristiwa yang berujung kerusuhan dengan menewaskan sedikitnya 11 orang, 300 korban luka-luka dan penahanan terhadap 775 orang hanya berakhir dengan pembungkaman rezim terhadap aspirasi.Praktis, setelah pembungkaman ini kita tidak mendengarkan lagi penolakan masif dari mereka, ‘para aktivis’.
Padahal, jika kini kita dapat mereflekskan kembali kegelisahan mahasiswa pada waktu itu, mungkin kita akan mendapatkan jawaban dari kondisi negara sekarang.
Sejatinya, penentuan common enemy dalam dinamika perjuangan mahasiswa adalah untuk menentukan fokus pergerakan. Tiadanya fokus, hanya akan menyebabkan kekuatan mahasiswa terpecah-pecah. Alhasil, energi akan terbuang tanpa hasil yang berarti.
Mahasiswa harus kembali menjadi creative minority (minoritas kreatif). Golongan yang menurut Edward Shills (1980) memiliki kecukupan paradigma pikir, analisis dan bertanggung jawab terhadap lingkungannya. Bukan malah mencurahkan segenap daya dan upayanya hanya untuk menuntaskan Sistem Kredit Semester (SKS), sistem warisan Orba dengan maksud menjadikan mahasiswa hanya back to campus.
Mahasiswa seyogyanya mengawal terus kebijakan tersebut, karena sangat berarti bagi segenap rakyat Indonesia, tidak malah sibuk dengan politik praktis dan meramaikan isu SARA yang ada.