Dinamika pemilu 2019 terus berlanjut. Meskipun Komisi Pemilihan Umun (KPU) telah mengumumkan hasilnya. Di mana pada pilpres, kemenangan diraih oleh pasangan 01 yakni Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dengan perolehan suara sebanyak 85.607.362 atau 55,50 persen suara atas pesaingnya yakni Prabowo-Sandiaga Uno sebanyak 68.650.239 atau 44,50 persen suara.
KPU mengumumkan hasil pemilu satu hari lebih cepat dari hari yang telah di jadwalkan. Hasilnya, dari kubu Prabowo tidak menerima hasil real count yang sudah di umumkan oleh KPU, dengan dalih banyak kecurangan yang dilakukan.
Meskipun indikasi kecurangan sudah digaungkan terus menerus oleh pihak kubu Prabowo sebelum pengumuman hasil akhir ini. Tidak hanya itu, dalam menyikapi ketidakpuasannya, mereka (baca : kubu 02) melakukan aksi pada tanggal 21 Mei 2019 malamnya.
Ricuh, video amatir berkeliaran di media sosial seperti instagram, Facebook, Whatsapp dan lainnya. Ironisnya, video, gambar yang di upload tersebut di berikan caption yang merujuk kepada ujaran kebencian dan provokatif. Hal itu dilakukan untuk memancing dan menggiring opini masyarakat. Bahkan, bisa membuat terpecah belahnya persatuan negeri ini.
Puasa Sosmed
Masifnya gerakan pembuatan konten yang sangat kontroversial tersebut disikapi cepat oleh pihak Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Dilansir dari Liputan6.com Rabu (22/5) Kemenkominfo membatasi fitur di media sosial seperti Whatsapp, Instagram dan lainnya. Sikap ini dilakukan atas dasar menghindari konten provokasi dan penyebaran hoaks.
Puasa sosmed ini hanya bersifat sementara. Untuk mempertahankan perdamaian negeri ini selama aksi 22 Mei yang sedang berlangsung.
Narasi kehancuran
Memang dalam kompetisi ada yang menang dan ada yang kalah. Namun jiwa kesatria menerima kekalahan yang sulit ditemukan pada diri calon.
Penulis meyakini, baik pasangan 01 dan 02 mereka mempunyai niatan yang sangat baik untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dan Negara Indonesia tercinta ini.
Dalam kontestasi politik, memang dalam sejarahnya petahana selalu menang dalam kontestasi perpolitikan Indonesia. Bisa di lihat pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi.
Al-hasil memimpin negeri ini tak cukup jika periode kepemimpinan hanya lima tahun. Keiniginan Prabowo yang menggebu-gebu pun tak sanggup mengalahkan petahana.
Ya, Prabowo pasti cinta Indonesia hingga dia mencalonkan dirinya untuk menjadi presiden beberapa kali.
Pertanyaaannya, apakah cinta Indonesia hanya bisa dimaknai dengan memperoleh kemenangan atas kontestasi perpolitikan dan perolehan kekuasaan?
Jika seperti itu, apapun dilakukan untuk mendapatkan kekuasaan. Bukan cinta lagi namanya jika harus menuai sebuah perpecahan.
Prabowo harus bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakatnya. Khususnya bisa mengendalikan dan menenangkan para pendukungnya yang sudah berjuang habis-habisan. Disini kepemimpinan Prabowo dipertaruhakan untuk Indonesia damai dan sejahtera.
Memang, dalam prosedur ketidakpuasan dalam perolehan hasil suara sudah ada mekanismenya sendiri. Yakni kubu Prabowo bisa mengumpulkan data-data akurat yang memberikan bukti memang ada kecurangan dalam prosesi pemilu ini. Dan Mahkamah Konstitusi yang bisa menentukannya. Jika data yang di kaji dan telaah matang dan kuat terjadi kemungkinan MK akan mengabulkan gugatan hasil pemilu. Namun apakah semudah itu?
Pada hakikatnya negara sudah memberikan kemudahan jalur hukum yang ada. Tanpa harus mengorbankan persatuan Negara Indonesia yang di bangun oleh para pendahulu kita dengan air mata darah dan nyawa.
Aksi 22 Mei, nasib Prabowo
Pelaksanaan aksi yang dilakukan oleh pendukung Prabowo bisakah membuat hasil pemilu berubah? Jelas tidak, karena sudah dijelaskan di atas ada jalur hukumnya.
Kemudian, aksi 22 Mei yang berlangsung rusuh tersebut hanya menimbulkan perpecahan masyarakat dan negara.
Jika sampai pemerintahan berhasil di robohkan, apakah Prabowo akan langsung bisa naik menggantikan Jokowi? Tentunya tidak juga. Pasti jika dua kemungkinan cara tadi berhasil, akhirnya juga akan dilakukan pemilihan ulang lagi.
Jika seperti itu, negara akan mengeluarkan uang yang tidak sedikit lagi untuk melangsungkan pemilu ulang. Apakah perebutan kekuasaan yang di dasari atas dasar cinta tersebut harus mengorbankan persatuan, kedamaian dan negara tercinta ini?
Penulis teringat kata-kata H Agus Salim “Memimpin adalah menderita” Tapi, kenapa orang-orang berebut penderitaan. Jika memimpin itu adalah menderita?
Selain itu, kita juga harus belajar dari tokoh-tokoh pendahulu kita. K H Abdurrahman Wahid (Gusdur), ia pernah mengungkapkan jika tak ada jabatan di dunia ini yang harus di pertahankan dengan mati-matian.
Para pendahulu kita sudah mengajari banyak pelajaran yang cukup berharga bagi kita. Tugas kita adalah memajukan bangsa ini dan mempertahankannya dari jurang kehancuran.
Jangan sampai negara yang di bangun oleh para pahlawan di hancurkan oleh rakyatnya sendiri. Mari kita jaga Indonesia, jaga kedamaian, kenyamanan Indonesia.
Penulis: M. Iqbal Shukri