
Lulus dari perguruan tinggi adalah hal paling dinanti dan membahagiakan bagi mahasiswa. Usai berjibaku dengan sejumlah permasalahan selama perkuliahan, dari rentetan fase pengerjaan skripsi hingga penjilidan berlembar-lembar kertas. Akhirnya, kita disambut dengan penuh suka cita bagai pahlawan. Melangsungkan dan merayakan prosesi wisuda bersama orang dan keluarga tersayang.
Tapi, dalam beberapa kasus, prosesi wisuda membutuhkan biaya yang tak sedikit. Bagi keluarga yang jauh dari kampus, misalnya, terlebih lagi berasal dari luar pulau, ada banyak biaya yang dibutuhkan. Belum lagi penginapan usai tiba di kampus tercinta.
Wisudawan yang menyandang status sebagai santri, barangkali bisa menyediakan tempat untuk beristirahat di asrama atau pesantren. Menyewa wisma kampus juga bukan pilihan tepat, dengan banderol yang hampir sama dengan IDR hotel satu malam.
Tapi tenang … bukan di UIN Walisongo .…
Penulis hanya ingin menceritakan kegelisahan yang penulis temui sendiri di berbagai kampus. “Enaklah, di tempatmu wisuda hanya bayar sekian ratus, di tempatku sampai jutaan.”
Wisuda sebagai selebrasi rasanya harus dibuat di luar kebiasaan sehari-hari. Mengingat wisuda adalah momen istimewa. Sebuah momen perjuangan mahasiswa usai melewati fase berdarah-darah. Mungkin wajar dengan biaya yang tak sedikit itu.
Biaya besar ini tak lain adalah untuk menjadikan momen wisuda menjadi super berkesan dengan sewa gedung, pakaian toga lengkap, hingga gedung yang nyaman.
Akan tetapi, momen wisuda pun nyatanya adalah simbol. Robert Bellah, pada kutipan pembuka buku The Power of Symbols, menyatakan, “… jelas bahwa kita tidak dapat membedakan kenyataan dari simbolisasinya. Karena kita manusia, hanya dapat berpikir dengan simbol-simbol, hanya dapat memaknai pengalaman apa pun dengan simbol-simbol.”
Pada era ini, seperti itulah adanya wisuda. Wisuda sebagai simbol telah menjadi lebih penting dari fakta sesungguhnya; dari ijazah dan perjuangan mahasiswa menyelesaikan studi. Bahkan seringkali bikin realitas menjadi lebih ribet.
Mirip dengan yang diutarakan Raymond Firth tentang simbol, wisuda menjadi simbol yang berhasil berpusat pada dirinya sendiri. Seluruh semangat yang harusnya hanya menjadi milik realitas tertinggi yang diwakilinya, diambil alih oleh selebrasi sehari. Belakangan, wisuda berhasil mereduksi realitas dunia perkuliahan, lengkap dengan bumbu-bumbunya yang padahal terlampau kompleks.
Dari fenomena wisuda, tampaknya sebagian besar dari kita adalah manusia yang suka dijajah oleh simbol. Wisuda seringkali didewa-dewakan. Dengan anggapan bahwa kehidupan bisa lebih baik dengan mengikuti wisuda.
Ini tentu bukan kesalahan. Buktinya banyak orang yang mampu membayar dan punya (meluangkan) waktu untuk mengikuti seremoni itu.
Kita tak boleh lupa, ada juga mahasiswa yang sudah penuh perjuangan, tapi tak punya waktu dan biaya untuk mengikuti prosesi tersebut. Atau mahasiswa yang punya waktu dan biaya, tetapi memiliki keyakinan bahwa wisuda bukanlah sebuah prioritas. Yang terjadi selanjutnya, tuntutan kampus dan keluarga pada acara wisuda menjadi masalah.
Kita semua tahu wisuda adalah bentuk ekspresi. Namun, ekspresi manapun bisa jadi sesuatu yang menjajah, ketika mengesampingkan ekspresi orang lain.
Tak ada yang salah sebenarnya dalam wisuda. Sebagai simbol-simbol, ia harus tetap hidup dalam masyarakat sebagai bentuk dari suatu pencapaian. Akan tetapi, semoga saja wisuda tak jadi layaknya belati, yang bermanfaat sekaligus membunuh kebebasan beraktivitas.
Semoga kita lekas wisuda!!!