Setelah mengarungi proses yang panjang, akhirnya Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sampai di tahap menunggu proses pelantikan pada bulan Oktober 2024 nanti. Debat menjadi salah satu proses yang menarik perhatian masyarakat dalam Pemilu.
Acara yang seharusnya menampilkan gagasan, visi misi, dan program kerja berjalan disisipi dengan gimik-gimik politik yang tidak perlu. Hal tersebut yang kemudian membuat debat pada akhirnya tidak menonjolkan program kerja dan problem solving dari apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat dan juga negara. Ditambah penyerangan secara personal juga ditontonkan oleh pasangan calon dalam acara debat.
Gimik mulai bermunculan ketika para pasangan calon memberikan pertanyaan dengan istilah asing. Panggung diskusi dan dialektika yang harusnya tersaji dalam acara ini berubah menjadi arena adu istilah yang bahkan masyarakat pun belum tentu paham dengan apa yang disampaikan oleh pasangan calon. Hingga akhirnya debat pun berakhir layaknya cerdas cermat dengan jawaban definitif dengan sedikit subtansi.
Menurut Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, di antara sekian perdebatan yang terjadi, hal-hal yang substantif hilang dan diganti dengan narasi-narasi gimik. Tergerusnya substansial debat diakibatkan karena para calon tidak mencoba mengedepankan gagasan, sehingga suara masyarakat yang diambil bukan karena tergiur dengan gagasan pasangan calon, tapi karena simpati gimik.
Suara masyarakat hanya dijadikan alat untuk melenggangkan diri ke jabatan yang diinginkan. Sehingga konsep memimpin negara demi rakyat terbalik menjadi memakai suara rakyat demi memimpin negara.
Taktik Demokrasi
Di kutip dari tempo.co, Direktur Eksekutif Democracy and Electrolar Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati berpendapat mengenai debat Capres 2024, bahwa masih banyak argumen abstrak hingga terjadinya saling serang antar Capres. Gimik politik yang dibentuk menjadi strategi yang cenderung hanya memperkuat populisme dan politik yang berdasarkan pada retorika kosong.
Namun, strategi ini memang dapat menarik suara rakyat dengan mudah. Para politisi berusaha untuk membuat masyarakat mengingat mereka dengan sesuatu yang menarik tanpa ada substansi yang jelas. Gimik politik dapat dilakukan melalui berbagai cara, dari mulai cara berpakaian, berbicara, gestur, hingga julukan-julukan para Capres. Di era transformasi digital ini, hal seperti itu dapat dengan mudah menarik sentimen masyarakat jauh lebih massif lagi.
Esensi dari pesta demokrasi empat tahunan ini berangsur-angsur menghilang, digantikan konten-konten dan gimik tidak penting. Narasi acara yang dramatis atau kontroversial lebih menarik perhatian media dan rakyat dengan sedikit hanya berfokus pada gagasan yang akan diberikan kepada negara lima tahun ke depan.
Margarito Kamis saat menjadi Ahli dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) pada 4 April 2024 mengatakan bahwa politik berkaitan dengan persepsi, maka sulit untuk mengatakan benar atau salah dalam sebuah politik, terkhusus atas gimik-gimik yang muncul di setiap Pemilu.
Jika memang pasangan calon memilih strategi politik dengan menampilkan drama-drama dan juga gimik, maka pasangan calon dapat melakukan hal tersebut. Namun, sudah seharusnya setiap calon pemimpin negara mengedepankan visi, misi, dan juga program kerjanya, daripada menyajikan gimik politik semata.
Penulis: Nailatul Fitroh
Editor: Gojali