Pada bulan Mei lalu timbul wacana Indonesia akan melakukan impor guru. Belum selesai wacana tersebut sudah mencuat kembali wacana yang sama, bedanya sekarang impor rektor asing.
Hal itu setelah Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Natsir mengungkapkan rencananya tentang impor rektor asing. Sebab menurutnya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia belum bisa bersaing dengan PTN luar negeri.
Alhasil ia berpendapat jika impor rektor asing adalah solusi alternatif untuk memajukan PTN di Indonesia yang siap bersaing di lingkup internasional. Dengan argumen bahwa beberapa PTN di negara lain bisa maju akibat adanya rektor dari luar negeri. Menurutnya, seperti Singapura, China, Taiwan dan Arab bisa maju disebabkan adanya rektor dari luar negeri.
Namun wacana dan rencana tersebut tak bisa dipungkiri menuai pro dan kontra di berbagai pihak. Khususnya dari kalangan akademisi. Tak salahkah jika kita mempertanyakan kembali wacana impor rektor ini? Tepatkah impor rektor asing sebagai solusi untuk memajukan pendidikan tinggi di Indonesia?
Pastinya, kita semua telah mafhum bahwa rektor adalah pimpinan tertinggi di lingkup sivitas akademika kampus. Jadi tak ayal jika rektor adalah salah satu faktor penyebab maju atau tidaknya suatu perguruan tinggi. Kebijakan yang disepakati bersama rektor akan dapat dibaca, mau dibawa kemana arah PTN yang sedang di nahkodainya.
Namun bukan berarti, maju atau tidaknya Perguruan tinggi hanya dilatarbelakangi oleh siapa rektornya atau kualitas sang rektor. Sebab kampus bukan milik pribadi, ada elemen lain yang ikut serta mendorong majunya Perguruan tinggi, khususnya dalam rangka membantu kinerja rektor.
Seluruh elemen sivitas akademika di dalam kampus harus saling bersinergi, baik dari birokrasi, dosen dan mahasiswa. Sebab suatu visi dari sebuah lembaga akan sulit diwujudkan, jika hanya dibebankan pada satu orang saja. Namun visi tersebut akan terasa lebih ringan dan mudah dicapai tatkala dikerjakan secara bersama-sama. Jadi ada tanggungjawab bersama yang diemban dalam rangka memajukan sebuah PTN.
Pertimbangan faktor akar rumput
Jika menelisik tentang penyebab maju atau tidaknya sebuah PTN, kita akan menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Jika rektor adalah salah satu faktor penyebab yang tergolong pada pucuk pimpinan. Penulis mencoba melihat faktor – faktor penyebab dari sisi pandang akar rumput.
Pertama, faktor dari jajaran sivitas akademika yang ada dikampus, seperti dekan, ketua jurusan, dosen dan mahasiswa. Bagaimana sinergitas yang dibangun oleh jajaran sivitas akademika tersebut? Sudahkah dosen yang ada, adalah mereka yang benar-benar mampu dan siap dalam proses aktivitas proses perkuliahan bersama mahasiswa.
Kedua, faktor kurikulum, kurikulum sangat penting sebab acuan dasar apa yang diajarkan pada mahasiswa akan berdampak pada intelektual pengetahuan dan prestasi dari mahasiswa. Lantas apakah kurikulum yang digunakan sudah sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dalam menunjang bidang keilmuan yang sedang dipelajarinya.
Ketiga, metode pengajaran yang dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswa. Hal ini pula menjadi salah satu faktor penting untuk meningkatkan dan menumbuhkan intelektual para mahasiswa supaya siap untuk bersaing dengan mahasiswa yang ada di PTN luar negeri. Sebisa mungkin dosen bisa menyesuaikan metode pengajaran dengan keadaan dan karakter mahasiswanya.
Faktor – faktor tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Jadi sebenarnya yang dibutuhkan dalam mewujudkan cita-cita menjadikan PTN yang siap bersaing dikancah internasional adalah sinergisitas antar elemen kampus.
Sehebat apapun rektornya jika jajaran di dalam sivitas akademika sulit untuk diajak bekerja dan berjalan bersama, ya pastinya akan sulit untuk mewujudkan cita-cita atau visi tersebut. Jika menyoal kualitas, dalam kacamata pribadi penulis percaya dan meyakini bahwa para rektor dalam negeri pun tidak diragukan kualitasnya.
Bergantung pada asing
Dari fenomena wacana tersebut menggambarkan bahwa Indonesia masih suka menggantungkan diri pada asing. Memang tidak salah pihak asing atau luar negeri (negara-negara maju) jadi tolak ukur kita. Namun bukan berarti kita harus bergantung pada mereka.
Hingga akhirnya Indonesia bisa dikatakan masih belum merdeka karena kebergantungannya dengan asing. Tidak berupaya menyelesaikan masalah secara mandiri. Selain itu aktivitas impor tersebut menggambarkan bahwa minimnya kepercayaan terhadap Sumber Daya Manusia (SDM) yang di bentuk oleh negeri sendiri.
Akhirnya, yang dikhawatirkan adalah jika aktivitas tersebut membudaya dalam negeri ini. Dan menjadikan Indonesia menjadi Raja Impor.
Ironisnya jika suatu permasalahan tidak bisa diselesaikan dalam dapur dalam negeri sendiri, dapat menimbulkan wacana-wacana Impor baru. Sebab pekerjaan rumah dan masalah-masalah dalam negeri yang belum terselesaikan masih banyak.
Seperti korupsi merajalela, belum majunya pertanian Indonesia dan masalah lainnya. Bisa-bisa akan memunculkan wacana baru yakni impor menteri asing, atau tenaga kerja asing lainnya.
Memang Indonesia sudah bebas dari para penjajah, sudah kenyang dengan zaman penjajahan. Namun dalam konteks lain Indonesia masih belum merdeka karena sikap kebergantungannya terhadap asing.
Penulis: Mohammad Iqbal Shukri
*Tulisan ini pernah dimuat di https://geotimes.co.id/opini/impor-rektor-asing-indonesia-belum-merdeka/ pada Selasa (6/8/2019)