
Memasuki tahun politik seperti sekarang ini, panggung demokrasi di tanah air dipenuhi dengan pertarungan yang pelik. Elite politik dan tim kampanye baik kubu petahana dan kubu oposisi terlibat perang pengaruh. Sehingga, kondisi massa di akar rumput terlihat ‘keruh’.
Sebenarnya, itu merupakan suatu hal yang wajar dalam negara demokrasi. Namun, entah mengapa hal tersebut sulit untuk dipahami dan disikapi secara wajar.
Pada awal tahun ini saja misalnya, dua makam di Desa Toto Selatan, Kecamatan Kabila, Bone Bolango, Gorontalo dibongkar. Kabar yang tersiar menyebutkan, hal itu terjadi lantaran beda pandangan politik.
Itu bukan satu-satunya, bahkah di ranah paling privat yaitu keluarga istri memberlakukan talak satu bagi sang suami jika ia tidak memilih salah satu pasangan calon. Kabar itu juga viral di media sosial beberapa waktu lalu. gila!
Jika hal itu benar, maka penyikapan beda pilihan politik di tengah masyarakat kita telah sampai bada titik nadir.
Yang menjadi pertanyaan, apa memang kondisi seperti ini yang diinginkan oleh para elite politik? Tentu tidak bisa digeneralisir dengan jawaban ‘iya’ atau ‘tidak’, lantaran fakta di lapangan kini memperlihatkan demikian. Budiman Sudjakmiko dan Fahri Hamzah misalnya, meskipun mereka beda pandangan politik namun di luar layar televisi keduanya bersahabat lama.
Lalu, jika kita melihat lebih jauh, memang hal demikianlah yang dicontohkan oleh Founding Father kita.
Sebagai contoh, Soekarno dan Hatta memiliki ketidaksamaan pemikiran dalam mengelola negara. Mereka sempat berpisah karena perbedaan pandangan politik, tetapi bukan karena masalah pribadi. Hal itu juga tidak sampai membuat hubungan pribadi antar keduanya terganggu, meski suhu politik sedang tinggi.
Seperti yang ditulis dalam buku sejarah Indonesia dengan judul “8 Zaman Orde Lama” disebutkan bahwa mundurnya Hatta sebagai wakil presiden (wapres) disebabkan karena pernyataan Soekarno yang ingin mengubur partai politik.
Mendengar hal itu Hatta menentang konsepsi Presiden serta ide demokrasi terpimpin, menerima bola panas dari Hatta lantas Soekarno sangat marah, kemudian langsung menahan Pemimpin Redaksi Majalah Pandji Masjarakat yang pertama kali menerbitkan artikel tersebut.
Namun, dari perbedaan hubungan politik tersebut, hubungan pertemenan mereka masih berjalan dengan baik. Ini dibuktikan pada 1963 sang mantan wapres terkena serangan stroke. Mendengar kabar itu, Soekarno datang ke rumah sakit untuk menjenguk. Ia pula yang mendesak agar Hatta mau berobat ke Swedia dengan biaya dari negara.
Hatta bersedia ke Swedia. Sukarno dan Hatta bertemu di Istana sebelum keberangkatan untuk berobat. Sebelum berpisah, Soekarno berujar ke sekretaris pribadi Hatta, I Wangsa Widjaja, “Wangsa, jaga baik-baik Bung Hatta.”
Sebagaimana yang sudah diajarkan secara langsung untuk menyikapi perbedaan-perbedaan pandangan tetang politik. Bahwa, sebagai generasi penerus bangsa harus bisa bersikap bijak dalam menerima permasalahan bangsa Indonesia. Karena perbedaan bagian dari rahmat yang diberikan oleh Tuhan.
Seperti yang katakan oleh Imam Syafi’i sealah seorang ulama yang di ikuti oleh jutaan umat “Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sementara pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar,” demikian kata imam mazhab yang antara lain diikuti oleh mayoritas Muslim di Indonesia.
Penulis: Muhammad Shafril Hidayat