Di timelime media sosial saya, mendadak ramai hujatan terhadap akun milik tirto.id, baik di Instagram, Facebook, maupun Twitter. Hujatan itu dipicu, atas unggahan meme di media sosialnya yang mengomentari ucapan cawapres 01 dan 02, Minggu 17 Maret 2019.
Tirto.id sempat mengunggah potongan pernyataan cawapres 01, Ma’ruf Amin mengenai kalimat “zina bisa dilegalisir” dengan tirto.id memberi meme “setahu saya yang bisa dilegalisir ijazah pak”. Lalu, postingan lain adalah secuil pernyataan dari Sandiago Uno “Kami akan menghapuskan UN,” dijadikan meme dengan imbuhan “Eh…? kirain apus NU,”.
Postingan ini lantas menyulut reaksi dari berbagai pihak. Postingan yang dirasa ‘sensitif’ ini lantas dihapus oleh tirto.id karena dianggap tidak perlu dan hasil dari keteledoran redaksi. Untuk menghentikan hujatan tersebut, sekitar pukul 09.00 pagi, tirto.id menyampaikan permintaan maaf beriring klarifikasi.
Banyak pihak yang menilai apa yang dilakukan tirto.id merupakan sifat ksatria, lantaran berani mengakui kesalahan. Namun, tak sedikit masyarakat pula yang hujatannya semakin menjadi-jadi, dengan berbagai tudingan. Seperti yang ditulis oleh akun twitter @permen_sugus yang mengutarakan, “kirain @TirtoID media yang independen dan berakal waras, eh taunya setali tiga uang sama kampret…,”.
Anggapan tirto.id adalah media sampah juga banyak diutarakan oleh warganet, seperti akun twitter @T_jail yang menulis, “lebih baik tutup nich akun….sampah,”.
Lalu, pertanyaannya, benarkah tudingan yang kini dialamatkan warganet terhadap media daring tirto.id?
Sebagai media daring yang lahir pada 2016, tirto.id hadir dengan berbagai inovasi. Infografik menjadi kekuatan utama media ini. Sajian infografik yang menarik mendukung tirto.id menjadi media daring yang banyak dirujuk masyarakat. Bahkan, jika dicermati, tirto.id berani melawan arus media daring waktu itu, yang hanya mengandalkan kecepatan, tanpa anilis mendalam. Jurnalisme presisi (data) begitu ditekankan dalam setiap produk jurnalistik media ini.
Tirto.id juga sering menghadirkan pembahasan yang pada akhirnya menjadi tren di tengah masyarakat, diantaranya soal generasi milenial, body shaming, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, pantaskah tirto.id disebut sebagai media sampah?
Polarisasi cara pandang
Hujatan selanjutnya yang santer mengalir adalah tirto.id medianya kampret. Analisis ini terlalu akrobatik dan gegabah. Jika kita cermati misalnya, dalam tulisan-tulisan tirto.id seusai debat Capres pada 17 Februari 2019 lalu, media ini mencoba menjaga netralitas dengan membahas dua capres secara berimbang. Tentu, dengan data dan fakta yang gamblang ditunjukkan.
Pada kubu 01, tirto.id memuat tulisan berjudul “Prabowo dalam Debat Kedua: Nihil Data, Gagap, Memercik Muka Sendiri,” yang terbit pada 18 Februari 2019. Lalu, media ini juga membuat infografik untuk mengomentari pihak petahanan yang gagap dalam mengelola infrastruktur dalam tulisan yang berjudul “Masalah Infrastruktur yang Tak Diungkap dalam Debat Kedua Capres”.
Justifikasi bahwa tirto.id adalah media kampret, sebenarnya erat kaitannya dengan cara pandang masyarakat kita kini, yang telah terpolarisasi. Jika mengkritik kubu Jokowi maka dicap sebagai kampret dan jika mengkritik kubu Prabowo maka dicap sebagai cebong. Sesat pikir yang keterlaluan kronis ini, ternyata juga diterapkan dalam memandang blunder yang dilakukan oleh tirto.id.
Penulis: Iin E.W.
Editor: Sigit A.F.