
Amanat.id- Raut haru campur bahagia terlihat jelas dari wajah Muhammad Amin Hambali lantaran pria kelahiran 90-an tersebut hampir sampai pada akhir dari perjuangan selama kuliah. Kini ia tengah bersiap untuk melangsungkan Seminar Proposal, di tengah keterbatasan dirinya.
Pria yang kerap disebut Amin tersebut mulai bercerita perihal masa kecilnya. Terlahir sebagai tunanetra, ia kesulitan mendapatkan teman dan akses pendidikan yang layak. Belum adanya konsep inklusi pada masa itu membuatnya hampir dikeluarkan dari sekolah.
“Waktu SD, kepala sekolahku mengatakan ke bapak kalau aku tidak layak sekolah di sana, tapi bapak tetap meyakinkan bahwa aku bisa mengikuti pembelajaran dengan baik,” jelasnya saat diwawancarai oleh tim Amanat.id, Kamis (18/1/2024).
Bahkan, ia juga pernah tidak lulus sekolah karena kesulitan mengisi Lembar Jawaban Komputer (LJK).
“Waktu SMP aku pernah gak lulus karena sulit nge-bunderin di kertas LJK, jadi aku kejar paket,” ucapnya.
Amin menghabiskan masa SMP dan SMA-nya di Yayasan Banner Al-Manar Salatiga. Jarak tempuh antara rumah dan sekolahnya yang tidak dekat, menjadi alasan dirinya memilih menetap di Pondok Al-Manar.
Tiga tahun berselang, ia memutuskan berhenti dari pondok. Rasa kurang nyaman terhadap teman-teman di Yayasan membuatnya memilih untuk pulang pergi (PP) menggunakan angkutan umum.
“Aku merasa kurang cocok sama temen-temen pondok. Jadi, waktu SMA aku mulai laju pakai angkot. Jarak tempuhnya dua jam dari rumah, aku sering ketiduran di kelas,” tuturnya.
Ia mengaku, kesulitan mendapat teman yang mengerti keadaannya.
“Sejak SD sampai SMA, aku duduk di kelas atau ke kantin sendirian. Waktu mau nyebrang suka ditinggal atau dibiarin sama teman-temanku,” ujarnya.
Ketika ujian SMA tiba, Amin mulai berani meminta tolong kepada pengawas ujian untuk membantunya mengisi lembar jawaban karena ia tidak ingin mengulangi kesalahan sewaktu SMP.
“Aku baru punya konsep minta tolong waktu SMA. Aku yang nyebutin jawabannya, petugasnya yang bunderin,” katanya.
Usai lulus SMA pada tahun 2014, ia disarankan kakaknya untuk sekolah pijat di Temanggung.
Di sana, Amin merasa lebih berharga karena dibutuhkan. Ia merasa lebih hidup dan menemukan tempat dirinya yang sesungguhnya.
“Tahun 2014, aku belajar pijat di Temanggung. Dari situ, aku benar-benar mengalami hidup di duniaku. Di sana tempatnya tunanetra, jadi aku merasa dibutuhkan,” ucap Amin.
Empat tahun berlalu, Amin pun mulai bekerja sebagai tukang pijat di Semarang dan Jepara. Namun, selang beberapa bulan ia berhenti karena tidak suka melakukan pekerjaan yang menguras energi.
“Tiga bulan aku kerja di Fatmawati Semarang. Lanjut beberapa bulan, aku kerja lagi di Jepara, tapi gak lama aku keluar karena aku dasarnya gak suka capek,” lanjutnya.
Tekad Kuat untuk Selalu Belajar
Di tengah kesibukannya itu, Amin juga menggeluti dunia kepenulisan. Ia merasa bahagia dan bebas mengekspresikan perasaan lewat sebuah tulisan.
“Dengan menulis, aku bisa mengekspresikan diriku dengan bebas dan natural. Aku bisa senang apalagi kalau tulisanku dibaca orang lain,” ujarnya.
Keinginannnya inilah yang mengantarkan Amin untuk bergabung dengan Sahabat Mata, atas rekomendasi salah satu temannya.
“Aku ingin nulis, jadi novelis. Akhirnya aku menghubungi Sahabat Mata dan diterima, aku belajar komputer bicara, belajar braille,” tuturnya.
Tertarik dengan dunia psikologi sejak kecil, di tahun berikutnya, Amin mendapat tawaran untuk kuliah di UIN Walisongo dari Yayasan Sahabat Mata.
Namun, lantaran konsep inklusi di sana masih terbatas, akhirnya ia memutuskan untuk beralih ke jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI).
“Karena dari Sahabat Mata yang inklusi itu KPI. Jadi gapapa, daripada gak kuliah,” ujarnya.
Meski harus banting setir ke KPI, ia tetap belajar psikologi melalui webinar dan platform digital untuk menyembuhkan luka batin yang ia alami.
“Aku sering ikut webinar, nonton dari Instagram, YouTube, ikut pelatihan nulis, belajar e-book. Aku tertarik psikologi untuk berobat jalan, menyembuhkan luka-luka batin,” jelasnya.
Ketekunannya dalam dunia kepenulisan terus berlanjut sampai perkuliahan, ia bergabung di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Missi.
Amin juga pernah memenangkan beberapa lomba menulis cerita pendek (cerpen) tingkat nasional, dengan mayoritas peserta dari para disabilitas.
“Aku ikut LPM, ikut lomba-lomba juga. Pernah menang lomba berskala nasional, tapi mayoritas yang ikut disabilitas. Pertama, juara menulis cerpen kategori tulisan terfavorit yang diadain kartunnet.com tahun 2021. Kedua, kategori tulisan paling menyentuh yang diadain Media Pelangi Indonesia tahun 2022,” tuturnya.
Amin pun bersyukur mendapat teman-teman yang perhatian ketika di bangku perkuliahan.
“Waktu aku ke kampus, merasa punya teman. Orang-orangnya perhatian, kemana-mana selalu digandeng,” ucapnya.
Di akhir wawancaranya, Amin berharap kelak ada orang yang menangisinya ketika wafat.
“Aku ingin ditangisi ketika meninggal,” harapnya.
Reporter: Aissya Salsa
Editor: Revina