Siapa yang tidak menyukai seafood? Selain rasanya yang umami, seafood mengandung protein dan gizi tinggi yang bagus untuk tubuh manusia. Seafood juga menawarkan pelbagai pilihan bentuk, ukuran, dan harga yang dapat disesuaikan oleh masyarakat dari berbagai kalangan, sehingga tidak hanya menjadi hidangan elite.
Namun, pernahkah kita membayangkan perjalanan ikan, cumi-cumi, dan hewan laut lain sampai di piring; di hadapan kita? Pernahkah pikiran kita melanglang buana pada titik ketika para pekerja mempertaruhkan nyawa demi sajian yang bahkan tak pernah mereka coba? Atau kita hanya sibuk mengonsumsi dan tak mau tahu apapun rahasia di balik dapur?
Agaknya, pertanyaan terakhir mewakili realita yang ada. Kita seolah menutup seluruh indera. Bahkan, setelah beberapa media meliput pengalaman para Anak Buah Kapal (ABK) pun, khalayak tak peduli dan lebih tertarik pada isu selebriti. Berangkat dari ironi inilah, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bersama Greenpeace Indonesia mendokumentasikan ketidakadilan, pelanggaran, dan eksploitasi yang dialami para ABK; saat di laut lepas maupun darat.
Derita Fisik dan Mental para ABK
Berawal dari aduan Suyitno, Ulum, Debih, dan beberapa ABK lain kepada pihak SBMI Cabang Tegal; mereka mengusut, mengumpulkan data-data, dan menemukan fakta bahwa telah terjadi eksploitasi manusia yang dialami para ABK.
Sebelum berangkat, mereka tidak mendapat training dari agensi. Kontrak kerja pun abstrak dan dimanipulasi. Ketika mereka menuntut upah ke SBMI atau ada anggota ABK yang meninggal dunia, barulah ketahuan bahwa dokumen yang disodorkan berbeda dari yang mereka tanda tangani.
Selama di kapal, kekerasan fisik sudah menjadi santapan sehari-hari. Makanan tidak layak—hanya nasi putih, sayur busuk, dan cumi kecil hasil curian—tentu saja tidak sebanding dengan jam kerja yang begitu panjang—ada yang mengaku dua harmal tidak tidur, sisanya lazim tidur 4 jam per hari.
Karena ketidakabsahan dokumen yang ada, para ABK Indonesia seringkali dioper ke kapal negara asing atas nama “titip”, tapi kemudian tak jelas nasibnya. Beberapa dilempar ke kapal asing lain (lagi), ada yang memutuskan melompat ke perahu kecil sembari berharap laut masih berbaik hati akan membawa mereka menepi.
Jika menderita sakit di atas laut, kapten hanya memberi 3 butir obat tidak jelas. Pertolongan dan doa dari ABK lain tak banyak membantu. Barangkali, Yang Mahakuasa telah memberinya kebebasan abadi dari berbagai beban dan ketidakadilan selama hidupnya. Para ABK yang mengalami penyakit serupa—diduga beri-beri, hanya tinggal menunggu maut. Adalah sebuah keberuntungan jika jasadnya bisa dipulangkan dan “bertemu” keluarga yang menanti bersama lara.
ABK yang nyawanya selamat pun tak lantas hidup sejahtera. Mereka harus wara-wiri menuntut gaji yang tak dibayar secara utuh. Jaminan 6 bulan awal tidak digaji untuk mengganti fasilitas kerja, nyatanya mereka bekerja sembari menahan lapar dan dingin.
“Kita dikasih bonus, mancing satu ton, bongkar, dihargai 1 yuan,” ungkap Junaedi. Debih menambahkan, “Satu yuan itu setara Rp 2.000,00.”
“Mereka bilang kasihan ke orang Indonesia sering ditipu,” ungkap Iqbal Wardana yang menceritakan tentang kepedulian salah satu mekanik kapal. Kata mekanik yang tak disebutkan namanya, para ABK harusnya dibayar 10 ribu yuan, tetapi hanya dibayar 3.000 yuan—itupun masih utang.
Dalam film ini, tim juga mewawancarai salah satu oknum agensi yang identitasnya dirahasiakan. Ia mengungkap bahwa ketimpangan upah tersebut sengaja dilakukan agar agensi meraup keuntungan. “Taruhlah dari satu ABK, kita bisa dapat 15 sampai 20 juta.”
Tak hanya eksploitasi manusia, para oknum juga mengeksploitasi lingkungan dengan membawa kapal lebih dari yang diizinkan, serta menangkap secara berlebihan dan spesies yang dilindungi. Hal ini dibuktikan dengan kapal-kapal yang tidak berani bersandar di dermaga atau pelabuhan, karena takut ketahuan.
***
Dari film ini, kita dapat melihat ada pengorbanan nyawa dan darah dari seporsi seafood yang tersaji di meja makan. Tim tidak hanya menyajikan aduan dari para korban (ABK dan keluarganya), tetapi juga menyuguhkan wawancara dari oknum pelaku (agensi perekrut ABK), sehingga film tidak terkesan bias dan menyerang satu pihak.
Beberapa scene merupakan video amatir dari para ABK selama berlayar. Meski tampak tidak rapi, tetapi justru memperkuat akurasi. Selain itu, kalimat dari para narasumber yang penuh emosi tetap mudah dipahami, apalagi disertai subtitle Bahasa Indonesia. Sayangnya, antara audio dengan video tidak selaras. Meski bukan masalah serius, tetapi cukup mengganggu detail, terutama saat scene narasumber yang gerakan bibirnya lebih lambat dari suara.
Film “Before You Eat” agaknya wajib disajikan kepada khalayak agar dapat lebih memahami persoalan pelik yang terjadi. Ini bukan hanya problematika para ABK, tetapi masalah kemanusiaan dan lingkungan. Namun, sayangnya, “Before You Eat” hanya ditayangkan pada event tertentu dan tidak disebarluaskan demi menghormati perasaan keluarga korban.
Kendati terbatasnya akses untuk menonton film “Before You Eat“, dari tulisan ini semoga dapat membuka pandangan kita tentang nasib para ABK. Meski tidak mengenal para korban, kita patut untuk mendiskusikan, mencari jalan keluar, dan memperjuangkan hak asasi manusia bersama-sama. Sebab, polemik ini juga berdampak pada kehidupan generasi mendatang.
Film “Before You Eat” tak lantas melarang khalayak untuk mengonsumsi ikan, tetapi lebih bijak dan bajik dalam memilih protein hewani laut yang akan dimakan. Antara lain dengan membeli seafood dari nelayan kecil langsung. Selain itu, kita harus segera berhenti mengonsumsi seafood impor dan kalengan yang dalam prosesnya melibatkan eksploitasi ABK dan penangkapan ilegal.
Identitas Film:
Judul: Before You Eat
Durasi: 1 jam 36 menit
Rilis: 13 Maret 2022
Produser: Godi Utama H. T. dkk.
PH: Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan Greenpeace
Genre: Dokumenter (18+)
Resentator: Rizkyana Maghfiroh