Amanat.id- Rilisnya Film Dokumenter berjudul “Tanah Kami, Hidup Kami”, Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat menggelar Diskusi Publik terkait konflik lahan yang terjadi antara Petani Pundenrejo dengan Perseroan Terbatas (PT) Laju Perdana Indah (LPI) di Landmark Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Senin (14/10/2024).
Konflik agraria yang menimpa masyarakat Pundenrejo sudah berlangsung sejak tahun 1973, ketika para petani yang telah lebih dulu menduduki tanah tersebut harus angkat kaki begitu status tanah berubah menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) oleh PT. BAPIPUNDIP dan berlanjut pada PT. LPI di tahun 2001 hingga 2024.
Imbas dari status kepemilikan HGB tersebut membuat masyarakat Pundenrejo mengalami pengusiran dan penghancuran lahan oleh pihak PT. LPI.
Seorang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Abdul mengatakan bahwa konflik yang terjadi di Pundenrejo memiliki keterkaitan dengan sejarah.
“Konflik ini menarik karena terkait soal sejarah dan penjajahan Belanda,” ucapnya.
Ia menceritakan bahwa tanah pertanian di Pundenrejo dahulunya dimiliki oleh seorang saudagar kaya bernama Oi Tiong Ham.
“Dahulu memang punya Oi Tiong Ham, salah satu orang terkaya di Asia Tenggara,” katanya.
Lambat laun, sambung Abdul, pasca kemerdekaan, Indonesia melakukan nasionalisasi terhadap aset peninggalan Belanda, salah satunya pada lahan pertanian di Pundenrejo.
“Pada tahun 1950-an, warga mulai menggarap lahan tersebut karena ada nasionalisasi aset,” imbuhnya.
Menurutnya, tujuan dari nasionalisasi aset tersebut untuk redistribution lahan pada petani sesuai dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
“Tujuannya sangat jelas, seperti yang tertera dalam konstitusi,” ucapnya.
Namun, setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) meletus, Abdul mengatakan banyak masyarakat Pundenrejo yang saat itu menggarap lahan dituduh sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Setelah peristiwa 1965, petani Pundenrejo sempat dituduh sebagai simpatisan PKI,” ujarnya.
Setelahnya, lanjut Abdul, pada tahun 1973 melalui Hak Guna Bangunan, lahan pertanian Pundenrejo diduduki oleh PT. BAPPIPUNDIP yang merupakan perusahaan di bawah Kodam IV Diponegoro.
Lanjutnya, saat PT. BAPIPUNDIP mencapai kebangkrutannya, HGB berpindah tangan ke PT. LPI pada tahun 2001. Namun, dari sejak HGB berada pada BAPPIPUNDIP hingga LPI, yang menjadi persoalan ialah terbengkalainya lahan dan tidak digunakan sesuai dengan mana mestinya. Hal tersebut mengundang masyarakat Pundenrejo untuk menduduki lahan garapan kembali.
“Setelah bangkrut dan tidak digunakan, masyarakat kembali menggarap lahan tersebut,” ujarnya.
Hingga pada tahun 2021 lalu, Abdul menjelaskan bahwa lahan pertanian tersebut kembali diambil alih oleh PT. LPI, membuat masyarakat harus bekerja di lahan milik orang lain.
“Setelah sekitar 20 tahun digunakan, PT. LPI baru kembali mengambil alih lahan tersebut membuat petani bekerja di lahan milik orang lain,” katanya.
Ia juga menambahkan, setelah HGB PT. LPI habis pada 27 September 2024, petani Pundenrejo yang mencoba mengambil alih lahan tersebut malah mendapatkan intimidasi dari PT. LPI.
“Setelah HGB habis, petani Pundenrejo mencoba mengambil alih kembali lahan, tapi satu hari setelahnya petani didatangi oleh orang-orang dari PT. LPI yang disebut warga sebagai preman,” ucapnya.
Melihat kasus agraria Pundenrejo yang tak kunjung usai tersebut, Abdul menegaskan bahwa keterlibatan mahasiswa dapat membangun solidaritas bagi para petani di Pundenrejo.
“Saat ini para petani di Pundenrejo membutuhkan solidaritas dari mahasiswa,” tuturnya.
Menanggapi film dokumenter yang mengangkat konflik lahan di Pundenrejo, salah satu perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, Aris mengatakan bahwa karya tersebut merupakan bentuk peran jurnalis sebagai kontrol sosial.
“Saya rasa itu adalah peran jurnalis sebagai kontrol sosial,” imbuhnya.
Ia berpesan agar Lembaga Pers Mahasiswa bisa terus menjaga semangat untuk menyuarakan aspirasi masyarakat yang tertindas.
“Amalkan lah ilmu kalian untuk terus membela masyarakat yang tertindas,” tutupnya.
Reporter: Muhammad Alfarizy
Editor: Eka R.