
Ada yang menarik jika kita memperhatikan berbagai peristiwa kejahatan lingkungan yang terjadi di sekitar kita. Peristiwa yang kemudian direpresentasikan secara berbeda-beda oleh individu-individu, kelompok-kelompok, perusahaan-perusahaan atau institusi-institusi, hingga menghasilkan sudut pandang yang berbeda pula.
Namun, dari sekian perbedaan sudut pandang itu, ada kesamaan di mana, dari berbagai kejahatan lingkungan, dibingkai rapi dalam sebuah wacana bencana dan disuguhkan sebagai sebuah peristiwa bencana oleh berbagai pihak yang berkepentingan;bertanggungjawab.
Representasi melalui wacana ini, memiliki peran besar dalam membentuk versi realitas di hadapan publik luas. Ketika sebuah wacana muncul di tengah masyarakat dan wacana itu dianggap sebagai sebuah kebenaran, di sana juga tercipta kekerasan simbolis yang bekerja secara efektif.
Sebuah wacana mampu menghadirkan kebenaran umum yang kemudian dipercaya dan diikuti oleh banyak orang. Pierre Bourdieu dan Passeron melihat adanya proses kesalahpengenalan; proses di mana hubungan kekuasaan diangggap bukan karena apa adanya secara obyektif, tetapi menjadikannya sah di mata khalayak yang melihatnya (Jenkins, 1992: 66).
Misalnya saja, peristiwa-peristiwa kejahatan lingkungan seringkali dibungkus dalam konstruksi kebahasaan dengan menyamarkan subjek pelaku, dan meminta publik untuk merenunginya sebagai sebuah bencana alami.
Jejen Jaelani dalam buku Semiotika Kota, Pertarungan Ideologis di Ruang Urban menyebut dalam berbagai kasus, kejahatan lingkungan sering dihadirkan ke ruang publik sebagai sesuatu yang terjadi secara alamiah. Sebuah peristiwa yang merusak bahkan menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian material seringkali dihadirkan sebagai sesuatu yang terjadi oleh faktor alam.
Wacana seperti ini umumnya dihadirkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemodal, pemerintah, media, organisasi kemasyarakatan hingga akademisi sekalipun.
Telah menjadi pengetahuan bersama, kajian mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sebagai ‘alat’ pengesahan suatu proyek, terkadang dilakukan untuk melayani kepentingan proyek. Umumnya, kajian ini dihadirkan sebagai sebuah legitimasi bahwa sebuah proyek infrastruktur atau industri layak untuk dilaksanakan di sebuah daerah.
Dalam kasus ini, kajian AMDAL biasanya disulap menjadi dokumen legal untuk mendukung kelancaran sebuah proyek. Namun, dalam praktiknya kajian yang dilakukan tak sesuai dengan kondisi objektif di lapangan yang menyebabkan kerusakan lingkungan.
Bisa dibilang, dokumen AMDAL di sini tak lain dan tak bukan adalah sebuah wacana untuk melegitimasi kelayakan sebuah proyek industri.
Representasi bencana alam
Untuk melihat bagaimana sebuah kejahatan lingkungan direpresentasikan sebagai sebuah bencana, ada banyak contoh yang bisa kita lihat. Di dalam banyak kasus, banjir bandang di Indonesia diakibatkan oleh aktivitas penggundulan hutan atau adanya pembangunan di daerah hulu.
Akan tetapi, hingga saat ini permasalahan-permasalahan yang mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerugian materiil ini, tak pernah dijelaskan secara lengkap. Peristiwa ini umumnya dipandang sebagai fenomena alam biasa yang nihil akan investigasi mendalam dan diproses secara hukum.
Wacana dan pemberitaan yang kemudian muncul umumnya mengekspose kesedihan-kesedihan akibat banyaknya korban jiwa dan kerugian. Pelaku koorporasi hanya tertawa kecil melihat dirinya tak terekspose dalam khalayak umum.
Dalam berbagai kasus, posisi dan nama pelaku kejahatan lingkungan seperti ini lebih banyak dihilangkan atau disamarkan. Peristiwa yang kemudian hadir tanpa subjek pelaku dipahami publik sebagai bencana alami.
Peran bahasa
Di dalam upaya representasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perilaku segelintir orang sebagai bencana alam itu, bahasa memiliki peran yang tak kalah signifikan. Di sini, bahasa memainkan peran sebagai tameng bagi banyak kerusakan lingkungan yang sebenarnya bisa dan harus diproses secara hukum, namun dibiarkan begitu saja.
Kita tahu bahwa bahasa membentuk dunia makna dalam kehidupan manusia yang tak bisa dipisahkan. Dalam konsepsi Pierre Bourdieu, bahasa adalah praktik sosial.
Bagaimana sebuah konstruksi realitas ditampilkan di dalam bahasa menjadi sebuah tindakan sosial yang dapat diterima atau ditolak oleh pihak-pihak yang terlibat dalam sebuah produksi wacana. Bahasa (dalam hal ini) telah menjadi kuasa simbolis yang hadir dalam sebuah wacana dan membentuk versi pengetahuan.
Melalui wacana inilah, kuasa simbolis membentuk versi realitas yang menghilangkan kontribusi pelaku kejahatan lingkungan.
Salam untuk para penjahat lingkungan !!!
Oleh: AS