Angin bertiup lembut menggerakkan ranting dan dedaunan yang berbisik pelan, menambah keheningan sore di sebuah kafe kecil di sudut kota dengan pepohonan rimbun yang mengitarinya. Lampu-lampu mulai menyala, menciptakan suasana sore lebih hangat lagi.
Di salah satu meja dekat jendela, dua sahabat sedang duduk sambil menikmati secangkir kopi. Sogi, dengan rambut hitam tebal yang berantakan, duduk di seberang Amka, yang berwajah tenang dengan kacamata bulat yang memberinya kesan tenang.
“Sore ini sangat tenang bukan?” kata Amka membuka percakapan, sembari matanya menatap ke luar jendela.
“Iya, sepertinya,” balas Sogi sembari menyeruput kopi hitamnya yang masih mengepulkan asap.
Mereka berdua terdiam dalam waktu yang lama, menikmati keheningan di sore hari dengan desahan angin dan bayang-bayang panjang. Suara gesekan cangkir dan dentingan sendok menjadi latar belakang musik yang mengalun lembut menyatu dalam sanubari mereka berdua.
“Sogi, menurutmu apa yang paling menarik dari manusia?” tanya Amka tiba-tiba, memecah keheningan.
Sogi mengulum bibirnya, mengumpulkan setiap kata demi kata yang ada di kepala. Matanya mengernyit, seolah menandakan bahwa ia sudah siap untuk mengeluarkan segala yang ada di mulutnya.
“Ada banyak hal, mungkin yang paling menarik menurutku adalah kapasitas dari manusia itu sendiri untuk berubah,” kata Sogi tumpah.
Amka masih menanti, sementara Sogi meneruskan ceritanya.
“Aku percaya segala sesuatu itu mengalir dan tidak ada yang tetap, manusia akan selalu dalam keadaan berubah entah itu secara fisik atau pengetahuannya.”
Amka tersenyum dan mengangguk setuju, “Perubahan memang sesuatu yang terancang. Tapi bukankah itu juga yang membuat manusia menjadi rapuh bukan?”
Sogi kemudian menarik ujung bibirnya lembut, ia memalingkan pandangannya ke wajah Amka yang saat itu juga balas menatapnya tapi dengan segumpal tanda tanya.
Di sela itu, Sogi tak menggubris kebingungan Amka. Ia kembali berbicara persoal pikirannya tentang manusia, “Apa yang tidak membunuh kita, membuat kita lebih kuat. Begitu kata Nietzsche. Menurutku kerentanan itulah yang memungkinkan manusia berkembang dan menemukan makna kehidupan yang rumit dan penuh ketidakjelasan ini. Manusia tidak akan memahami kebahagiaan tanpa pernah merasakan kesedihan.”
Amka menarik kesimpulan dengan mengangguk-anggukan kepalanya. Tapi ia tak berhenti di sana, di kepalanya, “Jadi kamu berpikir bahwa ada benang merah yang saling terkait antara kekuatan dan kelemahan, lalu apakah kebahagiaan dan kesedihan adalah yang membuat manusia itu tidak mudah ditebak dan menarik?”
“Yaps, tepat sekali,” sahut Sogi penuh semangat. “Hidup memang serangkaian pilihan dan setiap pilihan membawa kita ke jalan yang baru. Ketidakpastian itu menakutkan, tapi juga memberikan kita kebebasan untuk menentukan nasib kita sendiri. Itu yang membuat manusia menjadi makhluk yang begitu unik dan menakjubkan.”
Amka menatap langit, merenungkan kata-kata Sogi. Sogi tersenyum, ia menceritakan lagi dan lagi, bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mencintai dan merasakan empati.
Sogi mencoba mengingat sesuatu, lantas tersirat Levinas dalam pikirannya, “Kalau tidak salah, menurut Levinas, wajah orang lain memanggil kita untuk bertanggung jawab untuk peduli, dan menurutku inilah yang mengikat manusia untuk peduli dan berempati dengan manusia lain.”
“Lalu, apakah di tengah tantangan yang manusia hadapi, apakah manusia juga tetap bisa mencintai?”
“Tentu saja,” jawab Sogi. “Itulah nilai-nilai kemanusiaan yang membuat manusia selalu ingin mencari makna atas tujuan atas hidup ini.”
Amka tak menjawab lagi, jawaban Sogi cukup atau tidak baginya, tapi Sogi tak melihat kerut lagi di wajahnya. Ia pun tersenyum melihat wajah datar tanpa ekspresi itu.
“Sekarang giliranmu Amka,” kata Sogi membuat Amka terperanjat. “Menurutmu apa yang paling menarik dari manusia?”
Amka lantas tersenyum balik, memikirkan jawaban yang tepat. “Bagiku, yang paling menarik dari manusia adalah imajinasi.”
Sogi mengangguk, tertarik dengan sudut pandang Amka. Ia pun memilih diam, menunggu Amka menjelaskan lebih jauh tentang imajinasi yang dimaksudnya.
Amka mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Setahuku imajinasi adalah jembatan yang menghubungkan antara indra dan pengetahuan manusia,” Amka terdiam sejenak. “Apakah dirimu pernah menonton animasi One Piece, Sogi?”
Sogi mengingat-ingat sejenak, “Tentu saja pernah.”
“Kalau begitu apakah dirimu juga pernah melihat manusia yang memiliki tangan lentur dan memanjang hingga puluhan meter?”
“Jelas tidak, itu hanya ada dalam karangan fiktif,” jawab Sogi pelan.
“Itulah yang aku maksud, bahwa manusia dapat menjadikan sesuatu yang tidak ada menjadi ada dengan imajinasi, manusia dapat mengambungkan pemahamannya, seperti yang aku contohkan tadi, bahwa adanya pemahaman tentang karet yang lentur serta makhluk hidup yang memiliki kesadaran membuat manusia dapat mengimajinasikan makhluk hidup yang lentur,” Amka terdiam sejenak memandang Sogi, tuk mengetahui responsnya.
Amka meneguk kopinya yang mulai dingin, lalu melanjutkan ucapannya, “Yaaa dengan imajinasi, manusia bisa memiliki literatur, seni, musik, atau bahkan sains dan teknologi.”
Sogi tersenyum, merasa terinspirasi. “Jadi menurutmu manusia bisa berkembang atas dirinya dan lingkungan, itu karena imajinasi?”
“Tepat sekali,” kata Amka dengan antusias. “Imajinasi adalah inti dari kemajuan manusia. Dengan adanya imajinasi memberi kita harapan dan arah. Ia mendorong kita untuk terus maju. Meski dalam keadaan yang paling sulit, imajinasi menjadi kekuatan yang menggerakkan kita ke arah lebih baik.”
Sogi tersenyum, memahami perkataan Amka, “Aku setuju kepadamu Amka. Imajinasi dan kreativitas adalah bagian integral dari apa yang membuat kita bisa dikatakan sebagai manusia.”
Mereka terdiam merenungkan apa yang yang baru saja mereka bicarakan. Sementara itu, waktu terus berputar, suasana di kafe kembali hening, secangkir kopi kini hanya tinggal setengah dan angin malam membuat suasana menjadi lebih nyaman.
Seperti tak dapat lengang, kepala Amka kembali di penuhi dengan setangkup pertanyaan-pertanyaan.
“Sogi, apa cita-citamu?” tanya Amka tiba-tiba memecah heningnya suasana.
Sogi tersenyum penuh arti sebelum menjawab, “Aku ingin menjadi pohon.”
Amka tidak menunjukkan tanda-tanda terkejut atau tertawa. Sebaliknya, dia mengangguk pelan, seolah memahami makna di balik kata-kata itu. Sogi merasa bingung dengan reaksi Amka.
“Kau tidak terkejut?” tanya Sogi.
Amka menggeleng, “Tidak, aku pikir itu adalah metafora yang dalam. Jelaskan padaku Sogi, mengapa kau ingin menjadi pohon?”
“Bagiku, cita-cita adalah bahan mentah,” kata Sogi lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Diambil satu batang dari dus kecil itu, lalu dinyalakannya, dihirup, dan dihembuskan asap dengan pelan. “Seperti jika seseorang ingin menjadi guru, bukan berarti ia benar-benar ingin menjadi guru, ia akan menjadi seperti yang ia bayangkan sebelumnya.”
Sogi kembali menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya, “Pada intinya, apa yang dipikirkan atau diharapkan manusia itu karena atas dasar pengalaman pribadinya dan tidak mungkin sepenuhnya menjadi kenyataan.”
Amka mengangguk sambil meminum kopi, memberi isyarat agar Sogi melanjutkan.
“Aku ingin menjadi pohon. Tapi bukan pohon seperti yang kau bayangkan,” lanjut Sogi.
“Lalu?” tanya Amka.
“Pohon yang bertindak atas dasar bertahan hidup dan memahami apa yang ia butuhkan. Karena menurutku, apa pun yang aku lakukan, jika itu memang yang aku butuhkan, maka itu adalah hal yang baik, asalkan aku benar-benar memahaminya,” jawab Sogi sembari menghisap rokoknya untuk yang entah ke berapa kali.
Amka tersenyum, menyadari kedalaman pemikiran Sogi. “Ohh, jadi menurutmu menjadi pohon berarti memahami kebutuhan dasar dan bertindak sesuai dengan itu?”
Sogi mengangguk. “Yaps, seperti yang dikatakan oleh filsuf eksistensialis, kita harus autentik dalam pilihan kita, menjalani hidup yang benar-benar kita pahami dan butuhkan. Bukan hidup yang dibentuk oleh harapan dan imajinasi yang belum tentu nyata.”
Amka menatap langit sejenak sebelum mengutarakan pikirannya, “Mungkin jika diibaratkan, cita-cita adalah arah dan pemahaman diri adalah kuncinya.”
Seorang pelayan mendekati meja mereka dengan wajah ramah namun tegas, “Maaf, kafe ini akan tutup dalam lima belas menit lagi. Apakah ada yang bisa saya bantu sebelum kami tutup?”
Jam menunjukkan pukul 3 dini hari, Sogi dan Amka saling berpandangan, tersenyum, dan mengangguk kepada pelayan itu.
“Tidak, terima kasih. Kami sudah selesai,” kata Amka sambil meletakkan uang untuk membayar kopi mereka.
Ahmad Kholilurrokhman (Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki)