
Amanat.id-Bagimana kabar literasi sastra di Semarang? Itulah pertanyaan yang menjadi pembahasan dari diskusi dalam forum bertajuk “Iklim Literasi di Semarang” yang diselenggarakan oleh Aliansi Literasi Semarang di Gedung Oudetrap Kota lama Semarang, Sabtu (27/07/2019).
Forum diskusi itu merupakan forum kedua dari empat forum dalam acara Semarang Literary Triennall yang mengusung tema ‘Sastra Semarang Piye Kabare?’.
Panitia menghadirkan Ketua Dewan Kesenian Kota Semarang Heri Candra Santosa, Sastrawan Senior Semarang Sulis Bambang dan Handry TM, serta sastrawan muda Semarang Ahamd Khoirudin sebagai pemantik, dan Penyair muda Semarang Himas Nur sebagai moderator.
Moderator membuka diskusi dengan mempertanyakan iklim literasi dan kabar sastra di Semarang. Di bawah lampu sorot warna biru merah, masing-masing pemantik menjelaskan sedikit pendapat mereka tentang Ikilm literasi di Semarang saat ini.
Harta Karun sastra di Semarang melimpah
Heri Candra mengatakan kondisi sastra di Semarang dari masa ke masa tidak mengalami banyak perubahan. Semarang bukan kota yang unggul di bidang sastra, namun ia tidak pernah mati.
“Saya beri bocoran, Sastra di Semarang memiliki harta karun yang dapat digunakan oleh para penulis,” tambahnya.
Harta karun yang dimaksud oleh Heri yakni, Semarang memiliki sejarah panjang yang belum disentuh oleh sastra. Hal tersebut dapat menjadi ladang ide bagi sastrawan Semarang.
Hal senada dikatakan oleh Ahmad Khoirudin. Katanya, Semarang telah dibangun sedemikian rupa dari segi fisik. Namun, masih banyak yang belum dibangun dalam bentuk narasi.
Literasi sastra di Semarang Saat Ini
Lalu, untuk membangun literasi di Kota Semarang, Sulis mengatakan bahwa saat ini balai bahasa telah masuk ke sekolah-sekolah. Ia berharap, literasi terutama dalam bidang sastra dapat tumbuh sejak bangku sekolah.
Sedangkan Handry berpendapat, di masa sekarang pola pengembangan literasi harus mulai berkembang.
“Jika dahulu masyarakat yang datang ke pusat baca baik perpustakaan atau sebagainya, maka sekarang kita yang mendatangi masyarakat. Misalnya kita sediakan buku-buku di warung makan agar dibaca sembari menunggu pesasan datang,” jelas pegiat sastra Komunitas Lereng Medini itu.
Suasana forum mulai memanas ketika peserta diskusi memberikan respon. Irma, seorang perempuan muda berkomentar bahwa kondisi literasi di Semarang masih tertinggal dari Yogyakarta.
Perempuan yang pernah menempuh pendidikan di kota Gudeg itu menggambarkan tentang acara sastra di Semarang yang tidak seramai Kota Yogyakarta. Ia juga mengaku kesulitan menemukan informasi tentang kesastraan, khususnya menganai acara sastra di Semarang.
“Saya hanya mengenal beberapa sastrawan di Semarang, seperti almarhum N.H DIni,” akunya.
Selain itu, ia juga menanyakan mengapa media yang digunakan untuk publikasi sastra masih terpaku pada bentuk cetak. Menurutnya saat era digital seharusnya media sastra berkembang agar memudahkan membaca.
“Yang saya tahu di Semarang, jika membicarakan sastra, pasti berbicara mengenai produk cetak,” katanya.
Respon itu lantas memancing tanggapan dari peserta lain. Wiwid, peserta yang juga bagian dari salah satu komunitas sastra di Semarang beranggapan, informasi tentang kegiatan sastra di Semarang sebenarnya cukup melimpah.
Komunitas sastra di Semarang menurut Wiwid telah memanfaatkan media sosial dan internet sebagai publikasi sastra dan penyebaran informasi tentang kesastraan. Sehingga saat ini, fungsi dewan kesenian sudah tidak terlalu vital, karena jaringan komunitas sastra telah terbangun di ranah internet.
“Mbaknya coba cari di instagram dengan tagar komunitas sastra Semarang, pasti akan banyak muncul informasi di sana,” paparnya.
Wiwid juga menyampaikan, diskusi-diskusi sastra di Semareang masih hidup dalam forum kecil. Banyak sekali komunitas-komunitas kecil yang justru diskusinya sangat intens.
“Saya sering datang ke kedai Kang Puthu di Gunung Pati. Di sana, setiap malam tertentu pasti ada diskusi mengenai berbagai hal, salah satunya sastra. Diskusi di sana sangat hidup dan intens. Saya yakin banyak komunitas-komunitas kecil seperti itu di kota Semarang ini,” imbuh Wiwid.
Menutup jalannya diskusi itu, keempat pemantik, moderator dan segenap peserta sepakat satu hal. Meskipun dengan permasalahan-permasalahan yang ada, semua sepakat jika iklim literasi sastra di Semarang dalam keadaan baik-baik saja.
Reporter: Mohammad Azzam