Amanat.id- Suasana tenang di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang tiba-tiba berubah saat mahasiswa baru Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) menggelar aksi demo mendadak pada pagi hari di hari terakhir Pelaksanaan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK), Minggu (11/8/2024).
Aksi yang berlangsung di samping Auditorium II Kampus 3 tersebut berupa pembentangan beberapa spanduk kritik bertuli “Ma’had cacat, birokrasi bejat”, “Kebijakan baru, derita baru”, “Pendidikan kesehatan cuan!!!” serta orasi dari mahasiswa baru UIN Walisongo.
Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) pada salah satu jurusan, Andi (nama samaran) menanggapi aksi yang dilakukan merupakan ketidakpuasan dari hasil diskusi dengan Rektor UIN Walisongo.
“Sebelum melakukan demo di lapangan sebenernya kami sudah menghadap terlebih dahulu ke Rektor UIN Walisongo hanya saja respons mereka terlalu santai,” ujarnya.
Andi juga mengatakan bahwasannya kegiatan yang dilakukan untuk menyuarakan keresahan-keresahan yang dialami oleh para Mahasiswa baru tentang apa yang sedang terjadi di UIN Walisongo.
“Tujuan utama dari orasi ini yang pasti untuk menyuarakan keluhan para MABA tentang apa yang terjadi di sini,” lanjutnya.
Ketua HMJ Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), Muhammad Novan Heromando mengatakan bahwasannya aksi bentang spanduk tersebut didorong karena Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang melonjak tinggi.
“Mahasiswa sekarang rata-rata UKT itu bisa 4-5 juta dan hal ini juga diperparah dengan ma’had yang pembayarannya sampai 4 juta, jadi satu mahasiswa itu kisarannya 10 juta,” ucapnya.
Novan juga menambahkan jika suara mahasiswa tidak didengar, maka hanya ada dua pilihan, diam atau melawan.
“Jika suara kami tak didengar, maka hanya ada dua pilihan, diam tertindas atau bangkit melawan,” ucapnya.
Salah satu mahasiswa baru, Rasya Danul Fauzan sebagai orator dalam aksi tersebut mengatakan bahwa peraturan untuk wajib ma’had memberatkan para mahasiswa baru.
“Kami baru saja masuk kampus dan langsung dihadapkan dengan peraturan yang begitu berat. Biaya yang harus kami keluarkan untuk tinggal di ma’had sangat memberatkan, apalagi jika digabung dengan biaya kuliah yang juga tidak murah,” ujarnya mahasiswa PBI tersebut.
Jika dibandingkan dengan temannya yang merupakan anak PNS, Rasya mengaku bahwa UKT miliknya lebih besar padahal dirinya anak dari seorang Petani.
“Padahal teman saya itu orang tuanya PNS, tapi justru UKT saya yang anak petani malah lebih besar daripada dia,” ucapnya.
Adapun mahasiswa jurusan PAI, Alfina Putri Sumakdianti merasa sangat terbantu dengan adanya aksi demo tersebut.
Baginya, aksi tersebut memberi ruang bagi mahasiswa untuk menyuarakan keluhan terutama terkait biaya dan kebijakan yang dinilai tidak adil.
“Saya sangat bersyukur ada teman-teman yang berani menyuarakan hal ini. Aksi ini membantu kami, para mahasiswa yang merasa terbebani dengan aturan-aturan kampus, untuk akhirnya didengar,”
Alfina mengatakan bahwa UKT tinggi dan peraturan ma’had menurutnya memberatkan.
“Kebijakan seperti UKT yang tinggi dan kewajiban tinggal di ma’had benar-benar memberatkan,” katanya.
Senada dengan Alfina, mahasiswa dari jurusan PAI, Nefiskatul Arofah mengatakan bahwa adanya aksi tersebut mempermudah dirinya dalam menyalurkan pendapat dan harapan.
“Bagi saya yang kesulitan untuk berbicara, aksi ini sangat membantu untuk menyerukan apa yang saya rasakan saat ini di UIN Walisongo,” ujarnya.
Arofah juga berharap agar para birokrasi bisa mendengarkan apa yang mereka serukan dan memberikan kebijakan baru tentang UKT maupun ma’had.
“Semoga dengan adanya peristiwa ini, membuka mata para birokrasi bahwa kami keberatan dengan kebijakan yang ada,” ucapnya.
Reporter: Febriyanti
Editor: Eka R.