
Bulan baru menampakkan sinarnya, pengunjung sudah riuh di halaman Pendopo Noto Bratan, eks tanah perdikan, Kadilangu, Demak.
Laiknya potret niaga abad 18, muda-mudi memadati Pasar Ndoro Bei yang jauh dari higenisme ekonomi. Tempat ini hadir sebagai mesin waktu masyarakat untuk kembali ke masa lalu.
Ketika memasuki Pasar Ndoro Bei, pengunjung tidak bisa menemukan barang-barang yang dijual di pasar pada umumnya. Di pasar ini, pengunjung bisa menemukan berbagai interpretasi klasik dalam rupa kuliner yang menjadi salah satunya.
Soto Bathok, Gethuk Lindri, Dawet Ayu, Gobet, Gudangan, hingga Wedang Uwuh menjadi sajian otentik yang dijajakan dalam pasar.
Konsep yang diusung dalam Pasar Ndoro Bei cenderung mengarah gaya klasik. Konon nuansa tersebut untuk membawa kembali pada era abad ke-18 semasa Kesultanan Demak Bintoro. Hal ini juga didukung dari lapak para pedagang yang hanya dibangun dengan welit dan bambu untuk menambah kesan sisi tradisional pasar.
Tatkala pengunjung ingin membeli jajanan yang tersedia di pasar, mereka harus menggunakan kepeng sebagai representasi alat tukar krusial pada masa itu. Hal ini yang membedakan Pasar Ndoro Bei dengan pasar modern lainnya dari segi sistem transaksi. Tidak lagi menggunakan uang kertas yang sudah diadaptasi menjadi alat tukar bernilai.
Untuk mendapatkan kepeng, pengunjung bisa melakukannya di pintu masuk bertuliskan “Lintu Arto” sebelum memasuki area pasar, dengan menukar sejumlah uang kepada penjaga.
Tidak ada ketentuan minimal dalam jumlah penukaran harus dengan nominal tinggi, pengunjung bebas melakukan penukaran mulai dari Rp 5000 – Rp 10.000 sekalipun. Rupanya yang unik berbentuk lingkaran, serupa kepingan koin dari kayu, dan berwarna coklat ketuaan setara dengan nominal lima ribu rupiah setiap satu kepengnya.
“Kepeng ini nanti yang digunakan ketika pengunjung mau membeli makanan di dalam (red: area Pasar Ndoro Bei), mbak. Biasanya mereka (red: para pengunjung) kalo nuker uang juga banyak biar sekalian gitu ndak bolak- balik,” kata penjaga yang diketahui bernama Diah.
Meskipun menggunakan kepeng, para penjual tetap mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan. Pasalnya, setelah berakhirnya aktivitas pasar, hasil yang diperoleh akan ditukar dengan uang sejumlah kepeng dari pembeli.
Satu hal unik lain dari penyelenggaraan Pasar Ndoro Bei, terdapat salah satu kudapan fenomenal lantaran menjadi minuman kesukaan kepunden Kadilangu, Sunan Kalijaga. Kopi Poro namanya.
“Iya, betul ini Kopi Poro. Jadi Kopi Poro ini kopi yang disukai sama Sunan Kalijaga,” kata penjaja Kopi Poro bernama Sulur itu.
Berbeda dengan kopi lainnya, pengolahan Kopi Poro yang terbilang tradisional dalam penggarapan bijih kopi asli, pemilahan kualitas, hingga penyajiannya.
“Jelas beda, mbak, sama kopi-kopi lainnya, pembuatannya juga ngga pake mesin, bener-bener yang tradisional dan tanpa campuran apapun,” lanjutnya.
Kemasan atraktif bernuansa hitam disertai zipper lock ini dihargai sembilan kepeng atau setara Rp 45.000. Cukup bernilai untuk sebuah kopi asli dari Kota Wali.
Jika membicarakan soal cita rasa, bisa dibilang Kopi Poro memberi spektrum khas jawa abad 18, sebab keotentikan serta pengolahan dikerjakan tanpa ada campur tangan peradaban modern.
Tidak kalah unik dengan kehadiran jajanan lainnya di Pasar Ndoro Bei, yakni Soto Bathok. Barangkali soto yang kita ketahui lazimnya menggunakan mangkuk berbahan dasar kaca, namun pengecualian untuk soto yang satu ini. Bathok merujuk pada bahan baku bathok kelapa yang digunakan sebagai wadah pengganti mangkuk modern.
Penjaja Soto Bathok, Sumarti Ningsih mengatakan Soto Bathok sudah digandrungi sejak zaman dulu dan menjadi kebanggaan dari Demak.
“Ini namanya Soto Bathok, ya karena dibuatnya dari bathok kelapa. Zaman dulu ini udah ada mbak, saya seneng aja njual-nya,” ucap ibu dua anak itu.
Sumartiningsih yang biasa disapa “Ning” merupakan ibu dari pendiri Sanggar Padma Baswara, Ika Febrianti. Ia mengaku telah berpartisipasi dalam Pasar Ndoro Bei sebelumnya dengan menjajakan Soto Bathok.

Konservasi Budaya Lawas
Menurut Ning, penyelenggaraan Pasar Ndoro Bei dinilai sebagai langkah tepat dalam menghidupkan kembali serta mengenalkan kebudayaan lawas kepada kawula muda.
Di tengah kemasifan pasar modern, justru hadirnya pasar tradisional Ndoro Bei bagaikan pelita kegelapan yang membangkitkan “nuansa” Kesultanan Demak Bintoro.
“Saya rasa, sih, bagus juga dengan adanya Pasar Ndoro Bei walaupun hanya sebulan sekali (diadakannya). Apalagi pasar sekarang, kan (kebanyakan) modern, dengan ada yang tradisional ini jadi anak mudanya bisa tahu makanan tradisionalnya,” tambahnya, saat diwawancarai oleh Tim Redaksi Soeket Teki.
Penamaan Pasar Ndoro Bei bukan muncul begitu saja ke permukaan. “Ndoro Bei” merupakan kepala perdikan terakhir di Kadilangu dan nama ini diambil dari Eyang Ngabehi Notosubroto.
Kendati demikian tujuan dari penyelenggaraan Pasar Ndoro Bei ini guna mengenalkan sosok “Ndoro Bei” kepada khalayak.
Selain itu, adanya Pasar Ndoro Bei juga sebagai replika untuk memberikan gambaran pasar tradisional yang pernah eksis pada masanya.
Mengenalkan Generasi Muda
Salah satu pengunjung pasar, Tata Nurin Andriyani (14) mengaku baru pertama kali mendatangi Pasar Ndoro Bei. Meski ia datang untuk memenuhi undangan sekolahnya, akan tetapi dirinya juga tetap berkeliling di area pasar.
“Pertama kali sih, dateng ke sini. Ini juga sama temen-temen, perwakilan sekolah gitu,” ungkapnya.
Terkait dengan pelaksanaan pasar itu, Tata–akrabnya–, cukup terkesan dengan banyaknya jajanan tradisional yang dijual. Selain berkunjung ke pasar, dirinya juga sempat melakukan photoshoot di area Pasar Ndoro Bei bersama teman-temannya.
“Tempatnya keren, jajanan yang dijualnya juga banyak, plus memanjakan mata banget. Terus juga di sini ada kopi poro, aku tahu sih,” tambahnya menjelaskan.
Pengunjung lainnya, Syarifatul Ulya (14) menyebut pelaksanaan Pasar Ndoro Bei terbilang menarik karena anak-anak muda menjadi lebih kenal dengan jajanan-jajanan tradisional tempo dulu.
“Harapannya kalo dari aku, sih semoga semakin banyak yang tahu pasar ini. Terus, yang dijual juga semakin banyak,” kata perempuan yang akrab disapa Ulya ini.
Dari Sanggar Budaya
Pasar yang digelar selama dua hari berturut-turut (25-26/11/2023) merupakan serangkaian agenda dari Sanggar Budaya Padma Baswara di Kabupaten Demak yang diselenggarakan bersama Dinas Pariwisata Kabupaten Demak.
Pelopor sanggar, Zulverdi Tri Harimurti menyebut penyelenggaraan pasar tradisional Ndoro Bei sebagai bagian dari salah satu kegiatan Padma Baswara, Catur Sasangka. Diketahui Pasar Ndoro Bei sendiri telah ada sejak Catur Sasangka pertama sekaligus menjadi sarana yang bersifat edukatif dan interaktif.
Setiap bulannya, Pasar Ndoro Bei digelar di Kadilangu dan berhasil menarik masa untuk merasakan lebih jauh vibes suasana tradisional pasar di Kadilangu pada beberapa puluh tahun lalu.
“Di Padma, ada kegiatan Catur Sasangka, dan Pasar Ndoro Bei ini masuk di dalamnya. Bedanya, Catur Sasangka tiap 4 bulan, kalo yang pasar kita adakan sebulan sekali,” kata pria yang akrab disapa Verdi.
Jadi dalam setahun, kiranya terdapat tiga kali pelaksanaan Catur Sasangka, karena berjangka empat bulan sekali. Beda dengan Pasar Ndoro Bei yang diselenggarakan setiap bulan. Penyelenggaraan pasar yang hanya menjual makanan-makanan terdahulu juga sebagai esensi dari otentika pasar tradisional.
“Kami memang sengaja menjualnya makanan- makanan tradisional aja di sini. Karena kembali lagi, pasar ini ada untuk mengenalkan nilai dari sebuah pasar tradisional,” terangnya.
Dengan diselenggarakannya selama setiap bulan, Verdi berharap masyarakat lebih terbuka dalam mengetahui keberadaan pasar tradisional. Lebih jauh daripada itu, masyarakat bisa menangkap maksud dari penyelenggaraan pasar jadul yang tidak hanya sebagai wisata semata.
Penulis: Eva Salsabila A.
(Lurah Kampoeng Sastra Soeket Teki 2023)
Tulisan pernah diterbitkan di Majalah Soeket Teki Edisi 11