Malam itu jalanan di sekitar Pasar Johar sudah mulai lengang dengan kendaraan. Kami menyusuri jalan utara pasar dan berbelok ke Jalan Pekojan. Sesaat terasa sepi karena pertokoan di kawasan itu memang sudah tutup. Namun samar-samar dari kejauhan satu lorong jalan masih terlihat ramai, Jumat (21/6/2019).
Gang warung Pecinan Kota Semarang dipenuhi orang-orang yang berjalan kaki menenteng makanan dan minuman. Tenda-tenda dengan kepulan asap dan bau harum menyambut setiap pengunjung. Anak-anak, remaja, dan orang tua berjalan sambil menoleh ke kanan kiri mencari jajanan yang mereka inginkan. Inilah Pasar Semawis atau kadang disebut Warung Semawis.
Warung Semawis menyajikan beragam makanan, mulai jajanan tradisional seperti lumpia, kue serabi dan bubur kacang hijau. Jajanan kekinian semacam salad buah dan corn dog ala korea ada disini. Jajanan daerah seperti mendoan Purwokerto dan tahu aci khas Tegal juga tak ketinggalan.
Tidak hanya jajanan. Makanan berat bagi pengunjung yang lapar juga ada. Misal gudeg, Soto Kudus dan ayam geprek. Beberapa warung pun ada yang menjual makanan khas cina yang berbahan dasar babi atau semacamnya. Namun tidak perlu khawatir bagi pengunjung muslim, karena banyak juga makanan halal.
Saking banyaknya pilihan yang ada, kami memutuskan untuk menyusuri sepanjang lorong jalan dari ujung hingga ujung. Bangunan yang tutup disepanjang jalan turut menyita perhatian. Sedikit berbincang dengan penjual disana ternyata bangunan ini adalah toko yang masih aktif saat siang hari.
Cukup lama kami berjalan menyusuri gang sepanjang 300 meter tersebut. Sampai diujung gang, terdapat gapura besar berhias lampu lampu bernuansa cina dengan tulisan “Pecinan Semarang”, alunan musik akustik dipintu masuk gapura juga turut menemani perjalanan kami malam itu.
Berdirinya Pasar Semawis
Salah satu penjual sari jeruk yang kami temui, adalah penduduk asli pecinan. Febriyanto bercerita awalnya Warung Semawis digagas oleh komunitas pengusaha Tionghoa di kawasan pecinan Semarang. Komunitas itu bernama Kopi Semawis, yaitu akronim dari Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata.
“Dulu pasarnya cuman ada pas mau Imlek. Terus mulai 2009 jadi rutin diadakan setiap weekend,” ceritanya.
Pada tahun 2005 Pasar Semawis bermula. Pasar malam mini awalnya diadakan dalam rangka menyambut Hari Raya Imlek dan waktu itu namanya Pasar Imlek Semawis. Kini Pasar Semawis buka setiap Jumat, Sabtu dan Minggu mulai Pukul 18.00-22.00 WIB.
“Tetapi yang jualan disini ya macem-macem, bukan hanya orang Tionghoa. Semua boleh bergabung dan berjualan disini,” jelasnya sambil memberikan satu gelas es jeruk segar pada kami.
Akhirnya kami memilih salad buah dan tempura goreng untuk jajan malam ini. Harga satu porsi salad buah Rp. 20ribu dan tempura goreng satu porsi Rp. 25ribu dengan isi tujuh tusuk. Kemudian kami memilih menikmati suasana Pasar Semawis dengan duduk di kursi plastik yang memang disediakan untuk pengunjung.
Bertemu dengan mahasiswi Universitas Negeri Semarang, Siti Zahra Zahrona dan Ade Wahyu Ningtyas. Zahra mengaku kali ini bukan pertama ia datang ke Pasar Semawis. Sudah empat kali ia berkunjung kesini karena menurutnya tempat ini cocok untuk orang yang suka jajan.
“Enak tempatnya pas untuk orang yang suka jajan. Tapi soal harga ya lumayan sih untuk mahasiswa,” tuturnya sambil menikmati salad yang ia beli.
Berbeda halnya dengan Ade, ia baru pertama kali ini pergi ke Semawis. Ia sengaja mengajak temannya karena penasaran dengan tempat yang menjadi salah satu destinasi wisata kuliner yang enak untuk orang yang suka jajan.
“Kalau di Unnes kan gak ada yang kaya gini, jadi ya asik aja jajan terus suasananya disini,” ungkapnya.
Waktu telah menunjukan pukul 21.55 saat orang-orang yang memakai seragam keber sihan mulai membersihkan area pasar. Mereka menata dan mengangkut kursi serta meja plastik yang sudah tidak diduduki pengunjung. Warung Semawis mulai berkemas.
Penulis: Iin EW.