
Senin, 21 Februari 2025, Presiden Prabowo resmi meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Membawa mimpi sebagai kekuatan yang dapat menunjang perekonomian nasional, Danantara akan mengelola dana mencapai 900 miliar dollar USA atau sekitar 14.000 triliun.
Danantara dibentuk untuk dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi dengan menggabungkan aset penting dan melakukan optimalisasi kekayaan negara melalui investasi. Badan ini juga memastikan aset nasional tidak berhenti, tetapi terus berputar dan berkembang untuk memberikan dampak nyata bagi perekonomian negara.
Memiliki tiga fondasi strategi investasi dengan mengkonsolidasi aset, transformasi peran BUMN dan kedaulatan investasi. Danantara memiliki peran yang lebih luas dari sekedar badan investasi. Danantara menjadi pembentuk konstruksi yang kokoh untuk membangun Indonesia yang sejahtera, berdaulat, dan makmur.
Danantara setidaknya akan mengelola aset perusahan BUMN besar, seperti Telkom Indonesia, Mandiri, BNI, BRI, Mandiri, MIND ID, dan Pertamina. Namun, meski mengelola dana bank-bank BUMN, Danantara tidak akan mengganggu kinerja dan hanya mengurus aset, bukan dana nasabah.
Nantinya, dengan melalui rancangan investasi strategis, Danantara dapat memberikan keleluasaan BUMN untuk lebih fokus pada peningkatan kinerja. Permasalahan pendanaan untuk proyek seperti pembangunan tol, bandara, atau pelabuhan dapat diakses melalui Danantara.
Tiru Kisah Sukses Temasek
Pembentukan lembaga pengelola investasi dari dana negara bukan hal baru. Sebelum lahirnya Danantara, beberapa negara sudah mengadopsi langkah untuk mengelola dana negara untuk diinvestasikan. Pada umumnya, lembaga pengelola dana negara dikenal dengan Sovereign Wealth Fund (SWF).
Cerita suksesnya SWF ini dapat dilihat dari perjalanan Temasek Holdings yang didirikan oleh Pemerintah Singapura pada tahun 1974. Memiliki beberapa saham di perusahaan besar, seperti DBS Bank, Alibaba dan SingTel. Di tahun 2023, Temasek mencatatkan portofolio investasi mencapai 382 miliar dolar Singapura atau sekitar 4.500 triliun.
Dari manisnya kisah kesusksesan Temasek Holdings, Prabowo ingin mengikutinya melalui Danantara. Dari pengelolaan dana negara hingga mendapatkan keuntungan di setiap tahunnya.
Namun, walau menjadikan Temasek sebagai role model, Danantara memiliki sistem pengelolaanyanya sendiri. Danantara akan mengambil alih peran BUMN dalam mengelola aset negara yang besal dari dana abadi. Selain berperan sebagai pengelola dana abadi, Danantara memiliki fungsi tambahan sebagai development investment dan asset management.
Setidaknya dengan penggabungan tujuh aset BUMN, Danantara akan mengelola dana nyaris 9.000 triliun. Artinya, Danantara akan mengalahkan Temasek dan diperkirakan akan menduduki posisi keempat sebagai lembaga SWF terbesar di dunia.
Nominal tersebut belum termasuk dengan pemasukan dari hasil efisiensi kementerian dan lembaga yang jika di total akan mencapai kurang lebih 300 triliun. Belum lagi penggabungan dari Indonesia Investment Authority (INA) dengan aset sebesar 163 triliun.
Potensi Ladang Korupsi
Kisah manis kesuksesan Temasek Holdings tidak berlaku untuk semua negara yang menerapkan SWF. Pengelolaan yang buruk akan mengubah badan ini menjadi lahan subur untuk tindakan penjarahan uang negara.
Seperti kisah pahit yang pernah terjadi di Malaysia melalui kejadian gagalnya program 1Malaysia Development Berhad (1MDB) dengan kerugian mencapai 4,5 miliar dollar Amerika atau setara 70 triliun. Menjadikannya sebagai kasus korupsi terbesar dalam sejarah berdirinya negara tetangga Indonesia tersebut.
Setelah dilakukannya investigasi gabungan yang melibatkan Amerika Serikat, Swiss dan Singapura, terungkap bahwa dalang utamanya adalah Perdana Menteri dan koleganya.
Perdana Menteri Malaysia yang waktu itu dijabat oleh Najib Razak terbukti telah menerima dana sebesar 700 dolar Amerika masuk ke rekening pribadinya. Hasil korupsinya tersebut ia gunakan untuk berfoya-foya dengan membeli karya seni jutaan dolar dan properti mewah.
Seperti 1MDB, Danantara juga memiliki peluang cukup besar menjadi ladang korupsi. Terlebih menurut aturan baru yang tertuang dalam UU BUMN, Danantara tidak dapat diaudit oleh KPK dan BPK tanpa ada persetujuan DPR. Tetapi, Danantara akan disupervisi oleh Dewan Pengawas. Dewan Pengawas ini diisi oleh Erik Tohir dan Mulaiman Hadad sebagai Wakil Dewas.
Presiden Prabowo juga akan melibatkan para penasihat berskala global untuk membantu mengarahkan Danantara. Para konsultan ini berasal dari Amerika, Inggris, China, India dan sebagainya, dengan keahlian dalam bisnis atau memiliki latar belakang politik.
Secara khusus Presiden Prabowo juga menunjuk Presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden ketujuh, Joko Widodo sebagai Dewan Penasihat Danantara. Sayangnya pengangkatan dewan yang memiliki afiliasi politik, telah terbukti memengaruhi sentimen pasar. Hal ini terbukti dengan penurunan saham-saham bank BUMN, seperti BBRI.
Para analisis menyarankan untuk memilih pemimpin yang profesional dan tidak memilik afiliasi dengan politik. Hal ini diperlukan karena untuk memastikan kredibiltas, tranparansi dan akuntabilitas. Dengan begitu, mereka yang terpilih dapat menjalankan tugas dan membuat kebijakan secara independen tanpa adanya pengaruh politik.
Berkaca dari kejadian gagalnya 1MBD milik Malaysia yang berada dibawah kontrol pemerintahan yang tidak transparan sehingga memiliki celah untuk terjadinya korupsi, maka bukan tidak mungkin nasib serupa dapat juga terjadi pada Danantara.
Penulis: Hikam Abdillah