Humor adalah bagian dari dinamika kehidupan manusia. Dengan humor, hidup manusia menjadi lebih berwarna dalam memaknai kehidupan.
Sebagaimana dikatakan Gus Dur dalam Mati Ketawa ala Rusia (1986), humor adalah senjata terampuh untuk memelihara kewarasan orientasi hidup sebuah masyarakat. Tanpa humor, yang ada hanyalah kegilaan, kebencian, dan kemarahan.
Namun, selera humor tiap orang itu berbeda-beda. Ada yang setiap hari bercengkerama dengan humor. Ada pula yang menggunakan humor sebagai selingan penghilang kepenatan. Yang jelas, masing-masing punya porsi dan pilihan tersendiri dalam membuat humor.
Dalam beberapa kasus, beberapa orang bahkan bisa mengekspresikan humor secara lepas. Seolah apa yang menjadi beban dalam hidup, hilang seketika dalam satu hentakan tawa. Sebab, poin utama dalam humor adalah titik kelucuan. Dengan kelucuan, orang akan lebih mudah tertawa.
Akan tetapi, di negara kita humor menjadi sensitif. Atau lebih tepatnya ia menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Fungsi humor tak lagi bersifat sebagai kebutuhan manusia untuk ketahanan diri dalam proses pertahanan hidupnya. Melainkan, semata-mata sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan financial.
Ada semacam pergeseran makna dalam humor. Dalam Ensiklopedia Indonesia (1982), seperti yang dinyatakan oleh Setiawan (1990) menyebut humor itu kualitas untuk menhimbau rasa geli atau lucu, karena keganjilannya atau ketidakpantasannya yang menggelikan; panduan antara rasa kelucuan yang halus di dalam diri manusia dan kesadaran hidup yang iba dengan sikap simpatik.
Humor hari ini lebih bersifat hard selling; kalau kata anak zaman sekarang. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir siaran TV nasional, kita telah menyaksikan orang-orang mempertontonkan parodi dan leluconnya. Orang-orang di dalam studio ‘dipaksa’ menertawakan kelucuan, yang dalam satu kondisi tak selalu mempunyai nilai humor.
Hal ini kemudian menghidupkan dan meresapi teori agenda setting dan framing, yang pada praktiknya sudah biasa dilakukan oleh media mainstream. Dua teori yang jelas saling berkaitan.
Teori agenda setting berbicara tentang bagaimana media mampu menonjolkan hal biasa menjadi hal yang penting. Sedangkan teori framing adalah cara membingkai sesuatu melalui sebuah pencitraan yang baik atau buruk.
Ishadi SK dalam buku Media dan Kekuasaan membeberkan teknis suatu media mainstream dalam membingkai humor (yang dipaksakan) untuk dikemas sedemikan rupa, hingga menyerupai humor. Hal itu Ishadi dapatkan dari pengalamannya keluar masuk newsroom media-media di Indonesia pada akhir masa Orde Baru hingga awal masa Reformasi.
Pengalaman Ishadi ini, tentu masih ada dan bahkan menjadi kultur baru dalam komoditi humor hingga hari ini. Menarik untuk kita saksikan bagaimana orang-orang dengan bangga berlomba-lomba menjadi ‘badut’ atas diri mereka sendiri.
Penulis: Agus Salim