
Amanat.id– Ribuan massa aksi Aliansi Masyarakat Sipil Jawa Tengah memadati Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang untuk menuntut berbagai kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran, Selasa (18/2/2025).
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, Aufa Ariq menyebut kebijakan Pemerintahan Prabowo-Gibran berdampak kepada seluruh elemen masyarakat.
“Pemerintahan yang mencekik rakyat tentu tidak berdampak kepada pendidikan saja, tapi juga ke seluruh masyarakat,” ujarnya.
Ia menegaskan akan terjadi revolusi atau reformasi apabila kebijakan pemerintah Prabowo-Gibran terus merugikan masyarakat.
“Dalam 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran saja sudah seperti ini memungkinkan kembali dalam 1 tahun atau dalam waktu dekat terjadi reformasi atau revolusi,” tegasnya.
Menurutnya gerakan mahasiswa saat ini sudah cukup merepresentasikan reformasi.
“Tentu gerakan ini representasi, ini baru gerakan mahasiswa kita belum menggait buruh, petani, terus juga entitas lain akan ada konsolidasi yang lebih besar melibatkan masyarakat,” ucapnya.
Ketua Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Semarang, Andreas Kevin menegaskan tidak sepakat dengan kebijakan efisiensi anggaran.
“Tentu kami tidak sepakat dengan kebijakan Prabowo karena Inpres Nomor 1 tahun 2025 yang memotong seluruh anggaran kementerian termasuk alokasi untuk daerah,” tegasnya, Selasa (18/2).
Andreas mengatakan bahwa pemangkasan anggaran akan menyebabkan kesenjangan sosial.
“Tentu saja menyebabkan kesenjangan sosial. Pertama, konsekuensinya pemutusan hubungan kerja (PHK),” ujarnya.
Selain PHK, menurutnya akan terjadi ketergantungan hidup yang menyebabkan imigrasi ke kota.
“Akan terjadi ketergantungan hidup di daerah-daerah kecil dan akan berdampak kepada imigrasi ke kota-kota besar,” ucapnya.
Andreas juga menyayangkan adanya perubahan aturan alokasi dana pendidikan menurut Undang-Undang (UU) Sisdiknas.
“Saya juga mengikuti UU Sisdiknas, awalnya mandatory spending 20 persen dari belanja negara tapi nanti akan diubah metodenya menjadi pendapatan negara,” ujarnya.
Menurut Andreas, hal tersebut menyebabkan alokasi dana pendidikan bergantung pada pendapatan negara.
“Sangat bergantung pada pendapatan negara, kalau pendapatan negara kecil maka alokasi anggaran untuk pendidikan akan berdampak,” ucapnya.
Andreas berpendapat, sebagai seorang negarawan Prabowo harus bisa memutus relasi kekuasaan dengan Jokowi.
“Sebagai seorang negarawan, Prabowo harus bisa memutus rantai relasi kuasa itu, karena pemerintah saat ini hanya mengakomodasi dua kepentingan, kepentingan Prabowo dan Jokowi,” katanya.
Andreas menuturkan pemerintahan Prabowo-Gibran bisa saja menjadi otoriter karena situasi yang terjadi saat ini.
“Dengan situasi yang ada sekarang bisa dipastikan Prabowo akan menjadi pemerintahan yang otoriter,” tuturnya.
Andreas mengatakan dirinya meragukan sikap nasionalisme Prabowo sebagai presiden.
“Prabowo juga seorang Machiavelli, saya meragukan nasionalisme dan patriotisme bahkan indikasinya akan menjadi sayap kanan dan bisa juga fasis,” ucap Andreas.
Sementara itu, Wakil BEM Universitas Tidar (UNTIDAR) Wisnu Putra menganggap kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran terlalu serampangan.
“Kebijakannya terlalu serampangan dan banyak yang uji coba,” imbuhnya.
Menurut Wisnu, sebuah kebijakan harus diriset terlebih dahulu secara mendalam sebelum diputuskan.
“Harusnya pemerintahan itu sekarang ketika membuat kebijakan harus dengan riset yang mendalam,” katanya.
Akibat dari efisiensi anggaran, sambungnya, pemerintahan Prabowo-Gibran merupakan bagian dari neo-kapitalisme.
“Bisa dibilang karena bagaimana kita bisa melihat kapitalisme apalagi neo kapitalisme menyebabkan kaum proletar tidak lagi bisa sejahtera,” tutupnya.
Reporter: Moehammad Alfarizy