Perkembangan teknologi memang mengubah cara manusia berkomunikasi, dari komunikasi langsung (tatap muka) menjadi komunikasi melalui media sosial. Perubahan itu memang memudahkan, namun di sisi lain juga banyak menciptakan masalah baru.
Ya, ini tentang kondisi keberagamaan dan kebangsaan kita kini. Media sosial menjadi tempat paling subur menumbuhkan kebohongan-kebohongan. Meski sebagian berita bohong itu sudah diklarifikasi, tapi tetap saja banyak orang yang mempercayai. Mengapa itu bisa terjadi?
Secara neurosains, jika manusia berkomunikasi lewat lisan, otak kiri dan otak kanan akan bekerja bersama. Otak kiri memproses bahasa verbal, baik lisan maupun tulisan. Sementara otak kanan mengolah bahasa nonverbal, seperti intonasi suara, tatapan mata, mimik muka, hingga gerak tubuh. Berbeda dengan komunikasi di media sosial yang membutuhkan kerja otak kiri saja.
Bekerjanya otak secara bersamaan dalam komunikasi langsung akan membuat seseorang merasa kelelahan, lantaran banyaknya energi yang terkuras. Padahal otak manusia cenderung, menghindari hal-hal yang melelahkan. Akibatnya, kecenderung manusia berkomunikasi lewat tulisan tinggi. Wajar jika banyak orang yang sangat aktif di media sosial, tetapi bungkam saat bertemu.
Permasalahannya adalah, dalam komunikasi digital kebohongan semakin mudah diciptakan. Kita akan kesulitan untuk menangkap bahasa nonverbal yang disampaikan seseorang dibandingkan saat berkomunikasi secara langsung. Hal itu didorong dengan karakter media sosial yang dapat menyebarkan informasi secara cepat dan massif. Sehingga, kebohongan jika diulang-ulang terus akan menjadi kebenaran yang “diimani”.
Di sini saya tidak mengatakan bahwa media sosial harus ditinggalkan. Chaos yang terjadi di ruang sosial kini, harus dihadapi sebagai konsekuensi atas kemudahan yang diberikan. Bahwa, ada transformasi penggunaan media sosial yang mengakhawatirkan. Ia bukan hanya sebagai aplikasi komunikasi semata, namun juga alat propaganda dan ruang agitasi massa untuk kepentingan politik maupun ideologi tertentu.
Hermeneutika kecurigaan
Ya, kita tidak bisa menangkap bahasa nonverbal dalam komunikasi digital. Namun, itu tidak berarti bahwa kita tidak dapat membedakan mana kebohongan dan yang benar.
Dalam filsafat ada, ada yang disebut model berfikir hermeneutika kecurigaan (hermeneutics of suspicious). F.W Nietzsche (1844-1900) salah satu yang menggunakan model berfikir ini, untuk membedah hal-hal yang tidak lagi dipertanyakan, seperti kepercayaan masyarakat ataupun dogma agama.
Jika dikontekstualisakan hari ini, hermeneutika jenis ini dapat diterapkan untuk membaca semua arus informasi yang berkembang, termasuk di media sosial. Tidak hanya memilah informasi, ia juga dapat digunakan untuk mengungkap narasi besar di balik kebohongan itu diciptakan. Seperti, dalam kasus mengapa Prof. K.H Aqil Shiraj (Ketua PBNU) dituduh syiah, khilafah dianggap solusi bangsa, atau narasi bahwa umat Islam di Indonesia merasa terdiskriminasi, sehingga muncul wacana kebangkitan umat Islam.
Untuk kasus terakhir, jika kita membedahnya dengan hermeneutika kecurigaan kita akan mempertanyakan asumsi awal yang digunakan. Bagaimana bisa, umat Islam yang mayoritas terdiskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia? Tentu, konyol!
Penulis: Sigit A.F