• Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Advertorial
  • Kontak
Sabtu, 24 Mei 2025
  • Login
Amanat.id
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
Amanat.id

Mengapa Kebohongan-Kebohongan di Media Sosial  Bisa “Diimani”?

Sigit A.F by Sigit A.F
6 tahun ago
in Artikel, Opini
0

Baca juga

Ketika Sibuk Dianggap Prestasi, Burnout Dinormalisasi

Realitas Semu Emosi Pria

Multitasking: Dalang di Balik Kerusakan Otak

 

(dok.internet)

Perkembangan teknologi memang mengubah cara manusia berkomunikasi, dari komunikasi langsung (tatap muka) menjadi komunikasi melalui media sosial. Perubahan itu memang memudahkan, namun di sisi lain juga banyak menciptakan masalah baru.

Ya, ini tentang kondisi keberagamaan dan kebangsaan kita kini. Media sosial menjadi tempat paling subur menumbuhkan kebohongan-kebohongan. Meski sebagian berita bohong itu sudah diklarifikasi, tapi tetap saja banyak orang yang mempercayai. Mengapa itu bisa terjadi?

Secara neurosains, jika manusia berkomunikasi lewat lisan, otak kiri dan otak kanan akan bekerja bersama. Otak kiri memproses bahasa verbal, baik lisan maupun tulisan. Sementara otak kanan  mengolah bahasa nonverbal, seperti intonasi suara, tatapan mata, mimik muka, hingga gerak tubuh. Berbeda dengan komunikasi di media sosial yang membutuhkan kerja otak kiri saja.

Bekerjanya otak secara bersamaan dalam komunikasi langsung akan membuat seseorang merasa kelelahan, lantaran banyaknya energi yang terkuras. Padahal otak manusia cenderung, menghindari hal-hal yang melelahkan. Akibatnya, kecenderung manusia berkomunikasi lewat tulisan tinggi. Wajar jika banyak orang yang sangat aktif di media sosial, tetapi bungkam saat bertemu.

Permasalahannya adalah, dalam komunikasi digital kebohongan semakin mudah diciptakan. Kita akan kesulitan untuk menangkap bahasa nonverbal yang disampaikan seseorang dibandingkan saat berkomunikasi secara langsung. Hal itu didorong dengan karakter media sosial yang dapat menyebarkan informasi secara cepat dan massif. Sehingga, kebohongan jika diulang-ulang terus akan menjadi kebenaran yang “diimani”.

Di sini saya tidak mengatakan bahwa media sosial harus ditinggalkan. Chaos yang terjadi di ruang sosial kini, harus dihadapi sebagai konsekuensi atas kemudahan yang diberikan. Bahwa, ada transformasi penggunaan media sosial yang mengakhawatirkan. Ia bukan hanya sebagai aplikasi komunikasi semata, namun juga alat propaganda dan ruang agitasi massa untuk kepentingan politik maupun ideologi tertentu.

Hermeneutika kecurigaan

Ya, kita tidak bisa menangkap bahasa nonverbal dalam komunikasi digital. Namun, itu tidak berarti bahwa kita tidak dapat membedakan mana kebohongan dan yang benar.

Dalam filsafat ada, ada yang disebut model berfikir hermeneutika kecurigaan (hermeneutics of suspicious). F.W Nietzsche (1844-1900) salah satu yang menggunakan model berfikir ini,  untuk membedah hal-hal yang tidak lagi dipertanyakan, seperti kepercayaan masyarakat ataupun dogma agama.

Jika dikontekstualisakan hari ini, hermeneutika jenis ini dapat diterapkan untuk membaca semua arus informasi yang berkembang, termasuk di media sosial. Tidak hanya memilah informasi, ia juga dapat digunakan untuk mengungkap narasi besar di balik kebohongan itu diciptakan. Seperti, dalam kasus mengapa Prof. K.H Aqil Shiraj (Ketua PBNU) dituduh syiah, khilafah dianggap solusi bangsa, atau narasi bahwa umat Islam di Indonesia merasa terdiskriminasi, sehingga muncul wacana kebangkitan umat Islam.

Untuk kasus terakhir, jika kita membedahnya dengan hermeneutika kecurigaan kita akan mempertanyakan asumsi awal yang digunakan. Bagaimana bisa, umat Islam yang mayoritas terdiskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia? Tentu, konyol!

 

Penulis: Sigit A.F

 

 

 

 

 

 

  • 0share
  • 0
  • 0
  • 0
  • 0
Tags: di balik hoaks indonesiafake newshoaks media sosialnarasi kebohongan media sosialpolitisasi agamasaid aqil shirajumat islam terdiskriminasi
Previous Post

Ketika Sastra Tidak Dibaca

Next Post

Mental Buruh Kaum Intelektual

Sigit A.F

Sigit A.F

Gunung, senja, nada, dan kata-kata.

Related Posts

burnout, gejala burnout, dampak psikologi burnout, dampak burnout mahasiswa, gejala gangguan mental
Opini

Ketika Sibuk Dianggap Prestasi, Burnout Dinormalisasi

by Nadia Safwa Aqila
23 Mei 2025
0

...

Read more
Emosi Pria, Maskulinitas Pria, Budaya Patriarki, Standar Maskulinitas, Bias Gender

Realitas Semu Emosi Pria

13 Mei 2025
Multitasking, Risiko Multitasking, Dampak Buruk Multitasking, Mahasiswa Multitasking, Pengaruh Multitasking

Multitasking: Dalang di Balik Kerusakan Otak

5 Mei 2025
Student Loan, Pinjaman Pendidikan, Pinjaman Pendidikan Mahasiswa, Biaya Kuliah Mahasiswa, KMI

Student Loan, antara Harapan dan Jebakan

29 April 2025
Gelar Pahlawan, Gelar Pahlawan Soeharto, Kontroversi Gelar Soeharto, Gelar Pahlawan Nasional, Soeharto

Layakkah Soeharto Jadi Pahlawan Nasional?

22 April 2025

ARTIKEL

  • All
  • Kolom
  • Mimbar
  • Rak
  • Sinema
  • Opini
may day, aksi may day, may day semarang, demo buruh semarang, demo buruh

May Day, Buruh Tuntut Perbaikan UMK dan Tindak Tegas Perusahaan Nakal

2 Mei 2025
Nur Hayid, Kunci Sukses Enterpreneur, HMJ MHU, MHU UIN Walisongo, UIN Walisongo

Nur Hayid Tekankan Pentingnya Optimisme Dalam Meraih Kesuksesan

7 Mei 2025
laut, sastra soeket teki, puisi soeket teki, skm amanat, puisi skm amanat

Laut

27 April 2025
Efri Arsyad, Studi Luar Negeri, Harlah PBI UIN Walisongo, Tips Studi Luar Negeri, UIN Walisongo

Efri Arsyad Jelaskan Tantangan dan Manfaat Studi ke Luar Negeri

16 Mei 2025
Load More

Trending News

  • Aksi Diam, Aksi Diam UIN Walisongo, Perpustakaan UIN Walisongo, Aksi Diam Perpustakaan, Perkuliahan Hybrid UIN Walisongo

    Beberapa Mahasiswa UIN Walisongo Gelar Aksi Diam Tuntut Kembalikan Jam Normal Perpustakaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketua FORMAKIP UIN Walisongo Pastikan Tidak Ada Pemotongan Biaya Living Cost

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 7 Atribut Ini Wajib Dikenakan Saat Wisuda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Filosofi Toga yang Harus Wisudawan Tahu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • The Night Comes for Us: Banjir Darah Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca dan Menelaah Falsafah Mandor Klungsu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Amanat.id

Copyright © 2012-2026 Amanat.id

Navigasi

  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Advertorial
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Kontak

Ikuti Kami

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result

Copyright © 2012-2026 Amanat.id

Send this to a friend