
Diangkatnya Teddy Indra Wijaya atau lebih dikenal dengan Teddy sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) pasca dilantiknya Presiden Prabowo sempat menimbulkan kontroversi. Di mana saat itu Teddy masih aktif sebagai seorang Tentara Negara Indonesia (TNI) dengan pangkat Mayor. Saat ini dirinya kembali ramai diperbincangkan karena kenaikan pangkatnya dari Mayor menjadi Letnan Kolonel (Letkol) yang dianggap tidak lazim.
Pengangkatan Teddy menjadi Seskab jelas menabrak Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Di mana pada Pasal 47 hanya menyebutkan koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Sedangkan Seskab, tidak masuk ke dalam Pasal 47 tersebut.
Merujuk pada pasal tersebut, maka seharusnya Teddy mengundurkan diri sebagai prajurit aktif. Sayangnya, Teddy saat ini masih terdaftar sebagai prajurit aktif, bahkan mendapatkan kenaikan pangkat. Jauh daripada itu, seharusnya Teddy juga menyatakan keluar dari keprajuritan semenjak dirinya turut andil dalam tim Pemenangan Prabowo-Gibran.
Dalam masalah ini, pihak istana berdalih bahwa jabatan Seskab merupakan posisi yang tidak setara dengan menteri. Presiden juga telah mengubah nomenklaturnya menjadi seperti Sekretaris Militer.
Munculnya kabar miring dari kenaikan pangkat Teddy direspon oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Maruli Simanjuntak yang mengatakan kenaikan pangkat Teddy dilandasi atas kinerjanya dalam membantu tugas presiden sebagai seorang Seskab. Padahal alasan tersebut juga tidak sejalan dengan Peraturan Panglima Tentara Indonesia (Perprang), di mana seharusnya kenaikan pangkat tidak dapat didasari atas kinerja dalam jabatan non kedinasan militer.
Di Pemerintahan Presiden Prabowo, kasus seperti ini tidak hanya terjadi pada Teddy. Ada sederet nama prajurit aktif yang juga diberikan jabatan di luar kemiliteran, seperti halnya Mayor Jenderal (Mayjen) Novi Helmy yang diangkat menjadi Direktur Utama (Dirut) Perum Bulog dan Maroef Sjamsoeddin yang diangkat menjadi Dirut MIND ID oleh Erick Thohir.
Pengangkatan ini juga terjadi kepada beberapa anggota dari personel pasukan Tim Mawar. Di mana pasukan ini menjadi pasukan yang dekat dengan Prabowo ketika diduga terlibat dalam aksi penculikan Aktivis 1998. Mereka mendapatkan posisi yang mentereng di Pemerintahan Presiden Prabowo, seperti Untung Budiharto yang menjabat sebagai Komisaris Transjakarta, Dandang Hendrayuda sebagai Deputi Bidang Pemantauan dan Pengawasan Badan Gizi Nasional, Nugroho Sulistyo Budi yang telah dilantik sebagai Kepala Badan Siber dan Sandi Negara serta Gubernur Sulawesi Utara Yulius Selvanus.
Mengutip dari laporan Tempo, setidaknya ada 2.569 prajurit aktif yang mengisi jabatan sipil di tahun 2023. Angka ini kemudian bertambah 29 perwira aktif menjabat di lembaga dan kementerian Pemerintahan Presiden Prabowo.
Ujung Tanduk Demokrasi
Dalam laporan “Democracy Index 2023: Age of conflict” yang dirilis Economist Intelligence Unit (EIU), perolehan peringkat demokrasi Indonesia tiap tahunnya terus menurun. Tren penurunan ini berkolerasi dengan manuver politik Jokowi dalam mempromosikan pencalonan Prabowo dan majunya Gibran sebagai wakil presiden.
Setelahnya, indeks demokrasi Indonesia anjlok tiga peringkat yang sebelumnya berada di posisi 56 menjadi 59. Menurut lembaga riset The Economist Intelligence Unit (EIU), kondisi demokrasi di Indonesia hanya mendapat skor 6,44.
Tren penurunan ini dapat terus merosot dengan adanya wacana Revisi UU Nomor 34 Tahun 2004. Revisi UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang TNI menjadi topik yang fundamental saat ini. Dwifungsi prajurit layaknya Orde Baru menjadi ketakutan besar oleh masyarakat. Senjata-senjata yang dipegang oleh prajurit untuk melindungi negara dari ancaman eksternal, dikhawatirkan kembali digunakan untuk memberedel rakyatnya sendiri.
Urgenitas akan Revisi UU TNI ini juga dipertanyakan karena dengan banyaknya UU yang perlu dibahas, Revisi UU TNI dipercepat hingga mengadakan rapat di luar gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di samping digaungkannya efisiensi anggaran.
Saat ini ada 14 operasi non-perang yang dapat dilakukan oleh TNI menurut UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, di ataranya adalah membantu penanggulangan bencana alam, memberikan bantuan kemanusiaan, pencarian dan penyelamatan. Namun, dengan adanya Rencana Revisi UU TNI ini maka TNI memiliki keleluasan lebih.
Ada tiga pasal yang menjadi perhatian dalam Revisi UU TNI, yaitu pada Pasal 3 ayat (2) TNI berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan dalam hal kebijakan dan strategi. Selain itu, terdapat juga revisi pada Pasal 47 di mana ada pelebaran peran keterlibatan prajurit TNI aktif di lembaga sipil dan kementerian.
Sebelumnya, seorang prajurit hanya diperbolehkan mengisi 10 instansi, kemudian dalam rancangan revisi ini terdapat perluasan menjadi 16 lembaga dan kementerian. Penambahan instansi tersebut meliputi Kelautan dan Perikanan, Keamanan Laut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), dan Kejaksaan Agung.
Pasal 53 tentang perubahan batas usia pensiun didasarkan pada pangkat. Usia pensiun Tamtama dan bintara adalah 53 tahun, Perwira hingga pangkat Kolonel 58 tahun, Perwira bintang satu 60 tahun, Perwira bintang dua 61 tahun, Perwira bintang tiga 62 tahun, dan Perwira bintang empat hingga Jenderal paling tinggi 63 tahun dan dapat diperpanjang maksimal dua kali dengan syarat kebutuhan dan ditetapkan oleh Keputusan Presiden.
Acaman Kembalinya Dwifungsi ABRI
Dengan adanya Revisi UU TNI, sangat wajar masyarakat berada dalam kondisi khawatir dan ketakutan karena kondisi ini mengingatkan kembali dengan peristiwa kelam di masa lalu. Ketika prajurit memiliki dua fungsi, yaitu menjaga keamanan dan mengatur negara. Sistem ini dikenal dengan dwifungsi ABRI.
Melihat sejarah yang pernah terjadi di era Orde Baru dengan dwifungsi ABRI telah melahirkan gaya kepemimpinan yang otoriter. Oposisi ditekan, aktivitas masyarakat dibatasi, ruang kebebasan menyempit dengan dalih untuk mengontrol stabilitas nasional.
Pada masa Orde Baru, konsep dwifungsi ABRI memberikan militer peran ganda, yaitu sebagai penjaga keamanan dan sekaligus sebagai pengatur negara. Ini membuat militer memiliki peran dominan dalam politik dan pemerintahan. Banyak perwira aktif menduduki jabatan strategis di lembaga sipil.
Myanmar menjadi bukti di mana prajurit aktif yang ikut serta dalam hal ihwal politik dan pemerintah memberikan ruang menakutkan dan otoritarianisme. Setelah jatuhnya pemerintahan ke tangan Junta Militer, masyarakat Myanmar mengalami perampasan kebebasan. Sikap otoriternya telah menyebabkan beragam pelanggaran HAM. Banyak dari masyarakatnya memilih untuk kabur keluar negeri, tetapi bagi yang tidak mampu kabur, mereka memilih bertahan atau melawan.
Kisah kelam Myanmar telah menjadi sedikit gambaran ketika demokrasi nyaris tidak berfungsi karena peran sipil dalam pemerintahan terpinggirkan oleh dominasi militer. Kebijakan-kebijakan yang hanya cenderung menguntungkan elit tertentu saja, sementara masyarakat kehilangan hak untuk menyuarakan aspirasi secara bebas.
Selain itu, dominasi militer dalam politik dan pemerintahan dapat memperburuk tata kelola negara, sebab banyak posisi strategis diisi oleh perwira TNI yang tidak memiliki pengalaman dalam birokrasi sipil. Akibatnya, kebijakan yang dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, melainkan lebih berorientasi pada kepentingan elit tertentu.
Jika hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia akan kembali ke masa di mana kebebasan berpendapat dibatasi, pemerintahan dijalankan dengan pendekatan militer, dan demokrasi hanya menjadi slogan tanpa implementasi nyata.
Penulis: Muhammad Geizka Arielta
Editor: Hikam Abdillah