
Priyo sangat mencintai istrinya, tentu saja karena betis istrinya teramat indah. Mulus dan ramping seperti bulir padi. Dan priyo meyakini bahwa betis istrinya adalah betis yang terindah di dunia, bahkan betis Lady Di dan Tina Turner yang paling terkenal indah pun, pasti kalah dengan keindahan betis istrinya.
Setiap malam saat istrinya itu telah lelap tertidur, Priyo pasti suka memandang betis itu lama-lama, dan kalau istrinya itu terbangun dengan mata aneh Priyo yang menatap betisnya, maka Priyo akan langsung berterus terang, bahwa dia adalah pria beruntung, karena memiliki istri dengan betis yang teramat aduhai.
Bahkan pernikahanya dengan istrinya itu adalah dikarenakan betis. Sore itu ia melihat istrinya pulang dari kerja, dengan rok span merah yang ketat, Priyo jadi belingsatan melihat betis istrinya yang tersembul dengan manis. Dalam hati Priyo, tiba-tiba terbesit sebuah keyakinan, “Yak, inilah calon istriku!”.
Bahkan ketika mereka menikah pun, Priyo jadi berterus terang bahwa dia kawin dengan istrinya itu dikarenakan betisnya, bukan karena apa-apa.
“Karena aku mencintai betismu, jadi aku tertarik, dan kawin denganmu,” demikian selalu katanya.
Sejak itu pun, setiap hendak berangkat kerja, Priyo harus selalu menyaksikan betis istrinya dahulu, begitu pula setiap pulang kerja. Maka dia tak sekalipun menyaksikan istrinya itu boleh memakai gaun panjang di rumah.
“Kamu harus selalu pakai pakaian pendek di rumah!” begitu selalu katanya.
“Kenapa mas? Aku toh juga ingin pakai rok panjang,” protes istrinya.
“Pokoknya nggak boleh, aku harus selalu melihat betismu,” dan istrinya pun menurut apa perintah Priyo.
Tetapi anehnya, Priyo justru tak pernah mengizinya istrinya itu keluar rumah dengan mempertontonkan betisnya. Bahkan dengan keras ia pun melarang istrinya bekerja, karena sebagai pramuniaga sebuah swalayan, istrinya harus mengenakan baju seragam dengan potongan pendek, sehingga betisnya akan semakin jelas terlihat.
“Pokoknya kamu harus berhenti kerja!” Perintahnya suatu saat.
Istrinya mendelik, ia menatap Priyo tajam. “Lho lantas bagaimana untuk menyokong gajimu? Ingat mas, kebutuhan kita semakin banyak, gajimu kalau mau jujur, cuma cukup sampai setengah bulan. Setengah bulan berikutnya mau makan apa?” Protes istrinya tak kalah keras.
“Aku enggak peduli, bagaimanapun kamu harus berhenti dari swalayan keparat yang suka mengumbar aurat itu!”
Istrinya masih tak mengerti alasan Priyo, kenapa setelah menikah justru melarangnya bekerja.
“Iya, iya, tapi mas harus memberi alternatif lain dong. Jelaskan alasanmu, kenapa tak suka?,” Priyo terdiam.
“Kalau mas tetap tak memberi tahu, aku tak bisa berhenti!,” ancam istrinya merasa di atas angin.
Kini gentian Priyo yang mendelik,”Oke, oke, aku tak suka kamu pertontonkan betismu pada orang lain!”
Istrinya terdiam, sehari kemudian, ia berhenti kerja, dan tinggal di rumah saja. Sesuai konsekuenya, Priyo pun jadi kelimpungan memenuhi kebutuhan keluarganya. Gajinya sebagai pegawai baru, memang masih dikatakan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hingga akhirnya, tak jarang hampir setiap saat mereka terpaksa berhutang. Terpaksa beberapa barang rumah, yang terbeli karena gaji istrinya terpaksa harus digadaikan.
“Aku cinta betismu, cinta sekali…,” demikian Priyo setiap malam.
Istrinya itu hanya tersenyum, lantas terdiam, dan segera tidur kembali. Begitulah Priyo, setiap saat yang ada dalam benaknya adalah bagaimana dia bisa selalu memandang betis indah istrinya. Sampai suatu saat, terjadilah musibah itu. Priyo di-PHK dari perusahaanya, gara-gara ia mengerti kolusi yang dilakukan beberapa pejabat di perusahaanya. Terang saja ia semakin kelimpungan.
Bagaimana ia bisa menghidupi dirinya dan istrinya. Melihat keadaan itu, istri Priyo pun cepat turun tangan. Ia segera dengan gesit mencari pekerjaan kesana kemari. Dan pagi itu ia dengan senyum cerah berkata pada suaminya, bahwa ia diterima bekerja kembali. Priyo turut senang, namun kebahagiaanya tak lama, sebab sehari kemudian, istrinya itu mendapat seragam kantor dengan bentuk rok span pendek, tak jauh beda dengan seragam pramuniaganya dulu. Priyo menjadi senewen lagi. Ia seketika melarang istrinya menerima pekerjaan tersebut.
“Pokoknya enggak!”
“Tapi mas, ini kesempatan! Sementara mas masih belum mendapat pekerjaan lagi, biar aku yang kerja,”
“aku bilang nggak, ya nggak, titik” kata Priyo berang.
Isterinya itu menatap dirinya tajam.”Baik, baik kalau itu memang keinginanmu, aku akan batalkan pekerjaan itu. Dan aku nggak mau tau tentang biaya hidup kita!” istrinya cuma tersenyum masam.
Begitulah hari demi hari mereka lalui, dengan hidup serba kekurangan. Dan priyo masih tak henti-hentinya berlaku sebagai pemuja betis istrinya. Senan ia rela hidup demikian pun karena betis isterinya. Priyo lantas membicarakan hal itu kepada istrinya.
“Bagaiman kalau betismu itu kita asuransikan?” Tanyanya suatu malam ditempat tidur, sembari dipandanginya betis istrinya sepuas-puasnya. Isterinya itu hanya melihat, tak peduli pada Priyo. Lalu membalikkan badanya membelakangi suaminya.
“Aku sungguh-sungguh, siapa tahu terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan yang terjadi dengn betismu, maka kita toh harus sedia payung sebelum hujan?”
Istrinya lagi-lagi terdiam. “Sekarang sudah jamak orang mengasuransikan tubuhnya. Artis idolamu itu, si Marimar, seluruh bagian tubuhnya sudah diasuransikan, bahkan sekadar kedipan mata pun, sekarang ikut-ikutan diasuransikan,” jelas priyo antusias.
Istrinya tetap diam tak peduli. “Terserah,” jawabnya pendek. Lalu kembali memejamkan mata. Maka Priyo pun segera mengasuransikan betis istrinya. Biaya awal ia pinjam dari seorang rentenir dengan bunga yang teramat tinggi. Tapi priyo tak peduli, baginya segalanya akan dia pertaruhkan demi betis istrinya. Toh ketenangan hidupnya tak mampu jua terwujudkan, sebab hutang pada rentenir itupun semakin tinggi bunganya hari demi hari, sementara ia pun belum mendapat pekerjaan. Priyo menjadi pusing tujuh keliling.
Setiap hari ia selalu terpaksa bersenbunyi karena Body Guard rentenir itu terus memburunya. Istrinya pun kerap mengadu bahwa ia selalu diancam oleh para anak buah rentenir itu jika tidak segera melunasi hutangnya. Akhirnya Priyo memutuskan untuk lari keluar kota, ia pesan kepada istrinya untuk mengatakan bahwa Priyo sedang bekerja di luar kota, demi melunasi hutangnya.
Akhirnya suatu hari, selesai dari tempat persembunyianya, Priyo pulang kerumah. Didapatinya rumahnya kosong, istrinya yang biasa menunggunya dirumah kini tak terlihat. Priyo menuju meja makan, ada tudung saji di situ. Ah, seketika Priyo lega, sebab istrinya pasti di rumah, sebab ia toh menyiapkan makan buatnya. Dibukanya tudung saji pelan. Priyo terbelalak, di sebuah piring panjang, ada sebuah betis teronggok kaku. Betis itu sudah penuh dengan warna merah darah. Priyo ternganga, apalagi setelah membaca selembar surat di atas betis itu.
“Inilah cintamu padaku, diriku yang kamu cinta, dan juga hidangan makan kita, mas. Dan dengan ini pula, kau bisa melunasi hutangmu di rentenir, ambilah uang asuransinya…”
Pipiek Isfianti
Penulis adalah alumni SKM Amanat
*Cerpen tersebut pernah dimuat Tabloid SKM Amanat edisi Desember 1997