Ketika pesawat menembus awan pekat hendak melandas di dataran Hamburg, terdengar mengalun lembut di langit-langit instrumental “Norwegian Wood” oleh The Beatles. Musiknya menarik perhatian seorang pria berusia 37 tahun yang duduk di salah satu bangku pesawat. Mendengarkannya membuat ia terkenang pada pemandangan 18 tahun silam, masa-masa remaja dengan cinta pertamanya.
Begitulah permulaan novel yang dinamai sama dengan salah satu lagu The Beatles, Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Terbit pertama kali pada tahun 1987, novel ini memiliki tokoh utama bernama Toru Watanabe. Ia merupakan seorang mahasiswa, pekerja paruh waktu di toko piringan hitam dan pelayan restoran Italia. Sebagian besar alurnya bercerita tentang kehidupannya yang muram sepeninggalan seorang sahabat, Kizuki yang bunuh diri secara tiba-tiba dan tanpa meninggalkan alasan apa pun.
Pasca kematian Kizuki, semacam rasa senasib membuat Watanabe mulai dekat dan mencintai mantan pacar Kizuki, Naoko. Keduanya hidup di suatu tempat di Tokyo sambil menghadapi masa-masa menuju dewasa yang kusut.
Perjalanannya berkembang ketika Naoko yang mengidap penyakit mental harus pergi ke sanitorium dan kehadiran Midori sebagai dikotomi Naoko dalam kehidupan Watanabe. Walau kehidupannya tak lepas dari kekacauan, Midori penuh keceriaan, optimis, simbol dari kehidupan, dan tak terpengaruh oleh masa lalu.
Meskipun Norwegian Wood dapat disebut sebagai novel bergenre romance, serangkaian cerita yang dibangun tidak membuat pembacanya berbunga-bunga. Haruki Murakami menyajikan kompleksitas krisis individual dan interpersonal. Bagaimana seseorang bertumbuh dewasa, merasakan bahagia dan kesedihan, kehilangan, kesepian, cinta, penyakit mental, hingga pergaulan bebas. Namun, terlepas dari perasaan itu, tokoh-tokoh di dalamnya tetaplah seorang mahasiswa biasa.
Dalam proses dewasanya, Watanabe diasuh oleh bayang-bayang kematian orang terdekatnya. Baginya, kematian menjadi suatu hantu yang bergentayangan sekaligus tanpa sengaja diromantisasi. Semenjak kematian Kizuki, Naoko yang terjerembap dalam kesedihan mendalam, Watanabe menganggap rasa kehilangan menjadi matinya sebagian dari hidupnya.
Kematian sederhananya seperti pemutus kelezatan duniawi, atau akhir dari kehidupan fisik. Mengetahui bahwa setiap yang hidup pasti akan mati, spirit menjalani kehidupan dengan bahagia bersama orang terkasih dianggap sebagai siklus normal kebanyakan orang.
Jika dilihat secara konseptualisasi metaforis, kematian tentunya memiliki interpretasi yang beragam. Pemaknaannya pun tergantung pada sosial dan psikologis seseorang. Tidak terbatas sebagai akhir atau sebuah awal dengan bentuk eksistensi lain, kematian juga dimaknai sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri. Seperti tokoh utama yang sampai pada keinginannya untuk tetap hidup, tapi ia tetap merawat kematian dalam separuh hidupnya. Hal ini menjadi sebuah paradoks dalam hidup, tetapi membuatnya semakin dekat dengan caranya dalam mengungkapkan kepedihan.
“… Aku tanpa daya, tak bisa pergi ke mana pun, dan kesedihan menjadi kegelapan yang pekat membungkusku.” (h. 397)
Eksplorasi Misoginis
Tema besar yang diangkat Murakami dalam novel Norwegian Wood memang tidak lucut dari kehidupan, kematian, dan perjuangan setiap tokoh untuk mencapai kesembuhan. Namun, alurnya seringkali—yang saya rasa—menjadi berantakan. Seperti ketika melakukan upacara pemakaman, Watanabe dan teman baiknya, Reiko tiba-tiba melakukan persetubuhan. Atau Midori yang sekonyong-konyong melakukan improvisasi dengan topik vulgar bersama lelaki tanpa merasa canggung.
Ketidakteraturan itu di balut dengan adegan-adegan seks dan dihidangkan sebagai sebuah simbol dari kerinduan, keintiman, dan pelepasan secara fisik untuk apa yang gagal diungkapkan melalui kata.
“Sambil kupeluk tubuhnya, sebenarnya aku ingin menjelaskan kepadanya, … ini semua tidak bermakna apa-apa. Terjadi atau tak terjadi pun bukan masalah, karena ini penyatuan tubuh semata kita hanya saling menceritakan sesuatu yang tak bisa dituturkan tanpa menyatukan tubuh kita yang semata-mata tidak sempurna.” (h. 195)
Dengan sangat detail Murakami mengobral keberadaan perempuan sebagai objek seksual, lesbi, dan seks bebas. Murakami secara tak langsung juga menyampaikan pendapat Simon de Beauvoir dalam bukunya Second Sex (1949) tentang kritik terhadap pandangan bahwa perempuan akan memiliki sifat psikologis yang tetap dan melalui seks, perempuan ditentukan berdasarkan kondisi biologisnya. Seolah membuat antitesis, dalam kasus ini Haruki Murakami hanya ingin menyampaikan bahwa interaksi seksual yang demikian dapat mendukung proses pemulihan psikologis secara positif.
Perempuan pada novel ini, dalam perspektif tokoh utama seperti kesatuan reduktif yang menjadi representasi reflektif bagi dirinya karena membutuhkan kelegaan untuk tetap bertahan hidup. Karena hampir keseluruhan di dalam novel, alegori hubungan intim dilukiskan tanpa ada keseimbangan antara pihak lelaki dan perempuan.
Naoko dalam salah satu contohnya dijadikan sebagai objek pemuas nafsu Watanabe. Atau tokoh Midori yang memiliki keegoisan dengan hasratnya, memanipulasi, menggoda, dan menjerumuskan Watanabe pada kondisi yang kaku.
Eksploitasi perempuan yang dinarasikan oleh Murakami dalam novelnya juga ditunjukkan melalui pengalaman seksual yang tanpa adanya konsensual. Tragedi tersebut kemudian beresonansi menjadi sebuah trauma kronis yang mengakar pada diri korban.
Namun, jika kita melihat latar cerita yang dibangun pada tahun 1960-an di Jepang, budaya serta struktur sosial saat itu masih sangat patriarkial. Walaupun Jepang tengah berjalan menuju masa keemasannya secara ekonomi kala itu, kesetaraan gender tidak signifikan tersentuh dan masih banyaknya pembatasan-pembatasan bagi kaum hawa.
Modernisasi ekonomi Jepang melahirkan sifat individualisme dan pengaruh besar kapitalisme. Dampaknya, kepedulian terhadap sosial membuat angka pernikahan dan kelahiran menurun. Peran laki-laki dianggap menjadi tolok ukur perubahan di ruang publik sementara ruang gerak perempuan kerdil di bawah kaki laki-laki.
Premis seperti ini sangat mungkin terjadi melihat bagaimana nilai-nilai sosial pada saat itu jauh berbeda dengan sekarang ini. Barangkali Murakami ingin menggambarkan bagaimana pada era itu, misoginis yang tinggi menjadi suatu ironi.
Membangun karakter dengan musik dan sastra
Perhatian Murakami pada jalan ceritanya dirawat dengan menatah unsur-unsur cerita secara rinci. Misal ketika membicarakan seseorang minum teh, Murakami akan mendeskripsikannya hingga pada cara tokoh memegang cangkirnya. Sama halnya seperti adegan Watanabe mencukur kumis yang diulang berkali-kali. Meski hal ini dapat berarti sesuatu, penyampaian yang bertele-tele cenderung memberikan kesan bosan dan kehilangan fokus pembaca pada konteks cerita.
Meskipun demikian, penceritaan yang dibawakan Murakami tidak menampakkan kehadiran emosi secara gamblang. Alih-alih dibuat yang meledak-ledak, kemarahan dan kebahagiaan disajikan dengan sangat hati-hati melalui kalimat-kalimat puitis dan melankolis, lambat dan terdeskripsi dengan sangat realistis.
“Aku menutup mata dan beberapa saat menenggelamkan diri dalam kegelapan yang ada dalam ingatanku. Bunyi angin terdengar lebih jelas daripada biasanya. Meskipun angin tidak bertiup kencang, tetapi berhembus di sekitar tubuhku meninggalkan bekas yang jelas dan aneh. Ketika kubuka mata, kegelapan malam musim panas sedikit lebih pekat.” (h. 67)
“Di mataku bunga sakura di kegelapan musim semi terlihat seperti daging busuk yang menyembul dari kulit yang meradang. Halaman sesak oleh bau amis busuk dan berat daging-daging itu. …Di kamar pun dilanda aroma musim semi itu. Aroma musim semi menyelimuti semua permukaan bumi. Tetapi, sekarang yang ditautkannya kepadaku melulu bau busuk. Di dalam kamar yang gordennya tertutup rapat itu, aku mengutuk musim semi…” (h. 359)
Ciri khas Murakami yang lainnya juga ada pada referensi musik dan sastranya. Seperti yang dijelaskan di atas, Norwegian Wood diambil dari salah satu judul lagu The Beatles.
“I once had a girl,”
“or should I say she once had me”.
Dua baris pertama pada liriknya secara implisit seperti merangkum hubungan Watanabe dan Naoko. Watanabe yang disetir oleh rasa cintanya terhadap Naoko yang tak membalasnya.
Beberapa hubungan platonik maupun romantis juga di simbolisasi melalui musik-musik jazz klasik hingga rock folk yang populer pada tahun 1960-an. Seperti karya-karya John Coltrane, Miles Davis, Theonilus Monk, Rolling Stone, Beatles, dan lainnya.
Begitu pun karena Watanabe adalah seorang kutu buku, yang selalu membawa The Great Gatsby di tasnya, atau Beneath the Whell buku masa kecil yang dibacanya kembali di toko buku Kobayashi milik Keluarga Midori, War and Peace, dan banyak lagi.
Melihat bagaimana cara Murakami bermain dengan filosofi dan metafora, ia pasti mampu menggambarkan suatu karakter melalui hal detail seperti buku dan musik favorit sang karakter. Hal ini dilakukannya sebagai bentuk pengembangan setiap tokoh, menavigasi tujuan hidup dan makna-makna yang tersembunyi melalui diksi dan bait lirik.
Identitas Buku:
Judul: Norwegian Wood
Penulis: Haruki Murakami
Penerjemah: Jonjon Johana
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun Terbit: Desember 2021 (cetakan ke-18)
Hal: 426 hlm.
Resentator: Eka Rifnawati