
Yasraf Amir Piliang merupakan filsuf Indonesia yang aktif mengkaji topik sosial budaya. Kendati berlatar belakang bidang seni, Yasraf telah menelurkan buah pikirnya tentang Filsafat dalam 19 buku, salah satunya Dunia yang Berlari.
Perkembangan teknologi telah mewadahi hasrat manusia untuk menciptakan, mengembangkan, dan memperbarui. Teknologi berkembang begitu cepatnya sehingga sebagian manusia urban harus terseok untuk mengikuti. Dunia terus melaju, meninggalkan manusia-manusia di dalamnya yang terus lari di tempat; bak sekumpulan hamster yang terus dipacu berlari, tanpa berpindah tempat sama sekali.
Dunia yang berlari menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, pelbagai inovasi memudahkan kehidupan manusia. Di sisi lain, menjadi bumerang karena membawa manusia pada titik kehancuran berupa puncak ekstasi: halusinasi, kegilaan, tekanan, dan kepanikan. Manusia berada di titik “ketidakpuasan abadi”, berupaya mencapai lebih dan lebih lagi.
Terkikisnya Keimanan dan Moralitas
Kegilaan yang diciptakannya sendiri, telah membuat manusia menganggap dirinya tidak lagi membutuhkan Tuhan dan agama. Kemampuan manusia dalam menciptakan arus modernitas juga menciptakan persepsi bahwa Tuhan dan agama hanyalah takhayul dan terbelakang.
Di dalam cyberspace setiap orang dipersilakan memilih versi ‘Tuhan’-nya sendiri, sesuai dengan keinginan dan seleranya masing-masing. [77] Tak terkecuali menuhankan teknologi—yang dirasa lebih mampu memudahkan pekerjaan dan menjanjikan keuntungan. Dengan beragama teknologi, manusia tidak lagi dibatasi oleh berbagai aturan dan doktrin tertentu.
Keyakinan macam ini adalah kata lain dari keangkuhan manusia, bahwa kekuatan akal budi manusia diklaim dapat “melampaui” kemampuan Tuhan itu sendiri. [393]
Akibatnya, nilai moral ikut terkikis. Masyarakat kontemporer terperangkap dalam moral chaos, sebuah kondisi ketika tidak ada lagi batas antara benar-salah, baik-buruk, halal-haram. Media turut berperan mewadahi kegalauan moral ini. Kebodohan dipertontonkan dengan penuh kebanggaan, kehinaan diproduksi, bahkan tak sedikit pula yang menyajikan kesadisan dalam narasi penuh percaya diri. Selanjutnya, kegalauan moral memicu lenyapnya identitas.
Masifnya teknologi membuat manusia bebas tampil di jagat maya dengan identitas baru, palsu, ganda—bahkan jamak. Manusia dapat menjadi apapun dan siapapun. Konsep anonimitas kian memberi kebebasan kepada manusia dalam meleburkan batas-batas rahasia dan privasi. Segalanya dibuka, diciptakan, diproduksi, dipertontonkan, bahkan dijual tanpa adanya moral dan kultural yang membentengi.
*
Dalam Dunia yang Berlari, Yasraf mengupas tuntas paradoks-paradoks yang dialami masyarakat kontemporer. Pembahasan terbagi dalam tiga babak, yang kemudian dipecahkan lagi menjadi 23 bab. Babak “Dromologi” berisi perubahan dan perkembangan dunia yang kian pesat demi memenuhi nafsu manusia di dalamnya. Nafsu-nafsu itulah yang mengantarkan manusia pada imoralitas dan individualitas.
Babak “Implosi” menjabarkan meledaknya kecenderungan manusia dalam bermedia sosial sebagai jantung kehidupan, hingga meninggalkan asas-asas spiritual dan realitas. Kapitalisme, konsumerisme, dan kekuatan media dalam menyetir arus sosial menjadi identitas lakon dalam babak Implosi.
Dan dalam babak terakhir, “Fantasmagoria” lebih fokus menguliti posisi Tuhan pada masa ini. Masihkah Tuhan dibutuhkan saat makhluk-Nya berorientasi pada angka dan euforia? Saking gilanya, manusia bahkan melakukan berbagai upaya untuk menyangkal kematian—salah satu takdir tak terelakkan.
Tema yang dibahas relevan dengan kehidupan manusia saat ini yang telah dikendalikan oleh ego dan libido. Ulasan Yasraf dapat dijadikan pegangan agar manusia tidak tersesat dalam “ketidakpuasan abadi”, tanpa menanggalkan nilai moral dan kultural.
Seperti buku Filsafat pada umumnya, bagian awal Dunia yang Berlari cukup sulit dipahami oleh orang awam. Namun, seiring lembar demi lembar terlewat, kita dapat dengan mudah memahami isi tulisan. Kabar baiknya, Yasraf (dan tim redaksi) menyediakan glosarium pada awal buku untuk memudahkan pembaca menemukan makna kata. Terdapat beberapa pembahasan yang diulang-ulang pada bab selanjutnya. Di satu sisi, pengulangan ini dapat menguatkan pemahaman pembaca akan konsep tertentu, tetapi di sisi lain dapat membuat bosan.
Identitas Buku:
Judul: Dunia yang Berlari: Dromologi, Implosi, Fantasmagoria
Penulis: Yasraf Amir Piliang
Penerbit: Aurora
ISBN: 978-602-6645-33-3
Tahun: 2017, cetakan kedua
Tebal: 424 halaman
Kategori: Filsafat
Resentator: Rizkyana Maghfiroh