Gelap dan kacau.
Dua kata itulah yang terlintas selama saya membaca buku Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu. Dari sebelas cerpen yang ditulis dalam kurun 1999-2002, sebagian besar membahas tentang seks—kecuali “Waktu Nayla”, “Namanya, …”, dan “Asmoro”. Mulai dari pelecehan seksual, seks bebas, hingga fetis pada buah durian khayalan.
Selain tentang seks, mayoritas tokohnya juga dikisahkan memiliki gangguan mental, sehingga sukses membikin kepala pening saat membaca. Djenar seolah tidak memberi kesempatan pada kehidupan yang damai dan bahagia dalam karyanya.
Pada cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet!” agaknya Djenar mencoba mengkritik golongan orang munafik yang berlagak suci di hadapan publik, padahal tetap melakukan hal-hal buruk dalam kesunyian. Hal tersebut ditunjukkan melalui tokoh utama yang disebut “Monyet” dan tidak berakal oleh rekan-rekannya.
Namun, saya justru melihat bahwa si tokoh utama (Monyet) tak ada bedanya dengan yang lain. Meski terkesan lugu, cacian dan hinaan dari para rekan tersimpan dalam ruang bawah sadarnya. Ia juga mencela orang lain, menyamakannya dengan berbagai binatang, menilai bahwa dirinya lebih baik sedangkan orang lain bejat. Bedanya, ia hanya berani mengutarakan kebenciannya hanya dalam batin dan isi kepala. Di hadapan yang lain, ia tetap menampakkan sosok polos tiada daya. Pengecut.
Percuma bicara kepada seseorang—atau tepatnya makhluk—yang senang dan mampu berbohong pada diri sendiri. [h. 7]
Dari cerpen pertama ini saya belajar bahwa pada hakikatnya, baik-buruk itu relatif bergantung pada masing-masing perspektif. Seringkali manusia merasa lebih baik dari orang lain, padahal dia juga melakukan keburukan dalam hidupnya. Manusia selalu fokus pada kebaikan pribadi dan diperbandingkan dengan keburukan orang lain.
Pada cerpen “… Wong Asu” dan “SMS”, Djenar memberikan warna baru. Kedua cerpen tersebut tidak ditulis dalam bentuk narasi, melainkan berupa riwayat pesan singkat (“SMS”) dan dialog dengan minim narasi (“… Wong Asu”). Hanya saja, membutuhkan kejelian ekstra untuk mencerna alur dan penokohan pada cerpen “SMS” yang berisi percakapan beberapa pasutri yang saling selingkuh satu sama lain.
Berbanding terbalik dengan cerpen “Asmoro” dan “Manusya dan Dia” yang full narasi. Namun, atas kepiawaiannya merangkai kata, kedua cerpen tersebut tidak membosankan sama sekali, justru kalimat demi kalimatnya mampu menarik minat pembaca untuk menuntaskan cerita. Pada cerpen “Asmoro”, Djenar seolah menarik perasaan pembacanya dengan narasi yang menggebu.
Setelah kegilaan demi kegilaan, Djenar menutupnya dengan kisah—yang saya asumsikan—gambaran hubungan antara manusia dan Tuhan. Bahwa Tuhan akan selalu bersama kita, seberapapun kita berusaha menjauhinya.
Di sisi lain, Djenar juga mengkritik kebiasaan manusia yang sering mengatasnamakan Tuhan atas keterbatasannya dalam berpikir dan menjawab fenomena sosial.
Segala sesuatu yang tidak dapat terjawab selalu berakhir atas nama Tuhan. Misalnya, mengapa seorang anak bisa jadi bajingan padahal orang tuanya santri? Dijawab itu sudah takdir dari Tuhan. Sebaliknya, jika orang tuanya rusak tapi anaknya begitu baik, dijawab, itulah kuasa Tuhan. Alangkah mudahnya. Tidak adakah penjelasan lain yang lebih memuaskan? Tidak adakah jawaban lain yang lebih masuk akal? Mungkin manusia sudah malas berpikir, pikir Manusya. [h. 114-115]
Imajinasi Tak Selalu Indah
Melalui kesebelas cerpennya, Djenar seolah menampar para pembaca bahwa hidup memang berat dan seringkali memuakkan. Namun, bukan berarti imajinasi lebih indah. Akan tiba masa ketika kita justru merasa sesak dan kecewa akibat imajinasi yang kita bangun sendiri. Terlalu larut dalam memupuk imajinasi sama saja akan menjatuhkan diri sendiri di kemudian hari.
Namun, bagian kurang menyenangkan dari buku ini adalah terlalu banyak—meminjam teori Asma Nadia—serangan “saya”. Bahkan pada halaman 16, terdapat 18 kata “saya” dalam satu paragraf. Dan ini membuat kurang nyaman untuk dibaca dan dinikmati.
Selebihnya, Djenar mampu mengajak pembaca memasuki kegilaannya. Dibuktikan dengan beberapa cerpennya pernah mendapat penghargaan cerpen terbaik dari media nasional. Selain itu, buku ini juga pernah diadaptasi menjadi film dengan judul sama pada 2008 silam.
Biodata Buku:
Judul: Mereka Bilang, Saya Monyet!
Penulis: Djenar Maesa Ayu
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Maret, 2016 (cetakan kesebelas)
ISBN: 978-602-03-2246-9
Kategori: Sastra/Fiksi/Kumcer Dewasa
Resentator: Rizkyana Maghfiroh (Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki)