By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
Amanat.idAmanat.idAmanat.id
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Buku
    • Film
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
  • Cerpen
  • Puisi
Reading: [Resensi Buku] Imajinasi Tak Selalu Lebih Indah dari Realita
Share
Notification Show More
Font ResizerAa
Font ResizerAa
Amanat.idAmanat.id
  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Advertorial
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Kontak
Search
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Buku
    • Film
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
Have an existing account? Sign In
Follow US
Resensi buku mereka bilang saya monyet djenar maesa ayu
Buku Mereka Bilang Saya Monyet! Karya Djenar Maesa Ayu. (Amanat/Izki)
BukuSastra

[Resensi Buku] Imajinasi Tak Selalu Lebih Indah dari Realita

Last updated: 14 Juli 2022 5:28 pm
Rizkyana Maghfiroh
Published: 14 Juli 2022
Share
SHARE
Resensi buku tentang imajinasi
Buku Mereka Bilang Saya Monyet! Karya Djenar Maesa Ayu. (Amanat/Izki)

Gelap dan kacau.

Dua kata itulah yang terlintas selama saya membaca buku Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu. Dari sebelas cerpen yang ditulis dalam kurun 1999-2002, sebagian besar membahas tentang seks—kecuali “Waktu Nayla”, “Namanya, …”, dan “Asmoro”. Mulai dari pelecehan seksual, seks bebas, hingga fetis pada buah durian khayalan.

Selain tentang seks, mayoritas tokohnya juga dikisahkan memiliki gangguan mental, sehingga sukses membikin kepala pening saat membaca. Djenar seolah tidak memberi kesempatan pada kehidupan yang damai dan bahagia dalam karyanya.

Pada cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet!” agaknya Djenar mencoba mengkritik golongan orang munafik yang berlagak suci di hadapan publik, padahal tetap melakukan hal-hal buruk dalam kesunyian. Hal tersebut ditunjukkan melalui tokoh utama yang disebut “Monyet” dan tidak berakal oleh rekan-rekannya.

Namun, saya justru melihat bahwa si tokoh utama (Monyet) tak ada bedanya dengan yang lain. Meski terkesan lugu, cacian dan hinaan dari para rekan tersimpan dalam ruang bawah sadarnya. Ia juga mencela orang lain, menyamakannya dengan berbagai binatang, menilai bahwa dirinya lebih baik sedangkan orang lain bejat. Bedanya, ia hanya berani mengutarakan kebenciannya hanya dalam batin dan isi kepala. Di hadapan yang lain, ia tetap menampakkan sosok polos tiada daya. Pengecut.

Percuma bicara kepada seseorang—atau tepatnya makhluk—yang senang dan mampu berbohong pada diri sendiri. [h. 7]

Dari cerpen pertama ini saya belajar bahwa pada hakikatnya, baik-buruk itu relatif bergantung pada masing-masing perspektif. Seringkali manusia merasa lebih baik dari orang lain, padahal dia juga melakukan keburukan dalam hidupnya. Manusia selalu fokus pada kebaikan pribadi dan diperbandingkan dengan keburukan orang lain.

Pada cerpen “… Wong Asu” dan “SMS”, Djenar memberikan warna baru. Kedua cerpen tersebut tidak ditulis dalam bentuk narasi, melainkan berupa riwayat pesan singkat (“SMS”) dan dialog dengan minim narasi (“… Wong Asu”). Hanya saja, membutuhkan kejelian ekstra untuk mencerna alur dan penokohan pada cerpen “SMS” yang berisi percakapan beberapa pasutri yang saling selingkuh satu sama lain.

Berbanding terbalik dengan cerpen “Asmoro” dan “Manusya dan Dia” yang full narasi. Namun, atas kepiawaiannya merangkai kata, kedua cerpen tersebut tidak membosankan sama sekali, justru kalimat demi kalimatnya mampu menarik minat pembaca untuk menuntaskan cerita. Pada cerpen “Asmoro”, Djenar seolah menarik perasaan pembacanya dengan narasi yang menggebu.

Setelah kegilaan demi kegilaan, Djenar menutupnya dengan kisah—yang saya asumsikan—gambaran hubungan antara manusia dan Tuhan. Bahwa Tuhan akan selalu bersama kita, seberapapun kita berusaha menjauhinya.

Di sisi lain, Djenar juga mengkritik kebiasaan manusia yang sering mengatasnamakan Tuhan atas keterbatasannya dalam berpikir dan menjawab fenomena sosial.

Segala sesuatu yang tidak dapat terjawab selalu berakhir atas nama Tuhan. Misalnya, mengapa seorang anak bisa jadi bajingan padahal orang tuanya santri? Dijawab itu sudah takdir dari Tuhan. Sebaliknya, jika orang tuanya rusak tapi anaknya begitu baik, dijawab, itulah kuasa Tuhan. Alangkah mudahnya. Tidak adakah penjelasan lain yang lebih memuaskan? Tidak adakah jawaban lain yang lebih masuk akal? Mungkin manusia sudah malas berpikir, pikir Manusya. [h. 114-115]

Imajinasi Tak Selalu Indah

Melalui kesebelas cerpennya, Djenar seolah menampar para pembaca bahwa hidup memang berat dan seringkali memuakkan. Namun, bukan berarti imajinasi lebih indah. Akan tiba masa ketika kita justru merasa sesak dan kecewa akibat imajinasi yang kita bangun sendiri. Terlalu larut dalam memupuk imajinasi sama saja akan menjatuhkan diri sendiri di kemudian hari.

Namun, bagian kurang menyenangkan dari buku ini adalah terlalu banyak—meminjam teori Asma Nadia—serangan “saya”. Bahkan pada halaman 16, terdapat 18 kata “saya” dalam satu paragraf. Dan ini membuat kurang nyaman untuk dibaca dan dinikmati.

Selebihnya, Djenar mampu mengajak pembaca memasuki kegilaannya. Dibuktikan dengan beberapa cerpennya pernah mendapat penghargaan cerpen terbaik dari media nasional. Selain itu, buku ini juga pernah diadaptasi menjadi film dengan judul sama pada 2008 silam.

Biodata Buku:
Judul: Mereka Bilang, Saya Monyet!
Penulis: Djenar Maesa Ayu
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit: Maret, 2016 (cetakan kesebelas)
ISBN: 978-602-03-2246-9
Kategori: Sastra/Fiksi/Kumcer Dewasa

Resentator: Rizkyana Maghfiroh (Warga Kampoeng Sastra Soeket Teki)

Raungan Kepedihan
Bising
Jika itu Puisi
Rahasia Sebuah Bungkam
Layu
TAGGED:Buku Mereka Bilang Saya MonyetDjenar Maesa AyuImajinasiKumpulan cerpenresensi bukuresensi skm amanat
Share This Article
Facebook Email Print

Follow US

Find US on Social Medias
FacebookLike
XFollow
YoutubeSubscribe
TelegramFollow

Weekly Newsletter

Subscribe to our newsletter to get our newest articles instantly!
[mc4wp_form]
Popular News
R. Wing Wiyarso Poespojoedho, Melestarikan budaya, UIN Walisongo
UIN WalisongoVaria Kampus

Wing Wiyarso; Menjaga Keutuhan NKRI lewat Pelestarian Budaya

Redaksi SKM Amanat
26 Mei 2023
KKN Berbasis Orda, Seperti Apa?
6 Hal Penting untuk Sukses Jadi Professional Public Relations
HMJ Fisika Kenalkan Metode STEM lewat Workshop
Tingkah Lucu Cak Kirun dalam Puncak Dies Natalis UIN Walisongo Semarang
- Advertisement -
Ad imageAd image
Global Coronavirus Cases

Confirmed

0

Death

0

More Information:Covid-19 Statistics
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Buku
    • Film
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
  • Cerpen
  • Puisi
Reading: [Resensi Buku] Imajinasi Tak Selalu Lebih Indah dari Realita
Share

Tentang Kami

SKM Amanat adalah media pers mahasiswa UIN Walisongo Semarang.

Kantor dan Redaksi

Kantor redaksi SKM Amanat berlokasi di Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Lantai 1, Kampus III UIN Walisongo, Jalan Prof. Hamka, Ngaliyan, Kota Semarang, dengan kode pos 50185

  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Advertorial
  • Kontak
Reading: [Resensi Buku] Imajinasi Tak Selalu Lebih Indah dari Realita
Share
© Foxiz News Network. Ruby Design Company. All Rights Reserved.
Welcome Back!

Sign in to your account

Username or Email Address
Password

Lost your password?