Bertanya adalah tabu, membangkang adalah dosa, kreatif adalah memalukan. Diam adalah emas, penurut adalah membanggakan. Itulah sekolah! [31]
Sekolah Dibubarkan Saja! Dari judulnya saja sudah berhasil memantik provokasi. Terutama bagi mereka yang menganggap sekolah adalah satu-satunya jalan menuju masa depan; mesin yang melahirkan generasi bernas nan membanggakan. Tentu saja Chudiel memilih judul tersebut bukan sebatas clickbait, meski ia berharap kumpulan esainya dibaca khalayak. Lebih dari itu, Chudiel mengajak kita melihat sisi lain “sekolah” yang jarang diperhatikan; mendiskusikan perlbagai polemik pelik dalam dunia pendidikan.
Chudiel membukanya dengan kisah Rio, sahabat kecil asal Nagari Singgalang yang “beruntung” karena berhenti sekolah. Rio yang akhirnya terbebas dari berbagai teori, hafalan, dan tuntutan PR yang sama sekali tidak berkaitan dengan kehidupannya.
Ia dan anak Nagari Singgalang lain yang nantinya akan bekerja di kebun dan ladang lebih membutuhkan tata cara menanam dan merawat tanaman, teknik pengairan, cara menghilangkan hama, inovasi olahan hasil panen; daripada teorima pitagoras, hafalan nama raja-raja di seantero Nusantara, atau teknik lompat kodok yang benar.
Setelah belasan tahun aku sekolah, aku merasa terlalu banyak yang mubazir. Hanya sedikit sekali hubungan pendidikan yang aku dapat di sekolah dengan hidup yang aku jalani saat ini. Di sekolah aku belajar tentang hal-hal yang aneh dan ini semua keinginan sekolah, bukan keinginan dan kebutuhanku. Dua belas tahun aku merasa terjebak dalam institusi pendidikan hanya untuk mendapatkan ijazah. [18]
Apakah semua siswa lebih baik berhenti sekolah, seperti Rio? Tentu saja tidak. Para orang tua, berbekal secercah harapan dan segenggam tabungan menitipkan anaknya kepada guru-guru di sekolah. Mereka diberi janji, beberapa tahun ke depan anaknya akan menjadi “orang”, berprestasi, dan membanggakan. Janji yang senantiasa digantungkan di depan mata, sebagai pelita sekaligus bahan bakar manakala semangat berjuang redup perlahan. Namun, apa yang terjadi?
Sekolah selama belasan tahun nyatanya tidak mampu membekali lulusannya dengan pengetahuan dan keterampilan yang konkret dan aplikatif. Sejak SD hingga sekolah menengah, para siswa hanya dijejali hafalan teori (minim praktik), dihantui momok ujian setiap akhir semester, direnggut hak bermain dan mengembangkan diri, demi selembar ijazah. Itu pun belum tentu bisa membantunya bertahan hidup.
Paradoks Fungsi Pendidikan
Pada halaman 21–30, Chudiel memberi kritik pedas atas “gagalnya” sekolah dalam mendidik para siswanya. Pada sore atau malam hari, siswa masih harus pergi ke tempat bimbingan belajar (bimbel). Alasannya, guru les di bimbel lebih mampu memudahkan anak memahami pelajaran.
Fenomena menjamurnya bimbel di berbagai sudut kota—bahkan sudah sampai desa—menimbulkan pertanyaan: Lantas, apa fungsi sekolah jika anak (siswa) masih harus mencari alternatif di tempat lain? Hal ini pula yang menjadi latar belakang pemilihan judul buku: Sekolah Dibubarkan Saja!
Pada bab 3 dan 5, Chudiel masih membahas gagalnya institusi formal dalam mencerdaskan anak bangsa. Kecurangan-kecurangan yang “lazim” terjadi saat musim Ujian Nasional (UN)—bahkan sudah tampak saat ulangan harian. Mulai dari bocornya soal ujian, memaksa si ranking pertama meninggalkan kertas berisi jawaban di kamar mandi, bahkan tak jarang pihak sekolah juga ikut terlibat.
Suatu kondisi yang bertolak belakang dengan fungsi Pendidikan Nasional menurut UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Cara apapun senantiasa dilakukan, asal predikat “sekolah terbaik” tetap terjaga.
Pada tahun ajaran saat ini, kasus kecurangan tersebut memang tidak relevan. Mengingat kemendikbud telah menghapus UN dan menggantinya dengan Asesmen Nasional. Namun, tidak menutup kemungkinan sistem dan kurikulum akan berganti (lagi). Toh, kalaupun tidak akan pernah ada UN lagi, bukan berarti bibit korupsi seperti ini lenyap begitu saja.
Sistem Kasta di Sekolah
Entah sejak kapan sistem kasta jurusan berlaku di sekolah menengah atas. Anak yang masuk jurusan IPA berarti pintar, jurusan IPS nakal dan biang onar, jurusan Bahasa yang paling terbelakang. Padahal, setiap jurusan memiliki prospeknya masing-masing.
Sistem kasta ini telah merugikan banyak pihak, terutama siswa dan orang tua. Banyak orang tua yang menginginkan anaknya masuk IPA agar bisa dibanggakan, tak acuh pada minat dan passion anak. Banyak hak pilih anak yang terampas karena berbagai alasan: malu masuk jurusan selain IPA, tuntutan orang tua, ikut-ikut teman, atau korban penjurusan berdasarkan nilai rapor.
Sekolah mengambil hak mereka untuk menentukan pilihan mereka, dan merampas hak untuk didengarkan. Sekolah telah menciptakan sebuah sistem yang membuat siswa seolah-olah sadar dengan pilihan mereka. Tapi pada kenyataannya, sekolah telah membunuh mereka. Membunuh mimpi-mimpi dan cita-cita tentang indahnya dunia. [61]
Bentuk lain sistem kasta di sekolah adalah kekuasaan para kapitalis. Pada halaman 83–89, Chudiel menyuarakan jeritan hati orang tua dengan kondisi ekonomi rendah. Yang terbebani dengan biaya SPP, uang gedung, seragam, buku LKS dan paket yang begitu banyak dan diganti setiap semesternya, serta peralatan dan perlengkapan sekolah yang harus dibeli tiap tahun ajaran baru.
Pada bab 7, Chudiel juga menuliskan keresahan hatinya menyaksikan anak-anak di Gunung Cerek yang memilih mengubur mimpinya. Bahkan, menurut pengakuan beberapa anak, mayoritas dari mereka tidak bermimpi menempuh pendidikan tinggi. Mereka lebih senang menjadi pramuniaga atau menikah di usia muda daripada sekolah yang harus mengorbankan banyak waktu, tenaga, dan biaya.
*
Opini dan kritik yang disampaikan Chudiel memang terkesan terlalu menyudutkan sekolah dan seluruh pihak yang terlibat di dalamnya. Namun, masyarakat perlu tahu borok dunia pendidikan yang terus menganga dan nyaris sulit disembuhkan, tetapi selalu ada upaya menyembunyikan.
Kritik yang disampaikan Chudiel dalam 9 bab memang tidak disertai saran. Kritik dengan saran memang menguntungkan, tetapi kritik tanpa saran bukan berarti kesalahan atau omong kosong belaka.
Dalam KBBI pun, kata kritik berarti (n) kecaman atau tanggapan, atau kupasan kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Artinya, sebuah kritik tidak harus selalu disertai uraian dan pertimbangan (saran). Justru seharusnya pihak yang dikritiklah yang berusaha mencari jalan keluar.
Satu-satunya kalimat yang menjurus ke saran adalah pada halaman 29—itupun sebenarnya celetuk dari salah seorang anggota komunitasnya yang masih SMA saat membahas bimbel.
“Dinas Pendidikan tinggal menyediakan layanan ujian saja, sedangkan untuk mencari ilmu biarkan kami mencari di mana saja yang kami suka,” … [29]
Gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari, tidak baku, dan fleksibel. Saat dibaca tidak terlalu kaku dan serius. Namun, sering ditemui kalimat yang terlalu panjang, tidak efektif, kesalahan ejaan dan tanda baca, serta tipo.
Biodata Buku:
Judul: Sekolah Dibubarkan Saja!
Penulis: Afdillah Chudiel
Penerbit: CV Jalan Baru
Tahun Terbit: 2019 (cetakan kedelapan)
ISBN: 978-623-90739-0-9
Kategori: Nonfiksi
Ukuran: xxii, 159 hlm
Resentator: Rizkyana Maghfiroh