Nama Kalis Mardiasih tak lagi asing di telinga kawula muda. Penulis muda asal Blora tersebut aktif menuliskan keresahannya akan fenomena sosial seputar Islam sehari-hari dan ketimpangan gender di media sosial.
Beberapa tulisan Kalis dipublikasikan pada media nasional dan memiliki rubrik khusus di kanal Mojok.co. Atas pengalamannya dalam menulis, ia juga menerbitkan sejumlah buku, salah satunya Hijrah Jangan Jauh-Jauh, Nanti Nyasar!
Sebagian besar buku ini berisi pandangan dan kritik Kalis atas fenomena “hijrah” yang kian marak digandrungi kawula muda dan selebriti ternama. “Hijrah” di sini dimaknai sebagai perubahan kehidupan seseorang dari yang mulanya sering berbuat kesalahan, jauh dari nilai-nilai agama, atau bahkan penganut kepercayaan agama selain Islam; menjadi seseorang yang religius dan merasa dirinya paling dekat dengan Allah dan Rasulullah. Memang hal tersebut seharusnya menjadi hal positif, jika dilakukan dengan benar.
Namun, dalam praktiknya, orang-orang yang berhijrah ini seringkali terlalu ekstrem, fanatik, dan narsistik. Mereka menganggap dirinya paling suci dan telah menempuh jalan yang benar, sehingga merasa berhak melabeli orang lain dengan kata dan kalimat negatif.
Orang lain yang menurutnya berbuat dosa, dengan mudah dilabeli kafir, calon penghuni neraka, iblis, dan kosakata tak pantas lainnya. Padahal, sebagai seseorang yang paham agama seharusnya mereka menunjukkan kesucian agama Islam, bukan mempertontonkan sikap yang justru mencoreng nama baik Islam itu sendiri di mata publik.
Ketika seorang ekstremis melangsungkan ego penuhanan diri, ia meneriakkan takbir. Ia menjustifikasi lafaz Allahu Akbar untuk melakukan kejahatan kemanusiaan. Dalam skala kecil, mereka yang memaklumi peristiwa penghilangan nyawa dengan alibi pembelaan agama, telah mengawali pemikiran itu dengan gemar memboikot, meliyankan orang lain, dan menolak tata sosial kemanusiaan. [h. 107]
Pasalnya, fenomena hijrah ekstrem ini terjadi akibat minimnya literasi dan anggapan bahwa cukup belajar agama dari media sosial (khususnya YouTube dan Instagram) tanpa datang dan menghadap langsung dengan guru yang kompeten, serta tanpa menyaring dan mengonfirmasi kebenaran informasi yang diterima.
Yang lebih miris, ustaz-ustaz yang kontennya diminati itu mayoritas hanya menebarkan kebencian, menumbuhkan sikap intoleransi jemaahnya melalui doktrin, menggunakan ayat-ayat Islam untuk membenarkan kejahatan yang dilakukan, serta hanya menyampaikan dalil tekstual—itupun belum tentu lengkap—tanpa mengkaji secara kontekstual dan relevan dengan masalah umat saat ini.
… bahwa agama harus menjadi sesuatu yang bersifat progresif dan mengerti zaman, bahwa Alquran adalah nilai yang tak lekang zaman, tetapi Muslim harus senantiasa memperbaharui poka pikir dan kiprahnya sesuai zaman. [h. 153]
“Hijrah” vs Beragama secara Sederhana
Selain mengkritik, Kalis juga menyajikan sisi lain kehidupan beragama yang jarang terekspos dan luput dari pandangan kaum ekstremis. Seperti kisah Pak Wanto yang mengharapkan momen malam tahun baru sebagai pintu rezeki melalui penjualan terompet, tetapi di sisi lain banyak orang yang berdoa hujan deras mengguyur malam tahun baru agar tidak terjadi perayaan mubazir dan bid’ah.
Atau kisah Marlina, seorang TKI yang kehidupannya jauh dari pengamalan nilai-nilai agama, tetapi terdapat ketulusan bakti dalam dirinya untuk membantu perekonomian orang tua. Ada pula kisah Bapak yang terlihat tidak tertarik untuk terlibat dalam menyelesaikan konflik perang negara Islam, tetapi teguh mengajarkan a-ba-ta dan ajaran dasar agama Islam bagi warga sekitar.
Melalui 35 esainya, Kalis mengomparasikan kehidupan Muslim yang sederhana dengan fakta bahwa Islam yang semakin mendekati jurang kehancuran akibat ulah para ekstremis hijrah.
Kalis tidak hanya melontarkan kritik, tetapi juga menyuguhkan keberagaman hidup beragama umat Islam di Indonesia yang dapat dijadikan pelajaran bahwa terkadang, kita hanya perlu hidup beragama secara sederhana, tanpa perlu neko-neko dengan berdalih membela kepentingan umat nun jauh di sana, padahal di negaranya sendiri ia sedang melanggengkan kejahatan kemanusiaan.
Kalis juga menawarkan kehidupan beragama sebagaimana anak-anak—yang hanya berorientasi pada hubungan sosial, tanpa memandang perbedaan latar belakang yang dapat memicu perpecahan; anak-anak yang gemar berbagi, percaya diri, dan tidak memendam kebencian dalam hati.
Gaya bahasa yang digunakan termasuk mudah dipahami dan minim kesalahan ejaan. Namun, beberapa kali Kalis menyelipkan kosakata bahasa Jawa tanpa terjemahan yang belum tentu dipahami pembaca. Terdapat pula kosakata yang bagi sebagian orang barangkali dapat menimbulkan ketidaknyamanan, seperti silit, jembut, Cuk, dan asu.
Terlepas dari itu, buku ini tetap cocok dinikmati dan sebagai pengingat agar tidak berlebihan dalam melakukan dan menyikapi suatu hal.
Poin plus lainnya, Kalis menulis sebagian isi buku ini berdasarkan pengalamannya yang pernah ‘tersesat’ sebagai salah satu ekstremis hijrah. Sehingga ia tak hanya membual, tetapi tahu betul yang menjadi persoalan objek yang ditulisnya.
Biodata Buku:
Judul: Hijrah Jangan Jauh-Jauh, Nanti Nyasar!
Penulis: Kalis Mardiasih
Penerbit: Buku Mojok
Tahun Terbit: 2021 (cetakan kedelapan)
ISBN: 978-623-7284-14-7
Kategori: Nonfiksi (15+)
Ukuran: xiii + 210 hlm.
Resentator: Rizkyana Maghfiroh