Siapa yang tak mengenal Pramoedya Ananta Toer? Sastrawan Indonesia yang sukses menyabet belasan penghargaan bertaraf internasional. Bersamaan dengan jalan kehidupan yang separuhnya dilalui dari satu penjara ke penjara lain, Pramoedya telah melahirkan karya-karya bernuansa perjuangan dan kemanusiaan.
Salah satunya buku Bukan Pasarmalam, yang pernah dilarang pada 30 November 1965 dan sekaligus pernah dialihbahasakan dalam beberapa bahasa asing: It’s not An All Night Fair (bahasa Inggris), Mensch Für Mensch (bahasa Jerman), La Vie N’Est Pas Une Foire Noctume (bahasa Perancis), dan Een Konde Kermis (bahasa Belanda).
Bukan Pasarmalam berkisah tentang seorang eks-veteran asal Blora yang tengah menunggu ajal bersama penyakit TBC yang menggerogoti paru-parunya. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk mengabdi; memperjuangkan kemerdekaan dan menjadi tenaga pendidik yang membukakan jalan bagi ratusan hingga ribuan putra-putri bangsa.
Dulu ia mengajar. Dan telah beribu-ribu murid dibukakan jalannya. Dulu ia giat memperjuangkan tercapainya kemerdekaan bangsanya: selama tigapuluh tahun. Dan kini, belum lagi setahun kemerdekaan tercapai, ia sudah tak digunakan lagi oleh sejarah, oleh dunia, dan oleh manusia. Dan seperti kami juga, dulu ia pun pernah mengalami ketakutan, kesengsaraan, kesenangan, dan segala perasaan lain yang ada dalam tubuh manusia. Tapi semua itu kini sudah mati baginya. [99]
Namun, nasib nahas justru menimpanya. Ia harus menelan kecewa karena situasi pasca kemerdekaan yang ia sebut ‘bobrok’. Para gerilyawan yang dahulu berjuang bersamanya, kini hanya sibuk berebut kursi menjadi petinggi negeri. Kekecewaan itu pula yang mengantarnya pada brankar rumah sakit. Agaknya, benarlah ungkapan bahwa penyakit yang datangnya dari pikiran lebih menyengsarakan dibanding penyakit medis.
“… Ayah Tuan jatuh sakit oleh kekecewaan—kecewa oleh keadaan yang terjadi sesudah kemerdekaan tercapai. Rasa-rasanya tak sanggup lagi ia melihat dunia kelilingnya yang jadi bobrok itu—bobrok dengan segala akibatnya. … kala kemerdekaan telah tercapai, mereka itu sama berebutan gedung dan kursi. … Segala kekecewaannya itu direndamnya saja di dalam hatinya. Tapi akibat yang sangat besar tak diduganya akan menimpa dirinya.” [102]
*
Roman yang terbagi menjadi 16 bab ini cukup ‘ringan’ dibanding karya Pramoedya lainnya, seperti tetralogi Buru dan Arok Dedes. Namun, konflik yang sederhana tersebut justru menjadikan alur Bukan Pasarmalam terkesan lambat dan bertele-tele.
Tiap babnya cukup singkat dan hanya berputar pada brankar rumah sakit, tokoh utama yang selalu meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja meski hati dirundung kecewa, anak-anak yang meratap, dan rasa bersalah anak sulungnya yang pernah memaki sang ayah beberapa waktu silam.
Selain membahas tentang konflik keluarga—yang sebenarnya sederhana, tetapi menjadi pelik karena dicampuri perasaan dan hubungan darah; Bukan Pasarmalam juga membahas mengenai kepastian kematian, kefanaan hidup, demokrasi dan nasionalisme, ketamakan politikus, kemanusiaan, serta sedikit menyinggung nasib guru yang tersisihkan.
“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang… seperti dunia pasarmalam… Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana….” [104]
Gaya bahasa yang digunakan terbilang ringan dan mudah dipahami. Narasi pada tiap paragrafnya tidak begitu panjang, tapi maksud penulis tetap tersampaikan. Di sisi lain, penyebutan identitas tokoh juga tidak konsisten. Seperti saat si anak sulung yang memanggil tokoh utama dengan sebutan “ayah” dan “bapak” di lain halaman. Juga memanggil ibunya sebagai “ibu” dan “bunda”.
Kendati tidak ada satu nama tokoh pun yang disebut dalam Bukan Pasarmalam, karakter tokoh digambarkan dengan apik. Sederhana, tetapi konsisten dan realistis. Ayah yang selalu tegar—meski seringkali cenderung sok kuat—serta mengajarkan kebajikan dan harapan realistis pada anak-anaknya.
Anak sulung yang merasa bertanggung jawab atas kehidupan adik-adiknya. Anak-anak yang rela meninggalkan pekerjaan demi menunggui sang ayah di hari-hari terakhirnya. Bahkan karakter tetangga yang beragam; ada yang memang peduli, ada pula yang sok tahu memberi saran tanpa diminta. Ada yang fokus pada kebaikan seseorang, ada pula yang telanjur terhasut dengki dan melupakan jasa-jasanya.
Bukan Pasarmalam dapat menjadi rekomendasi untuk penyegar daftar bacaan dan kembali menumbuhkan jiwa sosial dan kemanusiaan. Melalui Bukan Pasarmalam, Pramoedya mengajak pembacanya meraba kehidupan pasca kemerdekaan yang carut-marut. Dengan berlatar pedesaan dan menyinggung sisi kehidupan yang masih relate hingga era modern sekarang ini.
Identitas Buku:
Judul: Bukan Pasarmalam
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tahun Terbit: Oktober 2010 (cetakan ke-9)
ISBN: 979-97312-12-6
Ukuran: 106 hlm.; 13 × 20 cm
Resentator: Rizkyana Maghfiroh