• Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
Sabtu, 28 Januari 2023
  • Login
Amanat.id
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
Amanat.id

[Resensi Buku] Wartawan: Penyiar Kebenaran yang Terkurung dalam Tekanan

Wartawan era 90-an sebagai latar belakang kisah ini yang disajikan dalam bentuk satire. Betapa berat profesi “pembawa kabar”; dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi–pada saat itu–terkurung dalam tekanan.

Redaksi SKM Amanat by Redaksi SKM Amanat
3 tahun ago
in Rak, Sastra
0
(Sumber foto: Goodreads.com)

Leila S. Chudori, penulis kelahiran Jakarta, 12 Desember 1962. Berprofesi sebagai wartawan majalah berita Tempo, editor buku Bahasa! Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo (Pusat Data Analisa Tempo, 2008), dan penulis skenario beberapa drama televisi.

Buku “9 dari Nadira” merupakan kumpulan cerpennya yang telah dibukukan. Empat dari sembilan cerpen pernah diterbitkan, yaitu: “Melukis Langit” di majalah Matra Maret 1991; “Nina dan Nadira” di majalah Matra Mei 1992; “Mencari Seikat Seruni” di majalah Horison April 2009; dan “Tasbih” di majalah Horison September 2009. Kendati terdiri dari sembilan cerpen, buku ini dapat dinikmati sebagai novel karena antara cerpen satu dengan yang lain saling berkesinambungan.

Kisah dimulai ketika Nadira Suwandi, tokoh utama, menemukan ibunya tewas celentang karena menenggak pil tidur. Kematian ibunya yang mendadak dan mengejutkan, berdampak pada kehidupan Nadira sebagai seorang adik (“Nina dan Nadira”), anak (“Melukis Langit”), wartawan (“Tasbih”; “Sebilah Pisau”), kekasih (“Ciuman Terpanjang”), istri (“Kirana”), hingga garis kehidupan membawa Nadira kembali pada masa lalunya untuk mencari ketenangan dan kebenaran perasaan (“At Pedder Bay”).

Kepergian Kemala–ibu Nadira–memberi dampak yang mendalam pada kondisi psikis anak dan suaminya. Bramantyo–suaminya–menghabiskan seluruh malam dengan menyaksikan film yang sudah ia tonton ribuan kali, Nina–anak sulung–memilih menyibukkan diri dengan merampungkan pendidikannya di New York, dan Arya mengasingkan diri di hutan. Sementara Nadira, si bungsu, selama berbulan-bulan ia tidak berani pulang, tidur meringkuk di kolong meja kerja. Senyumnya hilang, hidupnya bagai matahari tanpa sinar. Redup dan perlahan pudar.

Nadira menggunakan setangkai bunga seruni putih sebagai pengganti tasbih, mencabut helai demi helai kelopaknya acap kali kalimat zikir keluar dari mulutnya. Ia mempertahankan hidup dengan menggumamkan zikir yang diajarkan ibunya ketika kecil. Hal ini sesuai dengan pengakuan Kris, ilustrator majalah Tera yang diam-diam memperhatikannya:

Baca juga

Jika itu Puisi

Paradoks Institusi Pendidikan

Fenomena “Hijrah” Narsistik vs Beragama secara Sederhana

Nadira tersenyum. Dia membisikkan kalimat-kalimat zikir itu. Yang rupanya membuat Nadira lebih tenang. Barangkali. (hlm. 203)

Leila memilih kehidupan seorang wartawan era 90-an sebagai latar belakang kisah ini yang disajikan dalam bentuk satire. Betapa berat profesi “pembawa kabar”; dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi–pada saat itu–terkurung dalam tekanan.

“Wartawan yang tak mungkin menulis tentang kebenaran, karena kalau kita menulis tentang bisnis anak-anak pejabat, kita akan ditelepon.” (hlm. 81)

 “… tentang bagaimana para wartawan dengan semangat menggebu-gebu meliput tentang kebanjiran di sebuah desa; tentang jatuhnya sebuah kapal terbang, tentang kudeta di Thailand dan Filipina, dan juga tentang kasus pembebasan tanah. Tapi kita tak bisa menulis borok di negeri sendiri. Kita hanya bisa menulis tragedi di negeri orang….” (hlm. 81)

Hal ini menjelaskan bahwa pada saat itu, pemerintah campur tangan dalam warta yang akan disiarkan. Tidak diperbolehkan membahas mengenai “orang atas”–baik kehidupan pribadi, kekuasaan, maupun tentang keluarganya–, serta aib negara sendiri.

Meski mengangkat persoalan yang cukup pelik, Leila mampu mengolahnya dengan bumbu asmara dan romansa. Berbagai masalah percintaan tersaji dalam buku ini, mulai dari cinta pada pandang pertama, cinta yang tak direstui orang tua, cinta bertepuk sebelah tangan, hingga cinta datang terlambat.

Di balik kelebihan dan keindahannya, setiap karya pasti memiliki kekurangan. Ditemukan beberapa kata yang ternyata tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan mesin pencarian, seperti kata blonda, dibanjurkan, mesiah, mengeritik, dan plagmatisme. Selain itu, penggunaan sudut pandang yang tidak konsisten (orang pertama dan ketiga), menyebabkan ketidaknyamanan ketika membaca. Selebihnya, karya Leila memang tidak pernah mengecewakan.

Leila mengakhiri kisah Nadira dengan cliffhanger. Setelah berhasil mengoyak emosi dengan berbagai persoalan rumit, pembaca dibuat menerka apa yang akan terjadi berikutnya. Penyampaian dengan kalimat yang ringan dan alur campuran, menjadikan buku ini cocok  sebagai teman mengisi waktu luang. Tidak hanya oleh jurnalis, tetapi semua kalangan, karena ada banyak pelajaran yang terkandung di dalamnya.

 


Identitas Buku
Judul Buku : 9 dari Nadira
Penulis : Leila S. Chudori
Halaman: xi+ 270
Penerbit: KPG
Resentator: Rizkyana Maghfiroh

  • 0share
  • 0
  • 0
  • 0
  • 0
Tags: dunia 9 nadiraleila s chudoripewarta kebenaranreview nadira
Previous Post

KKN Walisongo Lakukan Pencegahan Banjir di Demak

Next Post

UIN Walisongo Buka Wacana Opsi Tugas Akhir Mahasiswa Tanpa Skripsi

Redaksi SKM Amanat

Redaksi SKM Amanat

Surat Kabar Mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Untuk mahasiswa dengan penalaran dan takwa.

Related Posts

Jika itu puisi
Sastra

Jika itu Puisi

by Redaksi SKM Amanat
12 November 2022
0

...

Read more
Sekolah Dibubarkan Saja!

Paradoks Institusi Pendidikan

3 November 2022
Hijrah kalis

Fenomena “Hijrah” Narsistik vs Beragama secara Sederhana

13 Oktober 2022
Bukan Pasarmalam Pramoedya Ananta Toer

Bukan Pasarmalam; Potret Pejuang yang Dilupakan oleh Masyarakat dan Sejarah

29 September 2022
Ilustrasi Layu. (Pixabay)

Layu

4 September 2022

ARTIKEL

  • All
  • Kolom
  • Mimbar
  • Rak
  • Sinema
  • Opini
Ma’had Al Jami’ah Kampus 2, UIN Walisongo.

Ma’had Online UIN Walisongo Sebagai Syarat Kelulusan MK Bahasa Arab

19 Januari 2023
Mahasiswa UIN Walisongo kena tipu online

Mahasiswa UIN Walisongo Kena Tipu Online, Rugi 8 Juta Lebih

5 Januari 2023
Wisuda UIN Walisongo

Kantongi Berbagai Respon atas Diundurnya Jadwal Wisuda UIN Walisongo 

20 Januari 2023
FISIP UIN Walisongo

Keluarga Mahasiswa Korban Penipuan Berharap Dapat Bantuan Dari Kampus

5 Januari 2023
Load More
Amanat.id

Copyright © 2012-2024 Amanat.id

Navigasi

  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

Ikuti Kami

  • Login
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result

Copyright © 2012-2024 Amanat.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Send this to a friend