Suatu hari, seorang buruh pabrik sedang menyeruput kopi dan menikmati rokoknya. Sejenak, ia bertanya kepada dirinya siapa aku? Tentu saja ia adalah seorang buruh pabrik, namun pikirannya menyangkal dan mengatakan ia adalah seorang manusia. Apa itu manusia? Siapakah manusia itu? Selama ini ia tidak mengerti bahwa dirinya belum sepenuhnya memahami tentang siapakah ia sebenarnya.
Manusia hidup untuk bekerja, mencari uang, mendapatkan kekayaan, dan membeli semua yang dinginkan. Apakah hidup hanya untuk kekayaan? Atau hanya untuk sebuah ketenaran?. Seringkali, manusia secara sadar dilema mempertanyakan eksistensi bahwa secara hakikat jauh daripada itu. Eksitensialisme ibarat, lentera yang menerangi jalan hidup manusia di tengah gemerlapnya hutan rimba.
Pertarungan moralitas
Bohemian Rhapsody merupakan lagu rilisan band legendaris Queen pada tahun 1975. Lagu tersebut secara tersirat menggambarkan Freddie Mercury sebagai seorang yang eksistensialis dan memandang dunia sebagai sebuah absurditas.
Is this the real life? Is this just fantasy?
Baris kedua pada bait pertama lirik lagu, ia seakan menjawab pertanyaan atas keraguan dan kesengsaraan hidup, tetapi bukan jawaban optimis melainkan dengan analogi yang pesimis. Ia menganalogikan hidupnya seperti terperangkap dalam tanah longsor sehingga tak dapat lari dari keyataan yang dihadapi.
Caught in a landslide
No Escape from reality
Freddie mulai menunjukkan diri sebagai seorang eksistensialis ketika ia menceritakan dirinya adalah seorang Gipsy yang miskin dan berkehidupan nomaden. Istilah “Gipsy” dalam lirik lagu hanya bersifat simbolik bagi kebebasannya agar selalu bertahan dari kesengsaraan hidup.
I’m just a poor boy, I need no sympathy
Because I’m easy come, easy go, little high, little low
Any way the wind blows doesn’t really matter to me
Pada bait kedua, Freddie menceritakan bahwa dirinya telah membunuh seorang laki-laki. Pergulatan tentang moralitas yang disinggungnya melalui lirik ini sebagai representasi atau manifestasi dari kemalangan dan kesengsaraan hidup.
Mama, just killed a man
Put a gun against his head, pulled my trigger, now he’s dead
Mama, life had just begun
But now I’ve gone and thrown it all away
Membunuh seorang pria merupakan salah satu tindakan keji yang merenggut nyawa seseorang. Secara hukum di zaman modern, membunuh merupakan tindakan kriminal yang melanggar undang-undang. Selain menghilangkan nyawa seseorang, membunuh juga merenggut hak dan kebebasan seseorang untuk menjalani hidup. Selain itu, masyarakat memandang bahwa membunuh bagian dari pelanggaran etika terhadap hak manusia.
Etika secara kritis merupakan pembongkaran terhadap ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Peyimpangan mengenai paham etika dan moralitas tak dapat disamakan secara definisi dan konsep. Moralitas merupakan sebuah ajaran tentang bagaimana seorang manusia harus bertindak, sedangkan etika secara lebih khusus mempertanyakan kenapa kita harus mengikuti ajaran moral tertentu.
Hal itu sering kali bertentangan dengan eksistensialisme yang secara universal menekankan pada kebebasan manusia. Setiap tindakan yang dilakukan seorang manusia juga terdapat konsekuensi yang akan ditanggungnya. “Manusia dikutuk untuk bebas”, begitulah cara Jean-Paul Sartre menjelaskan eksistensialisme secara sederhana.
Menurutnya, ekistensialisme merupakan sebuah “doktrin” yang mengajarkan bahwa kebenaran dan setiap tindakan melibatkan lingkungan dan diri manusia. Ironinya, tindakan dan pikiran manusia selalu bertentangan dengan norma-norma masyarakat sehingga mengekang kebebasannya.
Ketersinggungan individu dengan norma sosial merupakan penghambat untuk menemukan otentikasi jati diri sebagai seorang manusia, sehingga menimbulkan absurditas.
Dalam bukunya Mite Sisifus, Albert Camus memandang absurditas disebabkan oleh pertentangan beberapa hal. Salah satunya disebabkan oleh nalar yang tidak dapat mengkonstruksi hal-hal tersebut menjadi satu pemahaman yang logis.
Absurditas lahir karena akal terus melakukan rasionalisasi terhadap fenomena yang terjadi pada manusia. Seringkali, manusia mencari pembenaran atas apa yang dilakukannya, Contohnya ketika Freddie mengalami dilema setelah membunuh seorang pria.
Norma membunuh yang dianut masyarakat dan eksistensialis Freddie Mercury menyebabkan pertentangan dan menciptakan absurditas kehidupan. Menurut Camus, absurditas tidak akan tercipta jika salah satu komponen itu tidak ada. Namun, absurditas bersifat abadi selagi manusia terus membenturkan nilai-nilai individu dengan norma-norma yang dianut masyarakat.
Seorang buruh pabrik kembali mengisap rokok tetapi dengan pikiran yang penuh dengan kepercayaan, setelah menjadi inisiator gerakan mogok kerja di pabriknya. Puluhan halaman karya Karl Marx dibaca sehingga menjadi inspirasi baginya untuk menciptakan kesetaraan hak antar sesama manusia dan masyarakat tanpa kelas.
Beberapa saat, ia menyadari untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas perlu adanya pertumpahan darah. Apa yang dipikirkannya tentang masyarakat baru yang lebih adil ternyata hanyalah sebuah khayalan.
Meskipun masyarakat di tempat tinggalnya merupakan masyarakat yang memiliki kompetensi yang rendah sehingga sukar memahami masalah sosial.
Pada akhirnya, ia memutuskan untuk tidak melakukan apapun dan kembali ke pabrik untuk bekerja. Ia berpikir, bahwa tidak ada yang harus dilakukan lagi selain menjalani hidup tanpa mengetahui apa makna sesungguhnya.
Penulis: Moehammad Alfarizy
Editor: Khasan Sumarhadi