Bagaimana perasaan anda ketika mempunyai teman yang sok tahu, sok pintar, dan sok hebat? Padahal nyatanya orang itu tidak begitu tahu, tidak pintar, tidak hebat dan bahkan terkesan B aja.
Tentunya kesal bukan? Teman anda yang semacam ini biasanya ingin merasa diperhatikan, dipuji, dan secara tidak langsung ingin disebut sebagai orang yang pintar, meskipun kenyataannya seperti toples roti Kong Ghuan yang isinya cuma Rengginang.
Di era disrupsi ini, kita semakin sulit menemukan orang yang mau dan berani mengakui bahwa dirinya memang bodoh. Sebagian dari kita masih tetep kekeh bahwa diri kita lebih hebat, bahkan lebih sakti melebihi dukun santet.
Lihat saja, maraknya ustadz baru yang dengan bangga berdakwah di hadapan jamaahnya. Lalu, menyerang ulama yang dianggap tidak sesuai dengan pemikirannya. Padahal, sejatinya seorang ustadz merupakan salah satu pemuka agama yang menjadi rujukan masyarakat. Akan tetapi, kelakuan mereka justru tidaklah mencerminkan seorang ustadz. Tidak mengherankan sebab, pendidikan agama yang mereka pelajari hanya sebatas bentuk hafalan di otak kiri, tanpa mengetahui maknanya.
Berkaca pada kisah di atas, kita bisa melihat kondisi masyarakat hari ini. Masih banyak orang yang menganggap dirinya lebih mengetahui apa yang tidak kita tahu, dan tidak mengetahui apa yang kita tahu. Orang-orang inilah yang sekarang mendominasi kultur masyarakat, yang dangkal dalam menjalankan otak kanan dan otak kirinya.
Barangkali kita harus belajar dari nasihat yang disampaikan oleh P. G. Wodehouse, seorang pelawak sekaligus penulis novel, drama, lirik lagu hingga puisi. Dalam salah satu nasihatnya, ia berpesan bahwa “saya menasihati orang-orang agar tidak pernah memberi nasihat”. Mungkin seorang Wodehouse sadar, jika kita masih berlomba untuk menjadi orang bijaksana yang sulit mengakui kebodohan, akan menjadi sebuah malapetaka.
Mengapa Sulit Mengakui?
Agak sedikit mengherankan, mengapa kebanyakan orang tidak mau mengakui kebodohannya. Apakah mengakui kebodohan adalah sesuatu yang hina, melebihi zina? Sehingga sukar untuk mengakuinya?
Kita tahu, sejak dahulu nabi Muhammad telah mengajarkan umatnya untuk senantiasa bersikap jujur, meskipun dalam keburukan. Hal serupa juga diajarkan oleh para sufi tentang sifat Futhuwwah atau sikap kesatria terhadap sesuatu yang telah kita kerjakan. Kita harus berani mengakuinya secara kesatria, kalau memang kita manusia.
Perihal mengakui kebodohan bukanlah sesuatu yang hina. Kita tidak perlu tersinggung jika dikatakan bodoh kalau memang faktanya demikian. Justru, dengan mengakui kebodohan, seseorang akan menjadi manusia yang bermartabat atau dalam istilah kaum sufi dinamakan insan kamil.
Orang yang mau mengakui bahwa dirinya bodoh, disebut Plato sebagai orang yang pandai. Menurutnya, sebelum orang itu menjadi pandai, dia harus bodoh dulu. Beda dengan orang bodoh yang sebelumnya tidak pandai namun tetap merasa pandai.
Jika ingin dibandingkan dengan orang-orang zaman Yunani kuno, di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini, kita lebih bodoh dari mereka. Misalnya saja, seperti yang dicatat oleh Martin Suryajaya dalam buku Sejarah Estetika (Gang Kabel, 2016), seseorang yang ingin menguasai musik kala itu, mereka harus terlebih dahulu menguasai ilmu matematika. Keahlian matematika inilah yang menjadi prasyarat awal untuk mempelajari tangga nada musik. Namun, terkadang kita enggan untuk mempelajari sesuatu yang menjadi dasar pengetahuan dan lebih hasil memilih secara instan.
Hal ini menjadi bukti bahwa manusia di era modern tak sepenuhnya maju. Cara berpikir mereka masih dangkal dan aras-arasen;malas melakukan pemikiran secara mendalam.
Bukan soal pendidikan
Perihal bodoh atau pandai, sebenarnya tidak ditentukan oleh gelar yang diperoleh. Melainkan dari cara seseorang tersebut berpikir, bernalar atau berlogika secara tidak logis dan benar atau logis dan benar.
Indonesia sendiri adalah gudangnya orang-orang pandai, tapi bodoh. Bagaimana tidak, golongan bodoh atau pandai itu tidak tergantung pada gelar sarjana. Orang bodoh belum tentu pendidikannya rendah. Sebaliknya, orang pandai tidak harus orang yang mempunyai gelar sarjana.
Di Indonesia pula, penyakit snob tumbuh subur dan mampu bersaing dengan beberapa penyakit mematikan lain. Snob sendiri merupakan sebuah penyakit yang menjangkit orang-orang yang suka menghina atau meremehkan orang lain yang, dianggap lebih rendah daripadanya. Ringkasnya, orang yang merasa dirinya sok pintar, sok kaya, sok, suci, sok hebat dan sok-sok lain termasuk juga sok-crates.
Melihat fenomena di atas, saya jadi rindu dengan Sokrates, orang bijak yang menjadi pusat kekaguman para filsuf muslim era klasik.
Dalam pembelaannya dihadapan para juri yang kemudian menjatuhinya hukuman mati, Sokrates melontarkan beberapa sumpah serapah yang kurang lebih isinya begini:
“Karena aku wajib mengatakan kebenaran di hadapan pengadilan, maka aku bersumpah, demi anjing, wahai orang Athena, aku sungguh-sungguh mengalami sesuatu seperti ini. Ketika aku menyelidiki perkara-perkara ilahi, aku dapati bahwa orang yang dipandang paling terhormat ternyata adalah orang yang paling bodoh, sementara orang yang dipandang paling rendah dari mereka ternyata lebih baik dalam hal penguasaan pengetahuan,” (Apologia, 22a).
Lemahnya Kecerdasan Emotional dan Spiritual
Bodoh itu berarti tidak pandai, tidak cerdas dan sulit memahami hal yang sederhana, apalagi hal yang kompleks. Ada orang yang sadar mengakui kebodohannya dan ada pula yang jaim mengakuinya.
Bodoh, tidak bisa hanya menghubungkan dengan pengetahuan, tapi juga perasaan dan emosi atau Emotional Quotient (EQ) yang rendah. Jenis orang seperti ini biasanya tidak mampu mengendalikan emosi, kudet, dan cenderung responsif tanpa pikir panjang.
Tidak hanya lemah secara EQ, orang yang sulit mengakui kebodohannya juga dikatakan sebagai spesies yang Spiritual Intelligence (SQ) nya rendah atau bodoh secara spiritual. Makhluk semacam ini biasanya tidak kenal siapa dirinya dan dari mana asal usulnya. Lebih parah lagi, ia nyaris kehilangan nalar skeptis dalam pemikirannya.
Dalam islam sendiri, sumber kecerdasan manusia berasal dari kombinasi antara akal, hati, dan iman. Semakin jauh kita dari ketiga hal tersebut, semakin dekat pula kita kepada kebodohan.
Lalu, sejauh mana kita mampu mengukur tingkat kebodohan yang kita miliki?
Penulis: Agus Salim I.