
Amanat.id- Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo gelar Seminar Terbuka di Ruang Teater Gedung Sosial Humaniora (SOSHUM) Kampus 3, Selasa (27/5/2025).
Seminar yang mengangkat tema “Menyikapi Intoleransi Beragama: Refleksi Tantangan dan Solusi bagi Sistem Pedidikan” digelar dengan berkolaborasi bersama Komunitas Gusdurian dan menghadirkan Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), Tedi Kholiludin sebagai pembicara.
Tedi menjelaskan toleransi menurut Reiner Forst itu berkembang dengan empat model, diantaranya Permission, Coexistence, Respect, dan Esteen Model.
“Tidak hanya satu makna. Dia bisa berkembang menjadi empat hieraki yang disebut dengan Permission atau perizinan, Coexistence atau berdampingan secara damai, Respect atau menghormati, dan Esteen Model yang merupakan level tertinggi yaitu menghargai perbedaan,” paparnya.
Tedi mengatakan level tertinggi dari manusia adalah mempunyai sikap toleran.
“Orang yang berada di level tertinggi adalah orang yang mempunyai sikap toleran dan tidak melihat perbedaan sebagai ancaman, melainkan sebagai aset,” jelasnya.
Ia menegaskan memiliki sudut pandang terhadap perbedaan akan sangat menentukan sebarapa toleran seseorang.
“Sudut pandang seseorang terhadap perbedaan akan menentukan seberapa toleran seseorang tersebut,” tuturnya.
Tedi mengusulkan pendidikan seharusnya digunakan sebagai infrastruktur perdamaian.
“Saya mengusulkan hal yang sedikit pragmatif, yaitu menggunakan instrumen pendidikan sebagai infrastruktur perdamaian dan toleransi,” usulnya.
Ia menjelaskan jika pendidikan adalah infrastruktur, maka suprastrukturnya adalah ide, norma, dan regulasi.
“Jika pendidikan dijadikan sebagai elemen infrastruktur, maka elemen suprastrukturnya dalam pendidikan adalah ide, nilai, norma, dan regulasi sebagai acuan pendidikan sebagai elemen perdamaian,” katanya.
Value best, lanjutnya, dapat digunakan sebagai landasan dalam membangun perdamaian dan toleransi pada pendidikan.
“Untuk membangun perdamaian dalam pendidikan, maka harus dibangun berlandaskan value best, yaitu penghargaan praktek kebaikan, dan semangat restoratif sebagai panduan moral,” lanjutnya.
Ia berharap lingkungan akademik menjadi tempat untuk menjaga, membangun, dan menciptakan perdamaian.
“Saya berharap kemampuan lingkungan akademik dapat menjaga, membangun, dan menciptakan perdamaian secara terstruktur dengan infrastruktur dan suprastruktur yang memadai,” tutupnya.
Reporter : Makrufiyah
Editor: Azkiya S.A.