
“Menikahlah sekarang nak, apa lagi yang kamu tunggu?”
Barangkali itulah kalimat yang sering keluar dari sejumlah mulut orang tua. Keterlambatan menikahkan anak (wanita) dipandang sebagian orang dapat menjatuhkan status atau membawa aib bagi orang tua dan keluarga.
Sebenarnya, ihwal pernikahan bukanlah tentang sebuah tradisi yang harus ditepati. Pernikahan adalah sebuah simbol kemenangan manusia setelah menjalani panjangnya kehidupan membujang. Selain itu, tentu akan menjadi momen sakral dimana kedua mempelai dipersatukan dalam sebuah janji suci.
Hari ini, makna pernikahan telah meracuni sebagian kaum muda Indonesia. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang memberi mahar dalam konsep nikah muda. Memang, di kalangan muda hal semacam ini menjadi topik yang ramai diperbincangkan. Salah satu pemicunya adalah banyaknya usia muda yang telah menjalin ikatan pernikahan dan memamerkan kebahagiaan rumah tangga yang mereka jalani.
Selain kebahagiaan, anggapan bahwa nikah muda itu akan membuat hubungan lebih romantis pun semakin kentara.
Euforia itu tercermin dari banyaknya kalangan muda yang mengalami fenomena nikah muda. Tahun 2017 lalu, sebanyak 60,13 persen pemuda dari berbagai wilayah di Indonesia menjadi bagian dari gerakan nikah muda.
Tentu ini menjadi magnet tersendiri di kalangan muda, apalagi dengan dogma yang sedemikian rupa membuat mereka dengan mudah terjebak pernikahan muda tanpa mengetahui realita yang ada. Hal inilah yang membuat sejumlah pasangan memberanikan diri untuk berumah tangga lebih dini. (Tirto.id, 2/3/19).
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia sendiri telah mengategorikan pernikahan pemuda di Indonesia dalam empat rentang usia, yakni usia 15 tahun ke bawah, usia 16-18 tahun, usia 19-24 tahun dan usia 25-30 tahun. Dengan pembagian ini, pernikahan usia muda masuk pada rentang usia 19-24 tahun. Sesuai dengan UU Kepemudaan, usia yang masuk kategori pemuda dibatasi hingga usia 30 tahun. Total pemuda Indonesia mencapai 63,82 juta, dari jumlah itu yang sudah menikah baru 25,7 juta.
Namun, tidak semua anak dengan gamblang menyetujui rancangan nikah muda. Alasan pendidikan dan karir menjadi hal yang paling disuarakan dalam menentang kehendak orang tua. Di sisi lain, fenomena nikah muda menjadi sebuah bencana bagi pasangan yang gagal memahami arti saling mencintai. Usia muda yang seharusnya menjadi ladang waktu untuk berkarya justru menjadi sebuah ruang perampasan kebebasan manusia. Tak hanya itu, cita-cita agung yang sudah direncanakan pun seringkali terkubur megah dalam piramida rumah tangga.
Bahkan, usia pernikahan yang masih tergolong muda tersebut harus berakhir tragis di meja pengadilan. Tak ayal, budaya perceraian pun menjadi sesuatu yang lumrah dibalik mahligai cinta satu atap.
Riset yang dilakukan oleh Nicholas Wolfinger, seorang profesor studi keluarga konsumsi dan sosiologi di Universitas Utah, Amerika Serikat tahun 2017 lalu menemukan sekitar 415.848 perkara perceraian sebagai akibat dari menjamurnya populasi nikah muda.
Generasi muda bangsa pun seakan terjebak pada romantisme masa lalu, dimana nikah muda menjadi sebuah pilihan membanggakan orangtua. Di satu sisi, keotoriteran orangtua turut merenggut kebebasan individu dalam menjalani kehidupan.
Emosionalitas laki-laki dan perempuan
Masa muda memang menjadi masa pencarian jati diri seorang manusia. Terkadang, sikap tergesa-gesa sering dilakukan demi tercapainya sebuah tujuan. Hal itu, tentu akan menimbulkan berbagai insiden yang tidak sesuai keinginan. Sebuah pertimbangan matang pun menjadi syarat yang harus dibutuhkan.
Impian membangun sebuah pernikahan seringkali terbersit dalam pikiran mereka. Anggapan pernikahan adalah sebuah pelampiasan dan pemenuhan kebutuhan biologis menjadi alasan timbulnya ide melangsungkan pernikahan. Bahkan, terkadang imajinasi liar pun turut memboncengi pikiran mereka.
Pernikahan yang dilakukan atas dasar emosional, akan menjadikan pernikahan itu dilangsungkan bukan atas dasar mensegerakan menikah, tetapi tergesa-gesa untuk menikah.
Tentu, ini akan menimbulkan beban psikologis setelah berlangsungnya pernikahan. Imajinasi-imajinasi liar yang dulu kerap menghiasi pikiran seakan sirna ditelan kerasnya kehidupan pasca pernikahan.
Penulis: Agus Salim I