
Di era sekarang dengan banyaknya kampus yang ada, biaya kuliah bukannya semakin murah, tetapi malah mengalami kenaikan. Ironisnya, kenaikan biaya kuliah tersebut tidak sejalan dengan penghasilan masyarakat. Dengan terus bertambahnya biaya kuliah, pemerintah merespon dengan rencana kebijakan student loan atau pinjaman pendidikan sebagai solusi.
Dengan adanya student loan, mahasiswa di mungkinkan untuk dapat meminjam sejumlah uang guna membayar biaya kuliah. Mahasiswa dapat melunasinya setelah mereka menyelesaikan kuliah dan mulai bekerja.
Mekanisme pinjaman pendidikan ini dapat dibagi menjadi dua jenis. Pinjaman hipotek dengan tenggat pembayaran yang sudah ditentukan. Pinjaman kategori ini sering menimbulkan beban pembayaran tinggi, terutama bagi mereka yang perpendapatan rendah. Lalu, pinjaman pendidikan yang menyesuaikan pendapatan. Pelunasan pinjaman dapat dibayar setelah memenuhi ambang batas penghasilan tertentu. Hal ini memungkinkan si peminjam tidak perlu melunasi hutang selama pendapatannya belum mencapai ambang batas wajib bayar.
Bukan kali pertama
Pinjaman biaya pendidikan di Indonesia sebenarnya bukan barang baru. Mekanisme seperti ini sebenarnya pernah dilakukan pada tahun 1982 dengan nama Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI).
Awal dari kebijakan KMI adalah respon dari mahasiswa tingkat akhir yang banyak menunda kelulusan mereka dengan memilih bekerja. Maklum, pada masa itu biaya kuliah cukup mahal. Sebagai penggambaran, pada masa itu harga bensin hanya Rp150 per liter, sementara kuliah S1 mencapai 562 ribu.
Untuk membantu agar para mahasiswa ini dapat segera lulus, pemerintah menerbitkan program KMI yang resmi berlaku setelah adanya Surat Keputusan Nomor Nomor 15/12/Kep/Dir/UKK mengenai pemberikan kredit bank kepada mahasiswa.
Dana yang diperoleh mahasiswa akan menyesuaikan dengan strata yang diambil dan akan dikenakan bunga 6% per tahun. Bagi mahasiswa S1 akan mendapat Rp750 ribu. Mahasiswa S2 memperoleh Rp1,5 juta. Sedangkan, mahasiswa S3 Rp 2,5 juta. Sebagai jaminan, pemerintah akan menahan ijazah mahasiswa di bank. Pemerintah juga memberikan tenggat waktu 10 tahun untuk melunasinya.
Namun, program KMI mengalami kendala yang umum terjadi, yakni kredit macet. Hal tersebut mengakibatkan banyak ijazah yang menumpuk di kantor bank karena mahasiswa penerima KMI tidak dapat melunasinya. Para mahasiswa lebih memilih mem-fotocopy-nya, ketimbang harus membayar cicilan, sebab untuk melamar kerja mereka tidak membutuhkan ijazah asli. Pada akhirnya, pemerintah mencabut program KMI pada 1990.
Jebakan jangka panjang
Kebijakan pinjaman biaya pendidikan menjadi niat baik karena dapat memberikan peluang bagi masyrakat menengah ke bawah untuk dapat melajutkan pendidikan. Namun, di lain sisi, program pinjaman ini dapat berpotensi menjerumuskan mahasiswa dalam utang yang tidak perlu.
Kita dapat menyaksikan apa yang telah terjadi di negara, seperti Amerika dan Inggris yang sudah lama mempraktikkan program pinjaman pendidikan. Mahasiswa di sana lulus dengan membawa beban hutang yang besar dan menciptakan ketergantungan finansial jangka panjang.
Mengutip laporan wawancara BBC kepada mahasiswa yang telah mengambil pinjaman untuk membiayai kuliah. Salah satunya dalah Vonnie Sandlan (41) yang masih memiliki hutang pinjaman pendidikan sebesar £35,000. Ia merasa seperti tidak mampu untuk melunasi hingga masa pensiunnya tiba.
Selain harus membayar bunga dari pinjaman pendidikan yang menyentuh 6,25%, ia juga harus melunasi cicilan rumahnya dengan bunga 3,69%. Sementara hutangnya akan dapat diputihkan ketika Ia berumur 65 tahun. Artinya, penghasilannya akan terpotong banyak hanya untuk melunasi hutang.
Namun, ada pula juga yang berhasil melakukan pinjaman pendidikan ini, yakni Australia. Pemerintah Australia meniadakan bunga pinjaman dan menetapkan biaya cicilan sesuai dengan penghasilan yang didapat. Keberhasilan program pinjaman pendidikan ini dapat diukur dari hampir tidak adanya mahasiswa yang gagal melunasi hutang ke negara.
Sehingga kunci dari keberhasilan pinjaman pendidikan ini adalah bunga yang tidak mengekang dan membebani finansial jangka panjang. Jika mereka lulus dengan beban hutang, maka perkembangan karir dan ekonomi mereka dapat terhabat. Hal ini perlu dijadiakan contoh sistem bantuan pendidikan bagi Pemerintah Indonesia.
Penulis: Hikam Abdillah