
Pada medio Agustus 2021, sepasang suami istri bernama Gita Savitri dan Paul Andre memilih menjalani hidup tanpa kejahadiran buah hati (childfree). Mereka beranggapan bahwa memiliki seorang anak bukanlah suatu kewajiban, melainkan sebuah pilihan hidup.
Yang dilakukan pasutri tersebut lantas menimbulkan beragam kontroversi. Ada yang memandang sinis sebagai bentuk penyalahan teradap akidah. Ada juga yang menilai sebagai salah satu cara mengurangi populasi manusia.
Terlepas dari kontroversi tersebut, Childfree telah menjadi budaya baru yang populer di dunia. Childfree adalah kondisi di mana pasangan suami istri berkomitmen untuk tidak berencana atau tidak mau punya anak, baik anak kandung maupun adopsi. Tentu, pilihan ini memiliki kelebihan dan kekurangan.
Hidup tanpa memiliki anak berarti tidak memiliki beban finansial maupun aspek sosial lainnya karena anak. Dengan begitu, pasangan childfree dapat lebih fokus kepada dirinya sendiri. (Agrillo & Nelini 2008). Mereka yang memilih childfree jua memiliki konsekuensi biologis dan sosial. Mereka tidak bisa memiliki keturunan resmi, memungkinkan menghabiskan masa tua sendirian, melanggar norma sosial pada umumnya.
Isu yang kemudian berkembang adalah, cildfree dijadikan sebagai sarana untuk mengurangi populasi umat manusia. Jika dilihat sejak tahun 1800, jumlah penduduk dunia mengalami pertumbuhan berlipat ganda. Pada tahun tersebut, populasi dunia baru mencapai 1 miliar manusia. Pada 2021, sudah mencapai 7,8 miliar. Hanya dalam dua ratus tahun, penduduk dunia meningkat tujuh kali lipat.
Meskipun jumlah penghuni bumi semakin banyak, tetapi jika dilihat dari tingkat pertumbuhan, telah terjadi tren penurunan dari puncaknya pada tahun 1960-an yang mencapai tingkat 2,2% per tahun. Saat ini pertumbuhan penduduk berkisar 1,1% per tahun. Bank Dunia memproyeksikan pada tahun 2100 tingkat pertumbuhan dunia tinggal 0,1% dengan total populasi dunia 11,2 miliar.
Terdapat korelasi negatif antara indeks pembangunan manusia (IPM) dengan tingkat kelahiran. Semakin maju sebuah negara, maka semakin kecil tingkat kelahirannya. Dengan demikian, tingkat pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan yang semakin baik mendorong orang memiliki semakin sedikit anak.
Masih berdasarkan data dari Bank Dunia, tingkat kelahiran per perempuan di Singapura adalah 1,14, di Jepang 1,42, sedangkan yang paling rendah di Korea Selatan 0,98. Artinya negara-negara tersebut mengalami masalah populasi di masa depan.
Masalah dunia yang kelebihan populasi pernah menjadi kekhawatiran Thomas Malthus pada era 1800-an. Menurutnya, peningkatan jumlah populasi yang terus menerus pada titik tertentu akan menyebabkan terjadinya kelangkaan makanan.
Ramalan tentang pertumbuhan jumlah penduduk benar terjadi, tetapi kekurangan makanan tidak terjadi karena terdapat perkembangan teknologi dalam banyak bidang. Namun, banyak persoalan kependudukan yang belum terselesaikan seperti masalah kerusakan lingkungan, ketersediaan pekerjaan, perumahan, energi, pendidikan, hak asasi manusia, ketimpangan pendapatan, dan lainnya.
Childfree dalam Kacamata Islam
Di Indonesia sendiri yang mayoritas masyarakatnya memeluk Islam, tentu menimbulkan berbagi polemik. Sebab, pilihan tidak memiliki anak adalah menyalahi kodrat sebagai seorang wanita. Dalam kajian fikih, childfree diilustrasikan sebagai bentuk kesepakatan menolak kelahiran atau wujud anak, baik sebelum anak potensial wujud ataupun setelahnya.
Imam Syihabuddin Al-Qasthalani melalui kaidah di dalam kitabnya Irsyadus Sari Lisyarhi Shahihil Bukhari menyebut jika hukum berlaku bersama illatnya. Ada dan tidaknya hukum bergantung atas ada dan tidaknya illat hukum tersebut. (Irsyadus Sari Lisyarhi Shahihil Bukhari, jilid 2 halaman 41).
Al-Qastalhani merinci ukum childfree dalam dua keadaan. Pertama, jika dia hanya menunda untuk mempunyai anak dalam waktu tertentu, hukumnya diperbolehkan. Artinya, ada batas waktu tertentu bagi mereka yang memilih tidak mempunyai anak. Kedua, jika dia memutuskan untuk tidak mempunyai anak secara Mutlaq (Tahdidun Nasl), hukumnya haram.
Kendati demikian, Islam memperbolehkan pasangan suami istri untuk memilih jalan childfree sesuai kaidah yang dianjurkan ole fikih Islam. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan motif yang bisa diperbolekan melakukan childfree.
Di antaranya motif finansial dalam konteks perbudakan seperti pada zaman dulu, motif seksual dan keselamatan hidup, motif ketakutan tidak mampu menghidupi anak secara ekonomi, memiliki keyakinan yang keliru soal menikahkan anak perempuan yang dianggap aib seperti zaman jahiliyah, dan motif menyucikan diri dengan tidak mengotori tubuh akibat melahirkan anak.
Terlepas dari mereka yan memilih childfree atau tidak, setiap pilihan tentu menimbulkan konsekuensi yang harus dijalani oleh mereka. Kita tidak selamanya bisa menghakimi apa yang mereka pilih.
Penulis: Kiki Yuli R.