
Kekerasan sering terjadi di kehidupan sehari-hari, bahkan di lingkungan keluarga, masyarakat, dan pertemanan. Kekerasan yang terjadi pada seorang perempuan dikarenakan sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Masih banyak masyarakat yang memandang perempuan sebagai kaum yang marginal, dikuasai, dieksploitasi, dan diperbudak oleh kaum laki-laki.
Menurut Wilkins (2014), kekerasan seksual dapat dipicu dari beberapa faktor yang secara umum dibedakan menjadi tiga faktor, yaitu faktor yang berasal dari individu, faktor lingkungan, dan faktor hubungan. Faktor individu meliputi kurangnya pengetahuan dan keterampilan menghindar dari kekerasan seksual, kontrol perilaku buruk, pernah mengalami riwayat kekerasan, pernah menyaksikan kejadian kekerasan seksual, dan penyalahgunaan obat-obatan.
Faktor sosial mencakup kebudayaan atau kebiasaan yang mendukung tindakan kekerasan seksual, media yang terus membingkai kasus kekerasan seksual, rendahnya tingkat kesehatan, pola asuh, kondisi ekonomi, dan lemahnya penegakan hukum. Faktor hubungan berupa lemahnya hubungan antara anak dan orang tua, konflik keluarga, dan terikat hubungan dengan seorang penjahat atau pelaku kekerasan.
Dewasa ini, sorotan publik melalui pemberitaan media massa tertuju pada kekerasan seksual yang terjadi di ranah perguruan tinggi. Kekerasan seksual di kampus di Indonesia merupakan sebuah fenomena gunung es. Data akurat terkait jumlah kasus kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia masih belum diketahui secara pasti.
Soejoeti (2020) dalam tesisnya yang berjudul “Diskusi Keadilan Restoratif dalam Konteks Kekerasan Seksual di Kampus” dalam Jurnal Kriminologi Vol.4 No.1 mengatakan bahwa kebanyakan kasus kekerasan seksual di kampus di Indonesia diselesaikan secara internal atau non-litigasi.
Sementara itu, efek dari kekerasan seksual bersifat jangka panjang. Kerugian terbesar yang dialami korban ialah pada kondisi psikologis. Gangguan psikologis yang umum dialami korban kekerasan seksual adalah gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan depresi berat.
UNESCO (2012) menjelaskan, dampak pelecehan seksual secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu fisik psikologis, dan sosial. Dampak fisik berupa adanya memar, luka, tertular Infeksi Menular Seksual (IMS), bahkan kerusakan organ seksual. Pada perempuan dampak yang paling berat yaitu Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) dan kehamilan dini.
Dampak psikologis antara lain berupa kecurigaan dan ketakutan terhadap orang lain, serta ketakutan pada tempat atau suasana tertentu. Dampak sosial yang dialami korban, terutama akibat stigma atau diskriminasi dari orang lain mengakibatkan korban ingin mengasingkan diri dari pergaulan. Perasaan ini timbul akibat adanya harga diri yang rendah karena ia menjadi korban pelecehan seksual, sehingga merasa tidak berharga, tidak layak untuk bergaul bersama teman-temannya.
Membangun Ketahanan dan Kontrol Diri untuk Menghindari Kekerasan Seksual
Kendali diri adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Kendali diri terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara bagaimana seharusnya individu tersebut berpikir, merasa, atau berperilaku (Muraven & Baumeister, 2000). Kendali diri dapat membantu seseorang mengabaikan keinginan untuk berperilaku agresif dan akan membantu seseorang merespons sesuai dengan standar pribadi atau standar sosial yang dapat menekan perilaku agresif tersebut.
Masih banyak korban kekerasan dan pelecehan seksual justru enggan untuk melapor dan cenderung menyalahkan diri sendiri. Akibatnya, kasus demi kasus makin banyak yang muncul karena kurangnya pemahaman dan penanggulangan atas kejadian kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi. Adanya tekanan sosial, malu, dan lemahnya hukum menjadi pemicu kenapa angka kasus pelecehan dan kekerasan seksual masih terbilang tinggi. Di satu sisi, hal ini juga membuat korban merasa tersudutkan dan tertekan, bahkan hingga depresi.
1. Aware is the key!
Selalu waspada di manapun dan kapanpun, kita tidak pernah tahu kapan dan bagaimana pelaku pelecehan seksual akan menyerang. Bukan berarti kita harus jadi super was-was dan curiga-an. Namun, kita perlu tahu apa yang harus kita lakukan ketika ada ‘serangan’. Selain itu, mempersenjatai diri dengan peralatan untuk membela diri dan lakukan perlawanan sebisa mungkin, setidaknya kita harus tahu terlebih dahulu pengetahuan menghadapi masalah pelecehan seperti ini.
2. Jangan takut untuk speak up dan tegas
Pelaku pelecehan seksual biasanya menyasar korban yang terlihat lemah dan tidak akan melakukan perlawanan. Begitu juga sebaliknya, ketika kita menunjukkan sikap tegas dan tidak takut untuk menolak saat pelecehan terjadi, secara tidak langsung kita pun sudah memotong niat jahat mereka dalam melakukan tindak kejahatan.
Jangan ragu dan malu untuk melapor ke pihak berwajib jika pelecehan atau kekerasan yang dialami sudah cukup fatal karena perlindungan sangat diperlukan dalam masalah yang sering terjadi di kalangan perempuan ini.
3. Bekali diri dan edukasi orang-orang sekitar tentang betapa pentingnya mencegah terjadinya pelecehan seksual
Kini mungkin sudah aware, tapi tidak menutup kemungkinan jika di sekitar kita masih clueless, takut, bahkan abai untuk tahu mengenai penanggulangan pelecehan seksual. Sebab, bentuk tindakan ini beragam dengan pelaku yang berbeda pula, bisa orang asing yang ditemui di jalan sampai keluarga atau kerabat dekat sekalipun.
Komnas perempuan kian hadir untuk membantu dan menghapusnya semakin banyak angka kekerasan seksual pada perempuan. Jadi, kerja sama dari masyarakat dan pemerintah perlu dikuatkan dan komunikasi yang terjalin baik agar keterbukaan semakin terjalin untuk menemukan titik masalahnya.
4. Bantu korban pelecehan seksual
Membantu orang-orang yang menjadi korban pelecehan seksual bisa melalui tindakan dan dukungan. Sebab, dalam kondisi seperti ini, dukungan menjadi hal yang sangat penting untuk para korban pelecehan seksual dan bentuknya bisa bermacam-macam sebagai bantuan dalam proses pemulihan fisik dan psikisnya. Jangan menghakimi ataupun memberi stigma negatif pada korban, lebih baik mendukung atau dengarkan terlebih dahulu pengakuan tentang cerita korban termasuk mendampinginya. Ingat, pelecehan bisa menyebabkan trauma, stres, hingga depresi.
Penulis: Faridha Ath Thooriq