Membicarakan orang lain atau ghibah memang sudah mendarah daging dalam budaya masyarakat. Saking seringnya, ghibah seperti di sepelekan. Dengan santainya orang-orang tertawa dan berkata “Ghibah yok!”, mengunggah atau membuat story foto di media sosial dengan caption “temen ghibah”, “hobi ghibah”, “ghibah time”, dan masih banyak lagi caption ghibah lainnya.
Memang, pada dasarnya ghibah itu tidak diperbolehkan. Bahkan, hal tersebut sudah termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat: 12.
“Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”.
Namun, ternyata tidak semua ghibah salah. Dalam kitab Raudhatu at-Thalibin wa ‘umdatu al-Muftin, dan al-Adzkar karya Imam An-Nawawi misalnya, menyatakan ghibah diperbolehkan karena beberapa alasan.
Pertama, ketika seseorang terzalimi. Bagi Imam An-Nawawi, seseorang boleh mengadukan kezaliman kepada mereka yang memiliki kekuasaan dan dapat menegakkan keadilan. Misalnya kepada hakim atau polisi.
Kedua, ketika seseorang melihat atau mengetahui orang lain yang berbuat maksiat atau kemungkaran. Orang tersebut diperbolehkan mengadukan kepada siapa saja yang dipercayanya bahkan, dapat mengubah orang yang berbuat kemaksiatan kembali ke jalan yang benar.
Ketiga, meminta fatwa atau keputusan. Ketika seseorang merasa dirinya tersakiti atau terzalimi, dan bertanya-tanya apakah orang tersebut berhak memperlakukannya seperti itu. Maka orang tersebut diperbolehkan menceritakannya kepada seorang yang dapat memberikannya fatwa, misalnya kepada ustaz atau ulama.
Keempat, ketika akan mengingatkan kepada publik, agar terhindar kejahatan dari pihak individu ataupun kelompok. Misalnya, mengingatkan mengenai travel umroh bermasalah, boleh menceritakan permasalahannya agar publik tidak tertipu.
Kelima, menghibahkan pihak-pihak yang melakukan kejahatan secara terang-terangan, seperti misalnya mencuri, berjudi, atau meminum khamer. Seseorang boleh menceritakan kejahatan apa yang dilakukan, tetapi tidak boleh membicarakan aib lain dari pihak tersebut.
Keenam, menyebutkan nama orang yang memiliki keterbatasan fisik. Dengan syarat yang memiliki nama tersebut tidak hanya ada satu, dengan begitu menyelipkan keterbatasan fisik yang dimiliki ketika menyebutkan namanya.
Meskipun sudah ada keterangan terkait bolehnya melakukan ghibah namun, harus menjadi pelajaran bersama bahwa ghibah diperbolehkan dalam keadaan tertentu. Kiranya, jangan sampai masyarakat kita terpecah belah hanya karena persoalan ghibah semata.
Penulis: Syifa Mariyatul