Pelecehan seksual yang terjadi bulan lalu membuat mata dan hati nurani kita dibuat terheran dengan viralnya video terhadap seorang siswi. Peristiwa tersebut terlihat dari video yang beredar terjadi dalam ruang kelas, salah satu SMK di Sulawesi Utara.
Seolah kejadian tersebut menjadi pukulan bagi dunia pendidikan kita. Sebab diketahui pula bahwa pelakunya juga seorang pelajar tidak lain adalah temannya sendiri. Pelaku berjumlah lima orang, tiga siswa dan dua siswi.
Ironi dan tak manusiawi, mungkin kata yang cocok untuk menilai kejadian itu. Sebab sebuah perilaku pelecehan seksual, meski dengan dalih apapun tidak bisa dibenarkan adanya.
KPAI menunjukkan bahwa pada tahun 2019 terdapat 21 kasus kekerasan seksual yang terjadi, di sekolah. Dengan rincian 13 kasus atau sebanyak 62 persen terjadi di jenjang SD, 5 kasus atau 24 persen di jenjang SMP/sederajat dan 3 kasus atau 14 persen di jenjang SMA.
Dari data tersebut kiranya tergambar, di lingkungan pendidikan formal masih rentan terjadi kekerasan atau pelecehan seksual. Yang kemudian menjadi lampu kuning bagi dunia pendidikan. Sebab tidak lain mereka (pelajar) adalah penerus bangsa ini. Memprihatinkan ketika pelajar harus jadi korban atau bahkan pelaku dalam kekerasan seksual.
Pekerjaan rumah pun dibebankan kepada mereka yang pihak yang mempunyai wewenang dalam ruang pendidikan. Sebab jika hal yang demikian dianggap wajar dan cenderung diabaikan maka hal yang sama akan terulang kembali di tahun-tahun berikutnya. Dengan membawa dampak baru yakni masyarakat kurang percaya lagi pada dunia pendidikan.
Pendidikan Seks
Dari beberapa kasus seksualitas yang menyeret dunia pendidikan tersebut, kiranya ada beberapa faktor yang jadi penyebabnya. Diantaranya kurangnya edukasi seks pada dunia pendidikan, minimnya kontrol dari pihak sekolah terkait perilaku menyimpang anak didiknya.
Tak hanya lingkungan pendidikan (sekolah), tetapi faktor lingkungan keluarga, pergaulan dan lainnya. Di tambah lagi dengan perkembangan teknologi yang masif. Seperti adanya akses internet pada medium gawai, di mana sang pengguna dapat melakukan akses apapun dengan fasilitas tersebut.
Bahkan merangsang sikap ketergantungan terhadap gawai pada penggunanya. Kiranya ungkapan ini sesuai dengan hal itu, “Dilahirkan manusia, tapi diasuh oleh gawai”. Ketika kembali pada seksualitas pada pelajar, tentu ungkapan itu cukup masuk. Misalnya jika dijabarkan kembali dengan menggunakan analogi yang sama. Kiranya akan seperti ini, “Jika pendidikan seks tidak pernah diberikan baik di sekolah ataupun keluarga, mereka akan mencari sendiri dengan gawai miliknya”.
Maka dengan analogi tersebut, sudah sepatutnya memang pendidikan seks bisa diberikan. Bisa melalui lingkungan terdekat yakni keluarga. Dengan memposisikan anak sebagai teman bicara, kemudian diselipkan pemahaman tentang seksualitas. Begitupun dalam dunia pendidikan formal, pihak sekolah kiranya harus dapat mengedukasi dan mengawasi sikap anak didiknya, supaya tidak terjerumus pada penyimpangan perilaku seksual.
Meski terkadang tatkala membahas seksualitas cenderung dianggap tabu. Tapi bukankah lebih tabu lagi, jika tak ada upaya untuk menumbuhkan sebuah pemahaman yang baik, dalam menyikapi sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas.
Penulis: Rudy Darmawan