• Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
Selasa, 7 Februari 2023
  • Login
Amanat.id
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
Amanat.id

Perjodohan dan Rantai Kekerasan Seksual yang Tak Kunjung Usai

Diah Khalimatus Sa'diyah by Diah Khalimatus Sa'diyah
4 tahun ago
in Artikel
0
(dok. internet)

Pernah suatu ketika, penulis berada pada satu kelas yang isinya perempuan semua. Di kelas yang didominasi warna putih dan hijau itu, seorang laki-laki (baca: guru agama) dengan kopiah hitam sedang menerjemahkan sebuah bab tentang pernikahan dari kitab kuning. Dia memaknai satu persatu kata di kitab berbahasa Arab dengan bahasa Jawa (Pegon). Jika diartikan menggunakan bahasa Indonesia, maka akan diperoleh terjemahan, “seorang ayah kandung dan kakek dari seorang gadis (perempuan yang belum pernah menikah) boleh memaksa mereka untuk menikah.” Pembahasan itu terdapat dalam kitab Taqrib pada Bab Nikah.

Saat itu, tidak ada protes sebagai tanda ketidaksetujuan. Yang samar terdengar adalah canda lirih kami tentang perjodohan. Berandai-andai bagaimana kalau kami dijodohkan dan pada akhirnya membuat kesimpulan sendiri bahwa kami tidak boleh menolak ketika ayah atau kakek kami berniat melakukannya.

Perjodohan menjadi masalah klasik namun tetap eksis. Ia menjelma menjadi problematika yang menarik dan menjual untuk para produser menggarap film atau pun sinetron. Sayangnya, perjodohan seringkali membuat perempuan terpojok. Perempuan adalah korban. Hal ini tentu tidak lepas dari sistem patriarki yang
banyak dianut di Indonesia, termasuk Jawa.

Penulis tidak membayangkan bagaimana kalutnya mereka (perempuan yang dijodohkan). Mereka ditempatkan pada posisi yang pelik. Menolak artinya menentang orang tua, namun di sisi lain, jika pun menerima, mereka terus dihantui dengan rasa takut tentang hari depan. Umumnya, si perempuan akan diam yang akan memunculkan satu tafsir tunggal atas sikapnya itu. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, dan Muslim berbunyi demikian;

“Dari ‘Aisyah RA ia berkata : Aku pernah bertanya, “Ya Rasulullah, apakah wanita-wanita itu (harus) diminta idzinnya dalam urusan perkawinan mereka ?”. Beliau menjawab, “Ya”. Aku bertanya (lagi), “Sesungguhnya seorang gadis (apabila) diminta idzinnya ia malu dan diam”. Rasulullah SAW menjawab, “Diamnya itulah
idzinnya”.

Baca juga

Pergeseran Makna Cancel Culture di Media Sosial

Ngeri-Ngeri Sedap: Pentingnya Komunikasi dalam Keluarga

Bahaya Flexing di Media Sosial

Di seluruh aspek, termasuk institusi keluarga, tidak ada seorangpun manusia yang ingin ditindas atau diperlakukan tidak adil. Praktik perjodohan yang masih eksis, umumnya dipengaruhi dua hal. Pertama, ajaran dalam kitab fiqih yang masih melegitimasi hal itu. Kedua, konstruksi sosial dan budaya suatu masyarakat yang masih menempatkan perempuan sebagai objek semata dari lelaki.

Namun, terlepas dari itu semua. Perjodohan merupakan praktik yang mempunyai banyak celah terhadap terjadinya kekerasan seksual. Makna “kekerasan” dalam hal seksual adalah suatu tindakan keji: memaksa, menganiaya, menguasai, mengintimidasi, dan sewenang-wenang secara seksual. Bukan dalam konteks “boleh dan tidak boleh atau suka sama suka” dan bukan dalam arti “tidak boleh atau boleh-boleh saja” dan bahkan lebih dari sekedar standar kesopanan atau ketidaksopanan. Karena, kekerasan mengandung tujuan menjatuhkan harga diri seseorang, bahkan masa depan seseorang. Kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja. Bisa dilakukan secara sengaja maupun tidak. Termasuk oleh anggota keluarga, bahkan seorang ayah sekalipun.

Dalama konteks perjodohan, seorang ayah seharusnya tidak memaksa atau dengan sengaja mendorong anaknya untuk memilih sosok yang mereka pilih. Sebaliknya, mereka harus memberikan pandangan yang berimbang. Kemudian membiarkan anaknya untuk memutuskan.

Karena sekali lagi, perjodohan merupakan praktik yang memiliki celah besar atas terjadinya kekerasan seksual.
Mereka yang menjodohkan seringkali terlena dengan pengharapan dan pengandaian. Menampik bayangan-bayangan mengerikan yang terkadang muncul di benak mereka.

Ketidaksiapan perempuan yang dijodohkan menjadi awal dari terjadinya kekerasan seksual. Seringkali perjodohan menjadi gerbang dari pemaksaan perkawinan. Padahal, pemaksaan perkawinan merupakan salah satu jenis kekerasan seksual.

Tidak semua perjodohan akan memojokkan perempuan. Tidak semua perjodohan akan melempar seseorang ke lubang kekerasan seksual. Tapi, jika perjodohan membawa ke pemaksaan perkawinan, perempuan harus bagaimana?

Penulis: Khalimatus Sa’diyah

  • 0share
  • 0
  • 0
  • 0
  • 0
Tags: kekerasan seksualperjodohan dalam islam
Previous Post

12 Buku Karya Mahasiswa Pendidikan Matematika Diluncurkan

Next Post

LP2M Dukung Penuh KKN Mandiri Berbasis Orda, Ini Syaratnya

Diah Khalimatus Sa'diyah

Diah Khalimatus Sa'diyah

Related Posts

cancel culture di media sosial
Artikel

Pergeseran Makna Cancel Culture di Media Sosial

by Redaksi SKM Amanat
6 Desember 2022
0

...

Read more
ngeri-ngeri sedap komunikasi anak dan orang tua

Ngeri-Ngeri Sedap: Pentingnya Komunikasi dalam Keluarga

1 Desember 2022
flexing di media sosial

Bahaya Flexing di Media Sosial

13 November 2022
perdebatan di media sosial

Saat Celetukan Ringan di Media Sosial Menjadi Perdebatan Panjang

2 November 2022
cancel culture

Maraknya Tren “Cancel Culture”; Seberapa Parahkah?

31 Oktober 2022

ARTIKEL

  • All
  • Kolom
  • Mimbar
  • Rak
  • Sinema
  • Opini
Jurnalisme Data UIN Walisongo

Pentingnya Jurnalisme Data, Amcor UIN Walisongo Fasilitasi LPM untuk Ikut Pelatihan

31 Januari 2023
Pelantikan DEMA UIN Walisongo

Studium General DEMA UIN Walisongo, Aziz Hakim Bahas Implementasi Mahasiswa Aktivis

1 Februari 2023
Rektor UIN Walisongo, Imam Taufiq

Pelantikan DEMA UIN Walisongo, Imam Taufiq Perjelas Tempat Mendewasakan Diri Bagi Mahasiswa

1 Februari 2023
pentingnya jurnalisme data

Jurnalisme Data dalam Bercerita

30 Januari 2023
Load More
Amanat.id

Copyright © 2012-2024 Amanat.id

Navigasi

  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi

Ikuti Kami

  • Login
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result

Copyright © 2012-2024 Amanat.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Send this to a friend