Pernah suatu ketika, penulis berada pada satu kelas yang isinya perempuan semua. Di kelas yang didominasi warna putih dan hijau itu, seorang laki-laki (baca: guru agama) dengan kopiah hitam sedang menerjemahkan sebuah bab tentang pernikahan dari kitab kuning. Dia memaknai satu persatu kata di kitab berbahasa Arab dengan bahasa Jawa (Pegon). Jika diartikan menggunakan bahasa Indonesia, maka akan diperoleh terjemahan, “seorang ayah kandung dan kakek dari seorang gadis (perempuan yang belum pernah menikah) boleh memaksa mereka untuk menikah.” Pembahasan itu terdapat dalam kitab Taqrib pada Bab Nikah.
Saat itu, tidak ada protes sebagai tanda ketidaksetujuan. Yang samar terdengar adalah canda lirih kami tentang perjodohan. Berandai-andai bagaimana kalau kami dijodohkan dan pada akhirnya membuat kesimpulan sendiri bahwa kami tidak boleh menolak ketika ayah atau kakek kami berniat melakukannya.
Perjodohan menjadi masalah klasik namun tetap eksis. Ia menjelma menjadi problematika yang menarik dan menjual untuk para produser menggarap film atau pun sinetron. Sayangnya, perjodohan seringkali membuat perempuan terpojok. Perempuan adalah korban. Hal ini tentu tidak lepas dari sistem patriarki yang
banyak dianut di Indonesia, termasuk Jawa.
Penulis tidak membayangkan bagaimana kalutnya mereka (perempuan yang dijodohkan). Mereka ditempatkan pada posisi yang pelik. Menolak artinya menentang orang tua, namun di sisi lain, jika pun menerima, mereka terus dihantui dengan rasa takut tentang hari depan. Umumnya, si perempuan akan diam yang akan memunculkan satu tafsir tunggal atas sikapnya itu. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, dan Muslim berbunyi demikian;
“Dari ‘Aisyah RA ia berkata : Aku pernah bertanya, “Ya Rasulullah, apakah wanita-wanita itu (harus) diminta idzinnya dalam urusan perkawinan mereka ?”. Beliau menjawab, “Ya”. Aku bertanya (lagi), “Sesungguhnya seorang gadis (apabila) diminta idzinnya ia malu dan diam”. Rasulullah SAW menjawab, “Diamnya itulah
idzinnya”.
Di seluruh aspek, termasuk institusi keluarga, tidak ada seorangpun manusia yang ingin ditindas atau diperlakukan tidak adil. Praktik perjodohan yang masih eksis, umumnya dipengaruhi dua hal. Pertama, ajaran dalam kitab fiqih yang masih melegitimasi hal itu. Kedua, konstruksi sosial dan budaya suatu masyarakat yang masih menempatkan perempuan sebagai objek semata dari lelaki.
Namun, terlepas dari itu semua. Perjodohan merupakan praktik yang mempunyai banyak celah terhadap terjadinya kekerasan seksual. Makna “kekerasan” dalam hal seksual adalah suatu tindakan keji: memaksa, menganiaya, menguasai, mengintimidasi, dan sewenang-wenang secara seksual. Bukan dalam konteks “boleh dan tidak boleh atau suka sama suka” dan bukan dalam arti “tidak boleh atau boleh-boleh saja” dan bahkan lebih dari sekedar standar kesopanan atau ketidaksopanan. Karena, kekerasan mengandung tujuan menjatuhkan harga diri seseorang, bahkan masa depan seseorang. Kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja. Bisa dilakukan secara sengaja maupun tidak. Termasuk oleh anggota keluarga, bahkan seorang ayah sekalipun.
Dalama konteks perjodohan, seorang ayah seharusnya tidak memaksa atau dengan sengaja mendorong anaknya untuk memilih sosok yang mereka pilih. Sebaliknya, mereka harus memberikan pandangan yang berimbang. Kemudian membiarkan anaknya untuk memutuskan.
Karena sekali lagi, perjodohan merupakan praktik yang memiliki celah besar atas terjadinya kekerasan seksual.
Mereka yang menjodohkan seringkali terlena dengan pengharapan dan pengandaian. Menampik bayangan-bayangan mengerikan yang terkadang muncul di benak mereka.
Ketidaksiapan perempuan yang dijodohkan menjadi awal dari terjadinya kekerasan seksual. Seringkali perjodohan menjadi gerbang dari pemaksaan perkawinan. Padahal, pemaksaan perkawinan merupakan salah satu jenis kekerasan seksual.
Tidak semua perjodohan akan memojokkan perempuan. Tidak semua perjodohan akan melempar seseorang ke lubang kekerasan seksual. Tapi, jika perjodohan membawa ke pemaksaan perkawinan, perempuan harus bagaimana?
Penulis: Khalimatus Sa’diyah