Seiring perkembangan zaman, gender tidak lagi memiliki batasan khusus. Tak jarang ditemui laki-laki mengerjakan pekerjaan domestik dan perempuan bekerja di sektor publik.
Ivan Illich dalam bukunya yang berjudul Matinya Gender mengatakan bahwa dalam masyarakat kapitalis, khususnya dalam negara berkembang, batas gender antara laki-laki dan perempuan sudah mulai tidak jelas bahkan gender tersebut bisa dipertukarkan antara keduanya.
Stigma masyarakat yang menganggap perempuan adalah mahluk yang lemah seharusnya tidak lagi berlaku. Bahkan seorang wanita yang ditinggal suaminya mampu memenuhi kebutuhan anak-anak dan rumah tangganya seorang diri.
Meskipun demikian, realita yang terjadi di masyarakat kita tidak sepenuhnya bebas dari kekangan patriarki. Memang banyak perempuan yang bekerja di sektor publik, tetapi mereka sulit mendapatkan posisi yang penting.
Posisi-posisi strategis dalam sebuah perusahaan masih didominasi oleh laki-laki. Misalnya saja, data Jumlah CEO wanita yang memimpin perusahaan Fortune 500 pada tahun 2021 menembus rekor tertinggi, tetapi data tersebut ternyata masih hanya 8,1% dari total daftar seluruh pekerja yang ada.
Glass Ceiling; Wujud Diskriminasi terhadap Perempuan
Bentuk diskriminasi yang mencegah perempuan naik ke posisi kekuasaan atau tanggung jawab yang lebih tinggi dalam sebuah organisasi dikenal dengan istilah glass ceiling. Alasan diskriminasi tersebut tidak lain hanya karena mereka perempuan.
Perempuan diaggap rentan mengalami konflik keluarga. Tanggung jawab keluarga dan ranah privat masih menjadi pertimbangan seseorang menjadikan perempuan seorang pemimpin. Ketimpangan kebijakan hak atas laki-laki dan perempuan masih kerap terjadi.
Padahal, keseimbangan hak antara laki-laki dan perempuan sangat dibutuhkan dalam suatu perusahaan. Berdasarkan data dari lembaga konsultan internasional McKinsey, apabila suatu negara tidak menciptakan lingkungan yang setara, maka USD 12 triliun kurs ekonomi akan hilang atau kira-kira 16,5% dari total ekonomi global setara 8 kali ekonomi Indonesia.
Artinya, sangat penting suatu negara untuk menciptakan kondisi yang setara antara pekerja laki-laki dan perempuan. Di Kementerian Keuangan Indonesia sendiri, sudah mulai menyediakan ruang laktasi dan childcare di kantor.
Jika perempuan mendapatkan cuti melahirkan, berdasarkan kebijakan parental leave melalui KMK Pengarusutamaan Gender, laki-laki juga mendapatkan cuti 10 hari utuk menemani istri melahirkan.
Kebijakan itu patut menjadi teladan bagi institusi atau perusahaan lainnya. Bukan sekadar menyamakan peraturan, tetapi lebih kepada menyetarakan hak dalam suatu kebijakan pada kondisi-kondisi tertentu. Hak yang setara, menciptakan lingkungan kerja dengan pola pikir modern.
Dengan begitu Glass Ceiling bisa diatasi. Keputusan memperoleh jabatan tinggi tidak lagi berdasar gender, tetapi murni dari kompetensi dan kapabilitas orang tersebut.
Rizki Nur Fadilah