
Perbedaan pemahaman atas sebuah teks, termasuk teks agama juga harus dibiasakan oleh seluruh umat agar tidak akan terjadi pertentangan dan perbedaan yang mengarah kepada permusuhan dan saling mengkafirkan atau saling menganggap sesat satu dengan lainnya.
Sebagai umat Muhammad Saw sudah barang pasti kita akan menjadi sangat bangga jika kita mampu meneladani beliau dalam segala aspek. Meneladani itu sama dan identik dengan meniru dan mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh beliau, meskipun tidak seluruhnya, karena akan menjadi sangat sulit jika itu yang dimaksudkan. Setidaknya hal hal yang dapat dilakukan oleh manusia biasa dan akan berakibat kepada kabajikan itulah yang seharusnya diikuti dari beliau.
Secara umum banyak ayat suci Alquran yang menyarankan kepada kita untuk mengikuti jejak beliau. Hanya saja dalam kenyataannya di antara umat muslim yang ada hanya sedikit saja yang mampu meneladani beliau, selebihnya hanya kata-kata saja. Kita selaku umat muslim tentu sangat paham dengan perilaku beliau, yang salah satunya ialah bahwa beliau tidak pernah dendam kepada siapapun, termasuk mereka yang menyakiti bahkan menghinanya. Siapapun yang menyakitinya pasti akan dimaafkan sebelum meminta maaf kepada beliau.
Tidak cukup hanya dimaafkan oleh beliau, namun beliau malah mendoakan kebaikan untuknya. Tentu hal demikian akan sangat sulit diteladani oleh umatnya, meskipun seharusnya diikuti. Ingatlah peristiwa saat beliau akan berdakwah bagi penduduk Thaif yang belum juga beliau masuk dan berdakwah, beliau sudah dihujani batu oleh masyarakatnya,
Tetapi beliau tetap tegar dan sama sekali tidak sakit hati dan juga tidak dendam. Malah para sahabat beliaulah yang marah, bahkan sampai malaikat Jibril konon juga marah dan akan membalasakan sakit Nabi, tetapi dengan santunnya beliau malah balik berkata wahai Jibril aku ini diutus untuk mengajak kepada mereka yang tidak tahu agar menjadi tahu. Jika mereka tidak mau tahu, saya masih berharap anak-anak mereka akan tahu dan mau mengikuti seruan dakwah ini. Justru dalam kondisi disakiti seperti itu beliau malah mendoakan kebaikan yakni agar mereka diberikan hidayah oleh Allah, karena mereka memang tidak tahu.
Secara umum sifat nabi yang pemaaf dan tidak pernah ada dendam tersebut terlukiskan dalam salah satu ungkapan dalam bacaan diba’ yang terkenal itu, yakni “ketika beliau disakiti, beliau pasti memaafkan, dan jika beliau diomeli, beliau pasti akan diam dan tidak menjawabnya”.
Jika kita mampu meneldani ini sungguh luar biasa dan pasti akan dapat meredam berbagai macam emosi yang muaranya pasti adalah permusuhan dan ketidak nyamanan. Hal yang seharusnya diwarisi dari nabi lainnya ialah tentang sikap toleransi beliau yang selalu ditunjukkan, bahkan nyaris beliau tidak pernah menyalahkan sesuatu yang dilakukan oleh para sahabatnya. Biasanya dengan sangat lemah lembut beliau kemudian menujukkan sesuatu yang lebih baik, tanpa harus menyakiti pihak lain yang melakukan sesuatu yang sebaliknya.
Kita tentu masih sangat tahu tentang peristiwa saat beliau mengutus Umar bin al-Khattab dan Ammar bin Yasir ke sebuah urusan di musim dingin. Lalu pada perjalanan mereka berdua tidur dan bermimpi basah, karena kesulitan mendapatkan air, lalu keduanya melakukan hal yang berbeda untuk menjalani shalat, yakni dengan bertayamum. Ammar mengambil cara berguling guling di debu yang suci untuk selanjutnya melakukan shalat, namun Umar tidak melakukan hal serupa.
Nah setelah sampai di hadapan Rasul mereka kemudian mengutarakan kisahnya, dan Nabi pun tidak lantas menyalahkan salah satu di antara mereka, melainkan dengan sangat kasih sayang beliau lantas memberitahukan bahwa sesungguhnya cukuplah hanya bertayamum dengan mengusapkan debu pada sebagian anggota wudlu saja, yakni wajah dan kedua tangan. Dengan sikap tersebut mereka semua diberitahukan bahwa apa yang dilakukan oleh Ammar juga tetap tidak perlu diulangi dan tetap mendapatkan pahalanya. Dan karena itu mereka sangat puas dengan apa yang diputuskan oleh beliau.
Kita juga sangat ingat dengan apa yang diputuskan oleh Nabi saat beliau mengutus kepada sebagian sahabatnya untuk pergi ke kampung Bani Quraidlah dengan pesan agar mereka tidak shalat Ashar terkecuali ketika sudah sampai di Bani Quraidlah. Lalu sebagian mereka memegangi perkataan Nabi yakni tetap tidak shalat Ashar kecuali setelah sampai di sana, sementara yang lainnya tetap menjalankan shalat Ashar di waktunya meskipun masih belum sampai di tujuan.
Nah, peristiwa tersebut dilaporkan kepada beliau saat mereka sudah kembali, dan Nabi pun juga tidak menyalahkan salah satunya, melainkan menyatakan bahwa kedua kedua mendapatkan pahala. Sebab sesungguhnya maksud Nabi dengan pesan tersebut agar mereka mempercepat langkahnya sehingga sebelum waktu Maghrib tiba mereka sudah berada di kampung Bani Quraidlah. Hanya saja karena perjalanannya tidak dapat tepat, maka mereka belum sampai di tujuan saat Maghrib tiba, dan kemudian mereka berijtihad sebagiamana tersebut.
Ijtihad yang dilakukan oleh mereka meskipun berbeda, tetapi tetap dihargai oleh beliau tanpa harus menyalahkan salah satunya. Itulah sikap yang mestinya dimiliki oleh kita sebagai umatnya yang tidak pernah akan saling menyalahkan siapapun, meskipun kita melihat ada kesalahan yang tidak disengaja yang dilakukan oleh pihak lain.
Memaafkan itulah kata yang sangat indah diucapkan dan sekaligus juga disampaikan dengan ketulusan. Jika kita mengeluarkan kata maaf, maka itu sudah cukup dan semua persoalan akan menjadi selesai, tetapi jika kita menyalahkan dan mempersoalkannya, maka persoalan akan semakin menjadi panjang. Sudah barang tentu untuk hal hal yang sifatnya pidana yang menjadi perhatian publik, sebaiknya diserahkan saja kepada hakim untuk memprosesnya.
Ketegasan dan kepastian hukum itu sangat diperlukan untuk ketenangan dan keamanan semua pihak. Sesungguhnya masih banyak lagi sikap Nabi yang sangat toleran terhadap perbedaan, baik diantara sesama sahabat beliau maupun dengan umat yang lain agama dan kepercayaan. Nabi dapat bersahabat dengan sangat bagus dengan raja Najasyi, padahal beliau belum kenal tetapi dia sudah mendapatkan kabar bahwa raja tersebut beragama Nasrani dan baik. Beliau juga dapat bekerjasama dengan orang orang Yahudi Madinah dan juga Nasrani, asalkan mereka tidak berlaku curang.
Hal tersebut juga dapat kita lihat dalam perjanjian Piagam Madinah yang begitu luar biasa pandangan Nabi tentang hidup bersama dan mempertahankan negara bersama sama dari ancaman agresor dan bahaya lainnya. Alangkah indahnya jika sifat tersebut dapat dimiliki oleh seluruh umat muslim yang hidup di muka bumi Indonesia, tentu akan tampak sangat luar biasa damainya negeri ini. Ontran-ontran sebagaimana yang kita lihat dalam proses Pilkada DKI tentu tidak akan pernah kita saksikan.
Perbedaan pemahaman atas sebuah teks, termasuk teks agama juga harus dibiasakan oleh seluruh umat agar tidak akan terjadi pertentangan dan perbedaan yang mengarah kepada permusuhan dan saling mengkafirkan atau saling menganggap sesat satu dengan lainnya. Kita harus mampu membiasakan bahwa ilmu yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia itu hanyalah sedikit, dan karena itu tidak ada klaim kebenaran bagi manusia, dan yang ada ialah kebenaran yang relatif, meskipun bagi yang meyakininya harus tetap yakin seratus persen.
Sedangkan kebenaran yang sesungguhnya ialah kebenaran Tuhan. Dengan demikian kita tidak berhak untuk mengklaim kebenaran, sementara yang lain dianggap sebagai kesalahan dan kebatilan. Kita tetap harus menghargai pemahaman pihak lain yang mengklaim kebenaran juga. Dengan saling memahami tentang klaim kebenaran tersebut, kita tidak akan memaksakan kehendak tentang kebenaran tersebut dan kita hanya dapat berusaha untuk mendapatkannya dengan menggali argumentasi.
Jika hal tersebut dapat kita lakukan dan simpan dalam hati kita masingmasing, insyaallah kita akan menemukan keutuhan dalam bermasyarakat, meskipun kita berbeda dalam berbagai hal termasuk dalam keyakinan dan dalam memahami sesuatu hal. Semoga kita mampu menjalaninya sehingga kehidupan yang damai dan keutuhan bangsa ini akan tetap dapat kita pertahankan, semoga.
*Tulisan pernah dimuat di Tabloid SKM Amanat edisi 128
Prof. Dr. Muhibbin, M.Ag,
Rektor UIN Walisongo