
Amanat.id- Polemik gelar akademik dari Program Studi (Prodi) Ilmu Seni dan Arsitektur Islam (ISAI) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo mencuat lewat unggahan di akun Instagram Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) ISAI, Rabu (19/3/2025).
Sebelumnya Prodi ISAI UIN Walisongo memiliki gelar akademik Sarjana Humaniora yang oleh beberapa mahasiswanya dianggap tidak sesuai dengan keilmuan yang dipelajari.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Jurusan (Kajur) ISAI UIN Walisongo, Zainul Adzfar menjelaskan bahwa penetapan gelar Sarjana Humaniora bagi lulusan ISAI didasarkan pada regulasi yang berlaku di Kementerian Agama (Kemenag).
“Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2016 tentang Gelar Akademik di PTKIN menjadi dasar penetapan gelar S.Hum. UIN Purwokerto bisa S.Ars karena afiliasinya ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek),” jelas Zainul saat diwawancarai Tim Amanat.id, (19/3).
Zainul mengatakan bahwa perpindahan naungan ke Kemendikbudristek hanya bisa dilakukan jika ada perintah dari atasan.
“Kalau bosnya nyuruh pindah, ya pindah. Kalau tidak, ya tidak. Masa kita mau pindah-pindah sendiri, kan lucu,” ujar Zainul.
Ketua HMJ ISAI, Nur Yusril Muhammad Isnain menegaskan persoalan ini berawal dari penetapan gelar lulusan ISAI.
“Seharusnya, gelar kami adalah S.Ars, bukan S.Hum,” ujar Yusril, Rabu (19/3).
Menurutnya Prodi ISAI telah berulang kali mengajukan surat permohonan perpindahan naungan dari Kemenag ke Kemendikbudristek, tetapi hasilnya nihil.
“Bahkan sudah lima kali prodi kami mengajukan surat permohonan perpindahan naungan dari Kemenag ke Kemendikbudristek, tapi selalu mentok di Kemenag,” tambahnya.
Yusril menyoroti lambannya birokrasi menyebabkan terhambatnya kejelasan status Prodi ISAI UIN Walisongo.
“Teknik Lingkungan yang baru saja berdiri langsung jelas gelarnya, sementara ISAI yang sudah hampir satu dekade masih mandek,” ungkapnya.
Ia mengatakan saat ini HMJ ISAI tengah menyiapkan naskah akademik untuk mendesak rektorat.
“Beberapa kali mengobrol dengan prodi, tapi masih belum jelas. Sekarang, kami siapkan naskah akademik untuk mendesak kemenag dan harapan saya jajaran rektorat dapat mengkaji ulang hal itu,” ujar Yusril.
Menurutnya pembukaan prodi baru seharusnya berdasarkan kajian akademik yang matang, bukan semata mengejar popularitas atau pemasukan.
“Kalau orientasinya hanya profit, maka mahasiswa diperlakukan sebagai pasar, bukan sebagai subjek akademik,” ujarnya.
Ia juga berpendapat bahwa UIN Walisongo bersikap kapitalis dan terlalu gegabah dalam membuka jurusan baru.
“Kalau dibilang kapitalis ya memang kapitalis. UIN terlalu gegabah dalam membuat jurusan baru,” ujar Yusril.
Yusril menegaskan akan terus memperjuangkan hak akademik para mahasiswa ISAI UIN Walisongo.
“Kami tidak akan berhenti sampai ada kejelasan. Jika perlu, kami lakukan aksi yang lebih besar,” pungkasnya.
Mahasiswa ISAI UIN Walisongo, Alea Nuria Zadiroh mengungkapkan sebelum diterima sebagai mahasiswa, ia melihat informasi gelar Sarjana Arsitektur di laman resmi kampus.
“Sebelum kami jadi mahasiswa, website resmi mencantumkan gelar S.Ars. Itu yang membuat kami yakin masuk. Tapi kenyataannya, setelah wisuda, gelarnya S.Hum,” ujar Alea.
Menurut Alea, hal ini menciptakan kebingungan dan dianggap sebagai bentuk pembohongan publik.
“Bayangkan, selama tujuh tahun dibiarkan begitu saja. Katanya hanya typo, tapi masa typo bertahun-tahun?,” katanya.
Ia mengatakan banyak dari mahasiswa ISAI berharap pihak rektorat segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan persoalan gelar akademik.
“Kami ingin UIN Walisongo menunjukkan komitmen akademik yang sesungguhnya. Gelar akademik kami adalah hak, bukan hadiah,” tegasnya.
Ichda Khoiril Anam menyebutkan bahwa permasalahan gelar ini bukan hanya soal status akademik, tetapi juga menyangkut integritas kampus.
“Ini bukan sekadar soal gelar, tapi soal komitmen kampus terhadap tanggung jawab akademik,” ujar mahasiswa ISAI lain.
Menurutnya kampus lebih fokus membuka prodi baru, dibandingkan memperbaiki kualitas prodi yang sudah ada.
“Prodi baru seperti Bisnis Digital diumumkan dengan gegap gempita, padahal nasib prodi lama seperti ISAI masih carut-marut,” kritiknya.
Ia juga menyoroti minimnya transparansi anggaran, termasuk untuk fasilitas penunjang kegiatan akademik.
“Studio arsitektur kami minim. Fasilitas yang dijanjikan tidak pernah terwujud. Ini menambah beban mahasiswa,” tambahnya.
Reporter: Rizka Nur Nahdia Maramis
Editor: Gojali