Tingkat literasi di Indonesia memang rendah. Itu sudah dipaparkan oleh pelbagai Lembaga survei, baik nasional maupun internasional. Apalagi soal literasi sastra. Nasibnya tentu lebih mengenaskan.
Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Lembaga Survei Indonesia akhir 2017 lalu, jumlah pembaca sastra usia 17 tahun ke atas di Indonesia hanya 6,2 persen. Sebuah angka yang membuat kita geleng-geleng kepala dan bertanya, setidak penting itukah karya sastra di bumi Indonesia?
Selama ini, sastra di Indonesia memang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Ia tidak pernah menjadi kebutuhan massal, yang digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kondisi tersebut tidak terjadi begitu saja. Ada skema besar, dalam kurikulum pendidikan nasional yang mengkonstruk semua itu.
Ya, lagi-lagi kembalinya ke pemerintah. Semacam ada pengaburan terhadap kesusastraan, dari generasi ke generasi. Ini imbas dari politik pendidikan di Indonesia, yang seolah membuang karya sastra dari sekolah-sekolah. Padahal, dalam sistem pendidikan saat negeri ini masih dijajah Belanda, siswa di Algemene Middlebare School (setingkat SMA) diwajibkan membaca dan membahas 25 novel. Sayang, politik pendidikan seperti itu tidak diterapkan lagi pasca kemerdekaan. Yang terjadi selanjutnya adalah, karya sastra semakin diabaikan, terpinggirkan, dan hampir-hampir jatuh ke jurang tak berlembah.
Memang, literasi tidak hanya diukur dari seberapa banyak membaca buku. Literasi dalam pengertian yang sederhana bisa diartikan sebagai cara membaca. Apakah dalam membaca, ada pemaknaan yang didapat. Indikator keberhasilannya adalah, dari pembacaan pertama timbul sebuah tanda tanya baru yang mendorong orang untuk melakukan pembacaan selanjutnya. Tidak harus dalam bentuk buku. Itu nanti yang akan sangat berguna untuk dikontekstualisakan pada realitas sosial di zamannya. Lalu, bagaiamana jika sastra tidak dibaca?
Manusia tanpa rasa
Domain sastra adalah mengolah sensibilitas, imajinasi, dan perasaan halus manusia. Menghidupkan nurani kemanusiaan. Ini sejalan dengan pandangan yang mengatakan bahwa sastra merupakan derivasi (turunan) dari agama yang tugasnya adalah memperindah akhlak manusia. Ia berbeda dengan bacaan yang domainnya mengolah nalar manusia, seperti kimia, matematika, atau biologi.
Akan menjadi sebuah anomali jika, lembaga pendidikan hanya mengolah nalar manusia dan mengabaikan pengolahan perasaan. Besar kemungkinan yang dihasilkan hanya manusia-manusia tanpa rasa. Karenanya bukan menjadi jaminan, tingginya pendidikan seseorang, meniscayaan dia tidak akan melakukan tindakan yang menciderai nurani. Itu dibuktikan dengan masih banyak pejabat publik yang bisa tersenyum saat ditangkap polisi (tak tahu malu). Atau, masih maraknya kasus pelecehan seksual di lembaga pendidikan. Seolah apa yang menjadi peringatan Pramudya Ananta Toer terjadi; “kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” Ironis!
Sensibilitas penting dalam kehidupan. Rasa yang sudah menjadi bawaan manusia sedari lahir harus diolah supaya kepekaan terhadap realitas (hidup, lingkungan, masyarakat, dll) ada. Semakin tinggi kepekaan seseorang terhadap realitas, semakin tinggi pula rasa kemanusiaan dalam dirinya. Ini akan menjadi anti-thesis__menggunakan teori Karl Marx__di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang semakin ke sini semakin individualistik-matrealis. Sehingga, apa yang menjadi peringatan Jean Boudrillard tentang berakhirnya kehidupan sosial tidak akan (belum) terjadi.
Arogansi
Di zaman kemajuan teknologi informasi hari ini, terjadi perubahan sikap sosial yang memprihatinkan. Kita tidak lagi mempunyai standar nilai lagi di media sosial. Semua orang seperti dalam kedudukann yang sama, bisa mengolok-olok yang lebih tua, menyepelekan yang lebih muda. Bebas; chaos.
Ini terjadi di semua lini, keagamaan, budaya, dan yang paling parah di ranah politik. Kita akan begitu mudah menemukan berita hoaks (yang isinya menjatuhkan lawan politik), ujaran kebencian di media sosial. Bahkan, kata-kata yang sebenarnya indah (dalam agama) menjadi sebegitu mengerikan untuk didengar. Selalu basisnya adalah curiga, benci dan tidak percaya. Itu yang membuat hidup seorang yang mendengarnya terasa tidak nyaman. Ada dimensi yang begitu subtansial namun diabaikan. Semua itu adalah cerminan wajah Indonesia; masyarakat yang tidak memperhatikan sastra.
Penulis jadi teringat perkataan Ahmad Tohari ketika melakuakan wawancara, Kamis (1/11/2018) lalu . Ia merenungi kondisi keberagamaan dan kebangsaan kita hari ini. Di mana agama tidak dipahami dan sastra tidak dibaca.
Penulis: Sigit AF