• Tentang Kami
  • Media Partner
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Advertorial
  • Kontak
Selasa, 13 Mei 2025
  • Login
Amanat.id
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result
Amanat.id

Ketika Sastra Tidak Dibaca

Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.-- (Pramudya Ananta Toer)

Sigit A.F by Sigit A.F
6 tahun ago
in Kolom
0

Baca juga

Mahasiswa Bergerak, Militer Menembak

Kemajuan AI dan Sifat Kritis yang Dipertaruhkan

Tradisi Takjil di Lingkar Sosial

(Sumber gambar: tirto.id)

Tingkat literasi di Indonesia memang rendah. Itu sudah dipaparkan oleh pelbagai Lembaga survei, baik nasional maupun internasional. Apalagi soal literasi sastra. Nasibnya tentu lebih mengenaskan.

Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Lembaga Survei Indonesia akhir 2017 lalu, jumlah pembaca sastra usia 17 tahun ke atas di Indonesia hanya 6,2 persen. Sebuah angka yang membuat kita geleng-geleng kepala dan bertanya, setidak penting itukah karya sastra di bumi Indonesia?

Selama ini, sastra di Indonesia memang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Ia tidak pernah menjadi kebutuhan massal, yang digunakan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kondisi tersebut tidak terjadi begitu saja. Ada skema besar, dalam kurikulum pendidikan nasional yang mengkonstruk semua itu.

Ya, lagi-lagi kembalinya ke pemerintah. Semacam ada pengaburan terhadap kesusastraan, dari generasi ke generasi. Ini imbas dari politik pendidikan di Indonesia, yang seolah membuang karya sastra dari sekolah-sekolah. Padahal, dalam sistem pendidikan saat negeri ini masih dijajah Belanda, siswa di Algemene Middlebare School (setingkat SMA) diwajibkan membaca dan membahas 25 novel. Sayang, politik pendidikan seperti itu tidak diterapkan lagi pasca kemerdekaan. Yang terjadi selanjutnya adalah, karya sastra semakin diabaikan, terpinggirkan, dan hampir-hampir jatuh ke jurang tak berlembah.

Memang, literasi tidak hanya diukur dari seberapa banyak membaca buku. Literasi dalam pengertian yang sederhana bisa diartikan sebagai cara membaca. Apakah dalam membaca, ada pemaknaan yang didapat. Indikator keberhasilannya adalah, dari pembacaan pertama timbul sebuah tanda tanya baru yang mendorong orang untuk melakukan pembacaan selanjutnya. Tidak harus dalam bentuk buku. Itu nanti yang akan sangat berguna untuk dikontekstualisakan pada realitas sosial di zamannya. Lalu, bagaiamana jika sastra tidak dibaca?

Manusia tanpa rasa

Domain sastra adalah mengolah sensibilitas, imajinasi, dan perasaan halus manusia. Menghidupkan nurani kemanusiaan. Ini sejalan dengan pandangan yang mengatakan bahwa sastra merupakan derivasi (turunan) dari agama yang tugasnya adalah memperindah akhlak manusia. Ia berbeda dengan bacaan yang domainnya mengolah nalar manusia, seperti kimia, matematika, atau biologi.

Akan menjadi sebuah anomali jika, lembaga pendidikan hanya mengolah nalar manusia dan mengabaikan pengolahan perasaan. Besar kemungkinan yang dihasilkan hanya manusia-manusia tanpa rasa. Karenanya bukan menjadi jaminan, tingginya pendidikan seseorang, meniscayaan dia tidak akan melakukan tindakan yang menciderai nurani. Itu dibuktikan dengan masih banyak pejabat publik yang bisa tersenyum saat ditangkap polisi (tak tahu malu). Atau, masih maraknya kasus pelecehan seksual di lembaga pendidikan. Seolah apa yang menjadi peringatan Pramudya Ananta Toer terjadi; “kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” Ironis!

Sensibilitas penting dalam kehidupan. Rasa yang sudah menjadi bawaan manusia sedari lahir harus diolah supaya kepekaan terhadap realitas (hidup, lingkungan, masyarakat, dll) ada. Semakin tinggi kepekaan seseorang terhadap realitas, semakin tinggi pula rasa kemanusiaan dalam dirinya. Ini akan menjadi anti-thesis__menggunakan teori Karl Marx__di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang semakin ke sini semakin individualistik-matrealis. Sehingga, apa yang menjadi peringatan Jean Boudrillard tentang berakhirnya kehidupan sosial tidak akan (belum) terjadi.

Arogansi

Di zaman kemajuan teknologi informasi hari ini, terjadi perubahan sikap sosial yang memprihatinkan. Kita tidak lagi mempunyai standar nilai lagi di media sosial. Semua orang seperti dalam kedudukann yang sama, bisa mengolok-olok yang lebih tua, menyepelekan yang lebih muda. Bebas; chaos.

Ini terjadi di semua lini, keagamaan, budaya, dan yang paling parah di ranah politik. Kita akan begitu mudah menemukan berita hoaks (yang isinya menjatuhkan lawan politik), ujaran kebencian di media sosial. Bahkan, kata-kata yang sebenarnya indah (dalam agama) menjadi sebegitu mengerikan untuk didengar. Selalu basisnya adalah curiga, benci dan tidak percaya. Itu yang membuat hidup seorang yang mendengarnya terasa tidak nyaman. Ada dimensi yang begitu subtansial namun diabaikan. Semua itu adalah cerminan wajah Indonesia; masyarakat yang tidak memperhatikan sastra.

Penulis jadi teringat perkataan Ahmad Tohari ketika melakuakan wawancara, Kamis (1/11/2018) lalu . Ia merenungi kondisi keberagamaan dan kebangsaan kita hari ini. Di mana agama tidak dipahami dan sastra tidak dibaca.

 

Penulis: Sigit AF

  • 1share
  • 0
  • 0
  • 1
  • 0
Tags: karya sastraliterasi sastramasyarakat tanpa sastrastandar nilaiujaran kebencian
Previous Post

Nur Muhammadku (Dipaksa) Dipadamkan

Next Post

Mengapa Kebohongan-Kebohongan di Media Sosial  Bisa “Diimani”?

Sigit A.F

Sigit A.F

Gunung, senja, nada, dan kata-kata.

Related Posts

Mahasiswa Bergerak, Gerakan Mahasiswa, Represivitas Militer, ABRI, Politik Orde Baru
Kolom

Mahasiswa Bergerak, Militer Menembak

by Redaksi SKM Amanat
21 April 2025
0

...

Read more
Kemajuan AI, Dampak Kemajuan AI, Dampak Negatif AI, Dampak Positif AI, Dampak Penggunaan AI

Kemajuan AI dan Sifat Kritis yang Dipertaruhkan

5 April 2025
Tradisi Takjil, War Takjil, Fenomena War Takjil, Budaya War Takjil, Tradisi Bulan Ramadan

Tradisi Takjil di Lingkar Sosial

6 Maret 2025
Korban Semanggi II, Yap Yun Hap, Kasus Semanggi 2, Kasus HAM Indonesia, Kasus pelanggaran HAM, September hitam

September Terakhir Yap Yun Hap, Korban Semanggi II

24 September 2024
PNS, Glorifikasi PNS, PNS profesi idaman, CPNS, Stigma CPNS di masyarakat, CPNS 2024

Glorifikasi ‘PNS Profesi Idaman’

12 September 2024

ARTIKEL

  • All
  • Kolom
  • Mimbar
  • Rak
  • Sinema
  • Opini
FKHM UIN Walisongo, Diskusi KSMW, KSMW UIN Walisongo, Intervensi TNI, Kebebasan Berpendapat

FKHM UIN Walisongo Beri Tanggapan atas Diskusi KSMW yang Didatangi TNI dan Orang Tidak Dikenal

17 April 2025
Aksi Diam, Aksi Diam UIN Walisongo, Perpustakaan UIN Walisongo, Aksi Diam Perpustakaan, Perkuliahan Hybrid UIN Walisongo

Beberapa Mahasiswa UIN Walisongo Gelar Aksi Diam Tuntut Kembalikan Jam Normal Perpustakaan

28 April 2025
may day, aksi may day, may day semarang, demo buruh semarang, demo buruh

May Day, Buruh Tuntut Perbaikan UMK dan Tindak Tegas Perusahaan Nakal

2 Mei 2025
FEBI UIN Walisongo, Akreditasi FEBI UIN Walisongo, Akreditasi Prodi FEBI, Akreditasi FEBI, UIN Walisongo

Sudah Tau Akreditasi Prodi S1 FEBI UIN Walisongo? Ayo Cek di Sini!

18 April 2025
Load More

Trending News

  • Aksi Diam, Aksi Diam UIN Walisongo, Perpustakaan UIN Walisongo, Aksi Diam Perpustakaan, Perkuliahan Hybrid UIN Walisongo

    Beberapa Mahasiswa UIN Walisongo Gelar Aksi Diam Tuntut Kembalikan Jam Normal Perpustakaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Diskusi KSMW UIN Walisongo Didatangi TNI dan Orang Tidak Dikenal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • FKHM UIN Walisongo Beri Tanggapan atas Diskusi KSMW yang Didatangi TNI dan Orang Tidak Dikenal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 7 Atribut Ini Wajib Dikenakan Saat Wisuda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca dan Menelaah Falsafah Mandor Klungsu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Filosofi Toga yang Harus Wisudawan Tahu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Amanat.id

Copyright © 2012-2026 Amanat.id

Navigasi

  • Tentang Kami
  • Media Partner
  • Advertorial
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • Kontak

Ikuti Kami

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Warta
    • Varia Kampus
    • Indepth
    • Seputar Ngaliyan
    • Regional
    • Nasional
  • Sastra
    • Cerpen
    • Puisi
  • Artikel
    • Esai
    • Opini
    • Mimbar
    • Kolom
    • Rak
    • Sinema
  • Milenial
    • Kesehatan
    • Teknologi
    • Melipir
  • Sosok
  • Akademik
  • Lainnya
    • Epaper
      • Tabloid SKM Amanat
      • Soeket Teki
      • Buletin SKM Amanat
      • Bunga Rampai
    • Ormawa
    • Jejak Amanat
No Result
View All Result

Copyright © 2012-2026 Amanat.id

Send this to a friend