Kata nasionalisme identik dengan arti persatuan seluruh ras, suku, dan agama yang dibalut dengan kata kebangsaan. Menurut Hans Kohn, nasionalisme adalah suatu paham yang menghendaki kesetiaan tertinggi dari rakyat kepada negara dan bangsanya. Nasionalisme bahkan menjadi makanan yang harus dikonsumsi oleh seluruh masyarakat Bumi Putra ketika era kolonial.
Mengedepankan nilai bangsa dan bernegara menjadi modal utama untuk membebaskan diri dari penjajahan serta meraih kemerdekaan agar menjadi bangsa yang dapat menentukan nasibnya sendiri. Doktrin-doktrin nasionalisme berhasil memelopori berdirinya organisasi-organisasi pergerakan. Organisasi-organisasi inilah yang dikemudian hari berlipat ganda menjadi benih-benih perjuangan revolusi dalam merebut kebebasan yang seutuhnya demi negara.
Salah satu sikap nasionalis yang selalu didengungkan oleh pemerintah adalah warga negara harus tunduk dan patuh terhadap segala konstitusi yang ada di Indonesia hingga ke lingkup terkecil. Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 27 Ayat 3 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Bunyi UUD tersebut dalam preferensi masyarakat umum sudah dianggap wajar karena stereotip yang membuat masyarakat meyakini bahwa tumbuhnya persatuan dapat menjamin hak-hak warga sipil dalam membangun suatu bangsa.
Topeng nasionalisme
Jika dikuliti lebih dalam tentang bunyi pasal tersebut, secara implisit dapat terjadinya reduktivitas, di mana pasal tersebut dapat menjadi pisau bermata dua dengan di pakainya diksi “wajib” di dalam ayat. Sebab, masyarakat tidak pernah diikut andilkan dalam sebuah pengambilan keputusan. Sebagai pemangku kebijakan, pemerintah secara tidak langsung dapat melakukan atau merumuskan kebijakan tanpa melibatkan masyarakat dengan dalih bela negara atau bahkan hanya atas kepentingan politik satu golongan.
Contohnya pada era Orde Baru, saat Soeharto membumi hanguskan seluruh identitas dan stempel komunis dengan berlindung di balik Pancasila. Pemerintah telah siap dengan kurusetra beserta isi-isi propagandanya untuk membutakan mata, bahkan memaksa semua indra masyarakatnya tertutup dari sebuah fakta yang ada. Rasa takut dan was-was akhirnya menyelimuti suasana di era tersebut. Seolah-olah menjadi komunis adalah tindakan keji, lebih keji dari tindakan genosida setengah juta manusia.
Pada saat negara di tangan Soeharto pun masih tercium bau darah para aktivis pro-demokrasi yang sampai menjelang pemilihan Presiden pada tahun 1998-2003 belum diketahui keberadaannya. Dengan alasan stabilitas negara, konflik HAM dan hilangnya banyak tokoh telah dianggap wajar oleh sebagian besar orang karena hal tersebut terjadi pada era Soeharto.
Padahal, sejarah secara jelas membuktikan bahwa tragedi yang terjadi di masa lalu jauh dari kata wajar. Seperti yang dilakukan oleh tim mawar dalam operasi penculikan aktivis, menurut Widji Thukul dalam buku “Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa” (2017) karya Ristia Nurmalita, operasi tersebut merupakan mandat Presiden yang semata-mata hanya karena keberadaan segolongan orang saat itu dianggap membahayakan posisi Soeharto sebagai Presiden. Belum lagi ketika dibahas tentang pembredelan media masa, NKK-BK, degradasi intelektual dengan melarang buku-buku kiri beredar di masyarakat, serta hal-hal lainnya yang dianggap mengancam posisi pemerintah.
Sebagai contoh lainnya, di Papua tindakan intimidasi dan pembunuhan seolah dilegalkan dengan dalih “mereka tengah merongrong nasionalis”. Pada dasarnya, konsep nasionalisme tidak bisa digeneralisir untuk semua tindakan terlebih dalam bentuk tindakan keji.
Meski telah berselang puluhan tahun kemudian, di era Jokowi, pelanggaran-pelanggaran yang mengatasnamakan kepentingan negara masih sering terjadi. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menjadi jurus Jokowi mempercepat pembangunan telah menyebabkan 2.939 konflik agraria terhitung sejak tahun 2015 hingga 2023.
Seorang Filsuf, John Stuart Mill merasa khawatir jika nasionalisme diartikan sebagai pengorbanan untuk kepentingan bangsa dan negara. Jika demikian, maka nasionalisme akan berakhir sebagai kedok bagi otoritarianisme. Hal seperti ini tentunya berseberangan dengan demokrasi itu sendiri. Sebagai pemerintah harusnya dapat menjamin hak-hak warga sipil, bukan malah menggunakan simbol atau produk negara sebagai senjata untuk merebut dan memasung hak-hak mereka.
Saatnya perlawanan kelas
Soekarno dan nasionalis adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, bak peribahasa ada gula ada semut, konsep nasionalis tidak akan bisa dibenamkan secara inklusif, jika tidak dimanifestokan oleh sang singa podium.
Sebelum kemerdekaan, ketika terjadinya perlawanan kelas di Eropa antara kaum borjuis dan proletar, Soekarno tidak tergesa-gesa memakai konsep perjuangan ke Indonesia. Menurut Soekarno, perjuangan di Eropa merupakan perjuangan pada satu bangsa dan negara, di mana pihak tertindas dan yang menindas memiliki kesamaan pada suku, ras, dan warna kulit. Artinya, perlawanan mereka bukan perlawanan melawan bangsa asing.
Jika di implementasikan di Nusantara, jelaslah berbeda jauh. Para penjajah di Indonesia merupakan bangsa yang berlainan darah, ras, dan tanah. Oleh karenanya, jika ingin melawan imperialisme haruslah dengan perjuangan kebangsaan. Ini selaras dengan kutipan Bung Karno di buku Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, “Kita nasionalis, mementingkan perjuangan nasional, perjuangan kebangsaan”.
Setelah melalui perjuangan yang sangat panjang, Indonesia akhirnya mampu terlepas dari jeratan penjajah. Saat ini, Indonesia tidak lagi dijajah oleh bangsa asing salah satunya berkat Indonesia saat ini telah memiliki hukum dan administrasi yang diakui oleh bangsa lain.
Namun apakah kondisi ini secara utuh melepaskan Indonesia dari penjajahan dan berhenti berjuang?
Benar adanya bahwa saat ini Indonesia tidak lagi melawan Imperialisme asing seperti apa yang dikatakan Soekarno saat pra kemerdekaan. Akan tetapi di era modern, perjuangan masih terjadi dengan jenis perlawanan yang berbeda. Perjuangan di era modern tidak lain dan tidak bukan merupakan perjuangan antara pemerintah/pemodal dan buruh, perampasan hak-hak yang terjadi di Rempang, Pundenrejo, Wadas, Omnibus Law, Tapera, Kriminalisasi di Papua dan masih banyak lagi adalah bentuk imperialisme sesama bangsa dan setanah air.
Jika dilihat dari konteks kelas sosial, konflik-konflik tersebut secara tidak langsung terjadi antara pemerintah sebagai kelas atas dan masyarakat sebagai kelas bawah. Banyak masyarakat yang kemudian dirugikan dengan kebijakan dan pengaturan negara sehingga terjadinya bentrok antara kedua kelas tersebut.
Lain halnya dengan kasus yang sempat terjadi belakangan ini, ketika pemerintah mengakomodir organisasi-organisasi keagamaan melalui pemberian konsesi tambang. Kondisi ini jelas dapat memperburuk kesenjangan antara kelas bawah dan kelas atas. Sebab, jika suatu organisasi dalam hal ini berperan sebagai perwakilan kelompok tertentu, maka akan mempersulit akses bagi masyarakat yang tidak masuk ke dalam golongan tersebut. Konsesi tambang menjadikan organisasi tidak lagi objektif di pihak masyarakat karena dicengkeram oleh utang balas budi dengan pemerintah.
Keadaan ini senada dengan perkataan Karl Max dalam bukunya yang berjudul “The Communist” bahwa, “Pengelola negara modern tak lain merupakan panitia yang mengelola urusan-urusan bersama seluruh kaum borjuis”. Artinya, negara beserta produk yang disebut nasionalisme tersebut dimaknai sebagai sesuatu yang tidak netral, melainkan menjadi seperangkat alat untuk mendukung kepentingan-kepentingan kaum borjuis.
Tegar Ezha Pratama