Dewasa ini, media sosial (medsos) menjadi bagian tak terpisahkan bagi hampir semua orang. Sepanjang hari, dari awal terjaga hingga hendak kembali memejamkan mata, kita akan selalu cek medsos. Tak dapat ditampik bahwa medsos memang menawarkan fitur dan aktivitas yang menyenangkan. Namun, lambat laun medsos menjadi dunia yang berbeda. Sudah di luar hitungan jari pengguna yang mencurahkan isi hati (curhat) di medsos.
Bertemu orang menyebalkan, curhat di medsos. Lelah dengan setumpuk deadline, buat status. Patah hati karena diselingkuhi, menghina orang ketiga di medsos. Segala bentuk emosi diluapkan dalam dunia maya. Bahkan tak jarang menyebut secara gamblang pihak lain yang bersangkutan. Tanpa memilah antara privasi dan yang layak dikonsumsi publik.
Menurut penelitian di Universitas Harvard, menunjukkan berbagai informasi personal di medsos memang dapat memicu dopamin pada otak, yang kemudian memengaruhi kesenangan dan kepuasan individu tersebut serta dapat menyebabkan kecanduan.
Selain itu, curhat di medsos merupakan representasi dari kebutuhan manusia untuk didengarkan, diperhatikan, dikenal, serta keinginan menghasut orang lain agar berbondong membenci seseorang/sesuatu yang kita benci
Senada dengan hasil penelitian tersebut, banyak warganet yang melampiaskan emosi yang tidak dapat diutarakan di dunia nyata dalam bentuk status di media sosial. Mulai dari yang murni curhat, dirangkai menjadi puisi atau kutipan, atau bahkan menghujat orang lain.
Seperti yang terjadi pada akun facebook bernama Mommy ASF, yang meluapkan emosi negatifnya karena diselingkuhi. Ia mendapat banyak perhatian dari warganet lain, terutama yang merasa senasib, dan akhirnya tulisannya dipinang oleh penerbit buku dan production house (PH) untuk dijadikan short series. Dalam hal ini, Mommy ASF dapat dikatakan memperoleh double jackpot. Emosi negatifnya terluapkan sekaligus mendapat pundi-pundi royalti.
Namun, apakah semua warganet yang curhat di medsos akan seberuntung Mommy ASF? Kita tentu masih mengingat warta yang ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu. Seorang mahasiswa berinisial NW yang meninggal di makam ayahnya karena berbagai kompleksitas hidup yang hadir pasca ayahnya ‘pergi’. Sebelumnya, NW pernah menceritakan tentang diagnosis depresinya di salah satu platform medsos. Ia juga membagikan pengalaman tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh kekasih, serta hinaan dari keluarga kekasih dan keluarga besar NW.
Awalnya NW mendapat perhatian publik berupa rasa iba. Beberapa warganet juga memberi dukungan emosional yang sempat berhasil mencegah NW untuk bunuh diri. Namun, muncul komentar negatif dari warganet yang tidak menyertakan empati dan etika dalam bermedia sosial, yang kurang lebih mengatakan bahwa curhatan NW lebay dan hanya cari perhatian (caper). Komentar tersebut diduga menjadi pemantik NW untuk kembali melancarkan rencana bunuh dirinya.
Pengalaman lain, terjadi pada selebgram mualaf, LC yang membagikan kasus KDRT yang dialaminya. Beberapa warganet memang bersimpati, tetapi tak sedikit pula yang mencaci lantaran dinilai mengumbar aib rumah tangganya.
Dampak Curhat di Medsos
Apa yang terjadi pada NW dan LC dijelaskan oleh Ryan Martin, profesor Psikologi University of Wisconsin-Green Bay yang menyatakan bahwa efek pelepasan emosi negatif pada situs-situs internet (medsos) hanya bersifat sementara dan tidak dapat (sepenuhnya) meredakan emosi negatif. Mendukung pernyataan tersebut, John Suler, pakar Psikologi dari Rider University menjelaskan bahwa mengeluh di medsos justru dapat memicu emosi negatif di kemudian hari, seperti malu, merasa bersalah, dan menyesal.
Selain itu, terlalu sering curhat di medsos juga dapat melonggarkan hubungan pertemanan. Sebab, alih-alih peduli, orang yang sering membaca curhatan kita justru akan merasa terganggu dan memilih untuk menyenyapkan status (bahkan akun kita) dari beranda medsosnya. Curhat di medsos juga dapat berpengaruh pada pekerjaan karena belakangan, beberapa perekrut mempertimbangkan isi media sosial calon karyawan untuk menilai karakter dan kepribadiannya.
Masih dari kasus NW, banyak pengguna lain yang mengaku bahwa ia mengalami dampak Novia Effect. Pasca kematiannya, seketika muncul akun-akun yang bercerita tentang depresi dan keinginan bunuh diri. Di sisi lain, banyak pula yang menyatakan bahwa kemunculan curhatan-curhatan itu justru memicu depresi dan keinginan bunuh dirinya yang sudah bertahun-tahun ‘sembuh’. Artinya, curhat di medsos tak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain.
Untuk menyikapi hal tersebut, kita harus lebih bijak dalam menjalani kehidupan di dunia maya. Sejatinya, tidak ada yang salah dengan curhat sebagai bentuk ekspresi perasaan. Namun, bukankah lebih urgen untuk mencari solusi dari masalah daripada sebatas berkoar di linimasa?
Jika menjadikan curhat di medsos sebagai alternatif untuk didengarkan, lantas apa bedanya? Orang yang dikenal di dunia nyata saja belum tentu peduli, apalagi akun-akun di medsos yang tidak dikenal secara pasti.
Lagipula, bisa saja kita yang kurang peka dan tidak menyadari bahwa ada orang yang mau mendengarkan keluh kesah kita. Memang tidak semua orang bisa menjadi pendengar yang baik, tetapi bukan berarti semua orang tidak bisa menjadi pendengar yang baik, ‘kan?
Akhir kata, mari kita renungkan kutipan berikut:
Curhat di medsos itu seperti jalan-jalan tanpa celana. Sebanyak 30% iba, sisanya menertawakan. -Anonim
Penulis: Rizkyana Maghfiroh