Saat mendapat pertanyaan mengenai tokoh proklamator Indonesia, kebanyakan orang akan menjawab dengan yakin Sukarno dan Hatta. Jawaban tersebut tidak sepenuhnya salah, karena memang kedua tokoh tersebut menjadi aktor penting dalam pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Namun, sebenarnya jauh sebelum Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan, ada anak daerah Gorontalo yang lebih dulu memproklamasikan kemerdekaan, dialah Nani Wartabone.
Nani Wartabone lahir di keluarga yang terpandang, ayahnya seorang aparatur pemerintah Hindia Belanda dan ibunya keturunan salah satu kerajaan di Gorontalo. Sehingga secara otomatis ia memiliki privilese untuk bersekolah. Kendati demikian, Nani dikenal sebagai anak pemberontak di sekolah. Ia menilai bahwa para gurunya terlalu mengagungkan bangsa Belanda. Dari sinilah jiwa nasionalisme Nani Wartabone terbentuk.
Gerakan dalam perjuangan kemerdekaan Nani mulai saat dirinya migrasi ke Surabaya untuk menemani sang Ibu berobat. Nani pun mengawali gerakannya dengan merintis organisasi bernama Jong Gorontalo pada 1923. Kemudian, Nani Wartabone bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) serta menjadi Ketua Cabang pada 1928 dan saat bersamaan ia juga mendirikan organisasi Partai Indonesia (Partindo), walaupun setelahnya dibubarkan karena adanya masalah internal.
Perjuangan Nani Wartabone terus berlanjut dengan masuknya dalam organisasi Muhammadiyah. Ia gencar menyebarkan ajaran Islam sekaligus menanamkan rasa nasionalisme kepada masyarakat. Pada tahun 1941, ia membangun Komite 12 yang bertujuan untuk menghadapi Perang Pasifik.
Puncak dari perjuangannya adalah ketika Nani Wartabone memimpin aksi pemberontakan kepada pemerintahan Belanda yang sedang melemah karena kedatangan pasukan Jepang. Ia menyandera para pejabat Belanda dan juga menurunkan bendera Belanda serta menggantinya dengan bendera merah putih diiringi lagu Indonesia Raya.
Nani Wartabone menegaskan bahwa bangsa Indonesia terkhusus yang ada di Gorontalo sudah merdeka dari kolonial. Nani bergerak cepat, sore harinya ia membentuk Pucu Pimpinan Pemerintahan Gorontalo yang berperan sebagai Badan Perwakilan Rakyat.
Dalam kesempatannya, Nani Wartabone memberikan orasi yang penuh dengan semangat. Ia mengatakan dengan lantang bahwa bangsa Indonesia yang berada di Gorontalo sudah merdeka dan bebas dari penjajahan serta pemerintahan telah diambil alih oleh pemerintah nasional. Nani Wartabone juga menegaskan bahwa tugas setelah ini adalah menjaga keamanan dan ketertiban bangsa.
Namun, perjuangan Nani Wartabone terhenti saat ia dipenjarakan di Manado oleh Pemerintah Jepang dan baru bebas pada 1944. Setelahnya Nani Wartabone menjabat sebagai pemimpin Gorontalo.
Nani Wartabone meninggal di usianya yang ke-89 bersamaan dengan berkumandangnya azan salat Jumat pada 3 Januari 1989. Ia meninggal bukan sebagai pejabat, melainkan petani yang tinggal di desa terpencil.
Atas jasanya, pemerintah menetapkannya sebagai pahlawan nasional pada 6 November 2003 dan mendapat julukan sebagai “Sang Proklamator dari Timur“. Kendati demikian, namanya seolah tak pernah terdengar dan dibahas dalam buku dan diskusi sejarah.
Penulis: Hikam Abdillah
Editor: Rizkyana Maghfiroh