Setiap 28 Oktober, kita memperingatinya sebagai hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia atas peran pemuda dalam memperjuangkan kemerdekaan. Peristiwa 93 tahun lalu itu, yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda, merupakan upaya mempersatukan kekuatan bangsa Indonesia yang majemuk di tengah upaya kolonial Belanda dalam melakukan politik devide at impera (politik adu domba).
Upaya tersebut dirumuskan pada Kongres Pemuda II di Batavia (Jakarta) tepatnya di Gedung Oost-Java Bioscoop. Kongres ini berlangsung selama dua hari yaitu pada 27- 28 Oktober 1928. Dari kongres yang dipimpin oleh Mohammad Yamin tersebut menghasilkan rumusan ikrar Sumpah Pemuda. Ikrar tersebut digagas oleh Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) dan dihadiri oleh organisasi pemuda lainnya.
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” begitu bunyi ikrar itu.
Menurut Azyumardi Azra, seperti dikutip oleh Asvi Warman Adam dalam buku Menguak Misteri Sejarah (2010), Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda merupakan salah satu tonggak sejarah bangsa Indonesia dalam mengawali kesadaran kebangsaan.
Sumpah itu mendasari jiwa perjuangan pemuda pra-kemerdekaan. Namun, bagaimana nasib ketiga sumpah itu menjadi sebuah tanda tanya besar.
Bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia
Kalimat tersebut bermakna bahwa para pemuda dan pemudi di Indonesia akan memperjuangkan kemerdekaan bangsa hingga titik darah penghabisan. Kalimat ini memang menemukan konteksnya di masa itu untuk membakar semangat perjuangan melawan penjajahan.
Hari ini, timbul sebuah anggapan bahwa nasionalisme hanya sebagai upaya perlindungan negara yang hanya diwakilkan oleh segelintir elit: aparatur negara atau pejabat tinggi. Benar bahwa itu merupakan tugas formal mereka, namun bukan berarti masyarakat atau terkhusus kaum muda bebas dari kewajiban itu.
Sejak kemerdekaan, Indonesia selalu dihadapakan pada problem disintegrasi yang mengancam Indonesia sebagai satu bangsa. Mulai dari daerah-daerah yang menuntut kemerdekaan, hingga gerakkan yang mencita-citakan Indonesia menjadi negara Islam. Gerakan-gerakan tersebut terus hidup, dan parahnya banyak generasi muda yang dengan sadar atau tidak mendukung gerakan tersebut.
Hasil survei terbaru Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya, menunjukkan sebanyak 58,5 persen responden mahasiswa/siswa memiliki pandangan keagamaan pada opini yang radikal. Padahal, hampir setiap tahun, di kampus-kampus ketika penerimaan mahasiswa baru, orasi sumpah pemuda selalu bergema. Lalu kenapa, pemahaman radikalisme bisa setinggi itu?
Kita tahu bahwa, instansi pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi adalah lumbung kaderisasi generasi muda yang akan menggantikan generasi tua. Jika hari ini banyak generasi muda yang memiliki pandangan nasionalisme rendah, akan bagaimana nasib Indonesia sebagai sebuah bangsa di masa depan.
Mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
Kalimat tersebut bermakna bahwa pemuda dan pemudi Indonesia yang berasal dari suku, ras dan agama yang berbeda, tetapi tetap bersatu dalam satu bangsa, yaitu Indonesia.
Pada masa kini, tindakan rasis masih merebak di antara masyarakat Indonesia. Menurut Amiruddin Al-Rahab Komisioner Komnas HAM, munculnya kasus rasisme kerap digaungkan oleh para pelaku politik identitas. Banyak orang atau individu tertentu berpikir berada dalam ruang identitas yang tunggal. Akibatnya, jika ada identitas lain di luar identitasnya dianggap sesuatu yang asing. Atas hal tersebut, selalu muncul upaya untuk menunjukkan supremasi atas identitas yang lain. Padahal individu atau suatu kelompok tidak pernah berdiri secara tunggal.
Komnas HAM mencatat terdapat 101 pengaduan tentang dugaan pelanggaran ras dan etnis sepanjang tahun 2011 sampai 2018. Adapun pegaaduan tersebut paling banyak terjadi pada 2016 dengan jumlah sebanyak 38 kasus dan 34 kasus diantaranya terjadi di DKI Jakarta.
Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia
Lewat Sumpah Pemuda, bangsa kita telah mencetuskan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Hal ini dikukuhkan juga oleh UUD 1945 pasal 36 yang berbunyi, Bahasa negara adalah bahasa Indonesia.
Namun, seiring perkembangan zaman, bahasa Indonesia mengalami pergeseran seperti pencampuran bahasa asing dan pemakaian slang words atau yang lebih dikenal dengan bahasa gaul.
Sebab sebagian besar beranggapan apabila menggunakan bahasa asing dalam berkomunikasi akan terlihat lebih bermartabat. Padahal, persepsi itulah yang dapat menggeser atau melunturkan eksistensi bahasa Indonesia di negara sendiri.
Generasi penerus bangsa perlu melakukan berbagai upaya untuk menyelematkan eksistensi bahasa Indonesia. Penyelamatan bahasa Indonesia dapat melalui konservasi bahasa. Konservasi bahasa adalah upaya untuk memelihara dan melindungi eksistensi bahasa Indonesia melalui gerakan pelestarian penggunaan bahasa Indonesia secara tepat dan bijaksana. Melalui upaya tersebut, generasi penerus bangsa dapat mendudukkan kembali bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah kebahaasaan yang berlaku.
Sumpah Pemuda, yang mengandung tiga pesan utama selayaknya harus terus kita jaga. Kalimat ikrar pemuda itu bukan hanya sebatas retorika indah yang digunakan orasi saat demonstrasi. Pengejawantahan dari itu semua adalah, memahaminya dalam pikiran, dan mengamalkannya dalam praktik.
Penulis: Ridho Alamsyah