
Amanat.id– Kelompok Peduli Sosial Remaja (KPSR) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo menggelar acara KPSR Sign Talk 2025 dengan tema “The Power of Sign, The Language of Love” di Teater ISDB FITK Kampus 3, Sabtu (17/5/2025).
Acara tersebut menghadirkan tiga narasumber dari Tim Peduli Isyarat Semarang, yaitu Stevia Pranoto, Koh Aming, dan Mahendra Teguh Priswanto.
Mahendra Teguh Priswanto menjelaskan bahasa isyarat memiliki tata cara komunikasi tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan bahasa lisan.
“Berkomunikasi dengan teman tuli itu ada tata caranya, dimulai dari kontak mata, artikulasi pola bibir, hingga suasana atau tempat yang terang agar gestur tubuh dan pola bibir dapat terlihat jelas,” ujarnya.
Ia juga membedakan dua jenis bahasa isyarat yang digunakan di Indonesia, yaitu Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO).
“SIBI dibentuk oleh orang dengar dan diresmikan oleh pemerintah, sedangkan BISINDO muncul secara alami dari interaksi komunitas tuli, dan tiap daerah memiliki variasi dialek yang disebut BISDA,” jelasnya.
Mahendra menambahkan kedua sistem tersebut memiliki perbedaan dalam penyusunan struktur kalimat.
“SIBI cenderung menggunakan struktur kalimat aktif seperti ‘Saya memakan pisang’, sementara BISINDO lebih menggunakan struktur pasif, misalnya ‘Pisang dimakan saya’,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa belajar bahasa isyarat dapat merangsang perkembangan otak kanan dan kiri karena melibatkan proses mendengar dan merespons dengan gerakan.
“Dengan belajar bahasa isyarat dapat mengembangkan otak kanan dan otak kiri, karena kedua bagian otak akan bekerja saat kita mendengarkan kemudian merespons dengan gerakan,” tuturnya.
Hal tersebut dibenarkan oleh Koh Aming yang turut menjadi pemateri.
“Seperti yang dikatakan Mahendra, bahasa isyarat bisa menjadi stimulus otak dan meningkatkan IQ karena kita terbiasa mendengar dan merespons melalui gestur tubuh,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa menjadi juru bahasa isyarat dibutuhkan kemampuan menyederhanakan konsep bahasa agar lebih mudah dipahami.
“Bahasa isyarat adalah konsep bahasa, bukan terjemahan langsung dari Bahasa Indonesia. Saat pembicara mengucapkan kalimat panjang, juru bahasa harus menyederhanakannya agar tidak tertinggal,” jelasnya.
Koh Aming mengatakan pentingnya peran orang tua, selain juru atau guru bahasa.
“Kami sebagai guru hanya bisa mengajar terbatas pada waktu dan kemampuan kami karena itulah pendidikan dari rumah atau orang tua sangat berpengaruh dan jadi kunci utama,” tegasnya.
Ia mencontohkan dukungan dan penerimaan orang tua mampu membentuk kepercayaan diri anak-anak.
“Sebagai contoh, Mahendra dan Stevia merupakan penyandang tuli, dan mereka mampu berkuliah bersama teman-teman lainnya. Hal ini menunjukkan peran orang tua sangatlah penting untuk tumbuh kembang anak,” tutupnya.
Reporter: Alia Septi Refalina
Editor: Azkiya S.A.